Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Politik

MoU Helsinki dan Hilangnya Sebuah Kepastian Aceh

30 Juli 2017   19:01 Diperbarui: 30 Juli 2017   23:03 6960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurun waktu 1976-2005 merupakan masa-masa dimana GAM dan aparat militer Indonesia (TNI dan Polri) terlibat perang di Aceh. Hampir setiap tahun itu kedua belah pihak selalu bertikai dalam konflik bersenjata di Aceh. Selama kurun waktu itu pula, berbagai upaya sudah pernah dilakukan untuk meredam dan mengakhiri konflik tersebut, namun kandas di tengah jalan. Tetapi kepastian berakhirnya konflik bersenjata di Aceh, datang ketika delegasi dari GAM dan RI yang di mediasi oleh Ketua CMI melakukan perundingan damai di Finlandia. Dan tepat pada tanggal 15 Agustus 2005, GAM dan RI sepakat untuk berdamai serta mengakhiri konflik dengan melahirkan beberapa poin kesepakatan bersama yang telah disusun dan ditandatangani oleh kedua delegasi dalam draft perjanjian damai atau apa yang disebut dengan MoU Helsinki.

c7b8364f1e2f223be08fb25909e4cd21-597db9e442bc3a56334cb2f2.jpg
c7b8364f1e2f223be08fb25909e4cd21-597db9e442bc3a56334cb2f2.jpg
Belakangan, MoU Helsinki pun melahirkan turunannya yang disebut sebagai Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tahun 2006. UUPA ini digarap dan dibahas bersama oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI. Dan Anda tahu, salah satu orang yang masih hidup dalam mendesain UUPA ini, yaitu Yusril Ihza Mahendra. Yusril, bersama dengan Menteri Dalam Negeri saat itu adalah salah satu orang yang membuat UUPA sebagai bentuk dan respons atas tercapainya MoU Helsinki, sehingga Pemerintah Pusat harus menggantikan Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam menjadi Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) tahun 2006.

Ya, damainya GAM dan RI mencerabut kepastian kemerdekaan Aceh secara total. Itu yang dipertanyakan, ditangisi, digalaukan dan digelisahkan oleh sebagian besar Rakyat Aceh dan anggota GAM walau tidak dapat dikatakan seluruhnya. Gelombang protes terhadap MoU Helsinki juga datang dari orang Aceh yang ada diluar negeri, mulai dari mereka yang membantu GAM dari luar negeri, mahasiswa, LSM, bahkan MP-GAM sendiri. Tetapi jangan lupa, setelah terjebak dalam rutinitas perang di medan area antara GAM dan Aparat Militer Indonesia selama puluhan tahun, GAM kembali dihadapkan pada sebuah ketidakpastian, termasuk saya sebagai generasi muda Aceh.

Bagi anggota GAM yang sama-sama berjuang dengan panglima militernya, situasi pasca MoU Helsinki ini semakin jauh lebih sulit lagi. Selama ini mereka yang menikmati kejayaan adalah orang-orang yang dulunya bergelar panglima militer dan Menteri GAM atau orang yang dekat dengan gelar tersebut. Selebihnya, silahkan Anda simpulkan sendiri. 

Tahun 2006-2009 menjadi tahun dimana GAM berganti berperang dengan tidak lagi mengangkat senjata, melainkan berperang melalui jalur politik. Sebagian besar dari mereka jelas tidak mengerti bagaimana cara berperang lewat jalur politik, dan kotak suara. Akibatnya mereka merasakan betapa pahitnya masa setelah MoU Helsinki. Tak jarang sebagian dari mereka mengatakan ada pengkhianatan sehingga berakibat adanya konflik antar sesema mereka.

Hal ini terbukti dengan adanya gaduh dalam tubuh GAM pasca MoU Helsinki. Seolah GAM kehilangan sosok pemersatu yang dapat mempersatukan mereka semua dalam wadah yang baru, sebagaimana sebelumnya ketika mereka dipersatukan dalam tubuh GAM. Pemerintah Pusat juga seolah menutup mata atas permasalahan ini. Padahal kedua belah pihak dulu sama-sama sepakat untuk berdamai. Tak hanya sampai disitu, kehadiran generasi muda Aceh hari ini yang bersuara lantang di media massa dan sempat menyinggung MoU Helsinki, seakan-akan menjadi pelengkap atas ketidakpastian ini.

Maka tidak mengherankan kalau beberapa generasi muda Aceh mulai bersuara lantang di media massa sebagai bentuk kekhawatiran mereka terhadap tipu daya Pemerintah Pusat lewat MoU Helsinki. Bagi anak muda Aceh yang tahu tentang sejarah turun gunungnya Tengku Muhammad Daud Beureueh, maka MoU Helsinki itu tak ubahnya seperti Perjanjian Lamteh episode ke-II. Artinya, MoU Helsinki itu (utamanya soal implementasi di lapangan) adalah produk nyata dari Pemerintah Indonesia untuk kembali menipu Aceh, seperti halnya Soekarno menipu Daud Beureueh dan Rakyat Aceh. Sebab, MoU Helsinki bukanlah prodok hukum atau undang-undang yang setara dengan UUD 1945. Bukankah UUD 45 merupakan produk hukum tertinggi yang dianut oleh bangsa Indonesia? Jadi tidak ada satu pun produk UU atau peraturan lainnya yang memiliki kedudukan tinggi atau setara dengan UUD 45, termasuk MoU Helsinki atau Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA).

Memang ini hanya MoU Helsinki. Bukan seperti halnya UUD 1945. Tetapi jangan lupa, MoU Helsinki ini menjadi bagian terpenting dalam perjalanan konflik bersenjata di Aceh sehingga bisa tercapai kata sepakat untuk berdamai. Semestinya semua pihak pemegang kekuasaan di Aceh dan Pusat, baik yang terlibat langsung atau tidak dalam perundingan damai itu, harus menghargai MoU Helsinki. Jika tidak demikian, lantas apa gunanya usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak? Apa gunanya MoU Helsinki jika tidak dihargai satu sama lainnya? Apakah MoU Helsinki hanya dijadikan pajangan saja?

Sekarang seperti ada lobang dalam Aceh. Seperti ada anggota tubuh yang sakit. Celakanya, jika ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka sulit rasanya untuk beraktivitas layaknya orang sehat. Dan hasilnya pun sudah bisa ditebak, tidak akan maksimal, tidak akan membahagiakan, mengecewakan dan berujung dengan protes.

Sekalipun ada anggapan bahwa orang yang sehat pun belum tentu ada jaminan untuk bisa meraih hasil yang maksimal. Jika ada pertanyaan seperti ini, maka tanyakan balik padanya: Logika apa yang kau pakai sehingga bisa menyamakan antara orang yang sehat dengan orang yang sakit? Logikamu jelas tidak masuk akal, dan bukan pada tempatnya.

Hasan Tiro, seperti halnya tokoh besar lainnya, seringkali ia mampu memecah pendapat dan opini kebanyakan orang. Meskipun saya tidak pernah ketemu dengannya tetapi bertemu lewat media dan buku-buku sejarah, tetapi bagi saya Hasan Tiro adalah pribadi yang menarik dan kerapkali mengundang kontroversi. Tergantung cara orang memandangnya lewat sisi mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun