Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Andai Aceh Punya Mahkamah Sejarah

11 Mei 2017   13:13 Diperbarui: 11 Mei 2017   19:05 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Chaerol Riezal*

Di dalam benak saya, akhir terbaik dari kisah perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bertujuan agar Aceh merdeka dari Republik Indonesia (meskipun itu tidak terwujud), adalah menjadikan Aceh sebagai daerah impian dari kebanyakan masyarakatnya, seperti yang pernah dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda. Tapi, apa yang seringkali diinginkan dan didapatkan memang seringkali pula tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Saya, Chaerol Riezal, bukanlah orang yang lahir dari keluarga GAM, tetapi hanyalah seorang pemuda yang nyaris sepanjang hidup ini bermimpi kembali ingin melihat Aceh seperti yang telah dibukukan dalam sejarah Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda dan ingin memastikan bahwa saya terlibat dalam proses itu. Tentu saja.

Meskipun hal itu sangat sulit dan bahkan mustahil untuk bisa diwujudkan, tapi ada peluang untuk dilakukan. Bermimpi melihat Aceh kembali menjadi berjaya lagi, adalah sesuatu yang menjadikan hal itu sebagai mimpi dan tujuan yang indah. Sampai pada titik tertentu, mimpi dan tujuannya itu berubah menjadi suatu obsesi.

Ketika Hasan Ditiro resmi memproklamirkan berdirinya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, MoU Helsinki jelas tak ada dalam benaknya. Pada saat itu, satu-satunya tujuan Hasan Tiro mendirikan GAM adalah agar Aceh menjadi negara yang berdaulat atau merdeka dari Republik Indonesia. Dengan kata lain, Aceh ingin pisah dari Indonesia.

Segalanya berjalan seperti apa yang diinginkan oleh Hasan Tiro, meskipun ada tindakan dengan cara legal dan ilegal. Apa yang ia mau, ia dapat, dan ia gerakkan, seakan runutan naskah yang sudah dia susun sedari awal tidak mendapatkan tentangan apa-apa dari nasib. Barulah beberapa tahun kemudian mendapat kesulitan dan tantangan yang besar.

Ada persoalan kekacauan disana. Ada pula tindakan yang tidak manusiawi dan banyak rakyat Aceh menjadi korban yang tidak bersalah. Penurunan dan penambahan kekuatan militer juga terjadi serta Aceh dihantam oleh mega musibah bernama gempa dan tsunami. Sampai pada tahap ini, hal ini mengingatkan kita bahwa apa yang diingin-inginkan oleh setiap manusia tidak serta-merta berakhir sebagaimana mestinya.

Kita yang pernah membaca cerita sejarah GAM, kemudian tahu bahwa GAM dan RI berakhir pada 15 Agustus 2005 di Finlandia. GAM dan RI akhirnya pun damai. Akhir cerita GAM dan RI yang berdamai di meja runding, melahirkan sebuah kesepakatan yang diberi nama MoU Helsinki. Tapi ceritanya tidak berhenti sampai disitu.

***

Ada banyak frase, idiom, atau istilah-istilah yang berseliweran di dunia sejarah. Salah satu yang kerap mampir di telinga adalah “tidak ada dalam naskah sejarah.” Manakala ada sebuah kejadian yang melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat diikut sertakan, namun kejadian itu tidak diabadikan, istilah “tidak ada di dalam naskah” pun mengemuka. Maka disinilah “Mahkamah Sejarah” diperlukan untuk menggugat sejarah yang “tidak ada dalam naskah.”

Kalaulah boleh meminjam istilah “seandainya”, tentu saja banyak hal yang ingin saya “andaikan” dalam sejarah Aceh ini. Tujuannya jelas: agar generasi muda mengenal betul seluk beluk sejarahnya. Hal ini juga bertujuan untuk pijakan masa sekarang dan masa yang akan datang.

Meskipun saya tahu bahwa dalam sejarah, kami (mahasiswa sejarah) tidak dibolehkan untuk menggunakan kata “seandainya”, karena peristiwa sejarahnya telah terjadi dan tidak mungkin di andai-andaikan lagi. Namun, dalam tulisan ini ada opini lain yang ingin saya sampaikan dengan meminjam kata “sendainya” dan saya rasa itu tidak terlalu masalah.

Tentu saja, hal itu bukan untuk mengandaikan peristiwa sejarah yang telah terjadi, melainkan untuk menghadirkan romantisme sejarah yang telah berlalu itu. Karenanya, jika boleh menggunakan isitilah “seandainya,” maka istilah yang akan saya gunakan adalah “seandainya Aceh punya Mahkamah Sejarah.” Untuk apa? Untuk mengugat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tidak menghadirkan romantisme sejarahnya sendiri.

Jika seandainya Aceh punya Mahkamah Sejarah, sudah pastilah saya akan menggandengkan sejarawan muda, untuk kemudian saya jadikan sebagai pengacara dalam sidang di Mahkamah Sejarah. Adapun persoalan perkara yang akan kami layangkan dalam gugatan sejarah di Mahkamah Sejarah, adalah kira-kira begini:

“Tidak ada di dalam naskah” seolah membuat GAM sudah digariskan sejak awal bakal tidak akan membuat romantisme sejarahnya sendiri dalam bentuk-bentuk tertentu. Sementara yang saya tahu, di dalam tubuh GAM padahal dihuni oleh orang-orang yang paham akan sejarah dan tahu bagaimana cara menghadirkan kembali momen-momen tertentu dalam sejarah.

Selain itu, banyak juga tokoh-tokoh GAM membicarakan sejarah Aceh, entah itu tentang Sultan Iskadar Muda, Malahayati, Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan sebagainya. Peduli setan apakah apakah tokoh-tokoh GAM membicarakan sejarah Aceh atau tidak dituliskan sebagai pemenang dalam “naskah.”

Di sinilah menariknya. Istilah “tidak ada dalam naskah” dan istilah “tidak ada mahkamah sejarah” justru membuktikan bahwa memang tidak ada yang namanya “tidak ada dalam naskah” dan “mahkamah sejarah” itu di Aceh, kecuali dalam imajinasi penulis sendiri. Istilah tersebut justru muncul ketika GAM dan RI berdamai dan GAM mendapat peluang kembali mencatat sejarah dengan adanya MoU Helsinki.

mou-helsinki-5913ff390323bd0d3c3c84c2.jpg
mou-helsinki-5913ff390323bd0d3c3c84c2.jpg
Namun apa yang terjadi? GAM justru merobek-robek naskah sejarahnya sendiri dengan kejadian yang tidak disangka-sangka: GAM (belum) mengabadikan sejarahnya lewat bangunan sejarah (seperti museum, monumen dan wisata sejarah). Itulah alasannya mengapa saya katakan “seandainya Aceh punya Mahkamah Sejarah.”

Andai pun Aceh punya mahkamah sejarah, bayangkan betapa membosankannya sejarah ini. Bayangkan juga bagaimana orang-orang akan mengajukan gugatan terhadap sejarah yang ia anggap keliru, sengaja dibengkokkan dan penuh kontroversi. Lalu timbul pertanyaan besar: Apa gunanya metodoologi sejarah yang telah banyak mengalami penyempuranaan? Hanya benar-benar menjadi pelengkap saja.

Andai Aceh punya mahkamah sejarah, tentu itu bukan untuk menggugat sejarah melainkan untuk menggugat agar didirikan monumen dan wisata sejarah GAM. GAM yang sedang berkuasa di Aceh saat ini, kelak akan sulit untuk dikenang jika tidak meninggalkan jejak-jejak yang diminiaturkan berupa meseum, monumen dan wisata sejarah lainnya. Alih-alih dikenang sebagai perjuagan mutlak Aceh merdeka bernama GAM, bisa-bisa kita hanya mengenangnya sebagi sebuah nama saja dan tentu lewat buku sejarah.

Dan jika pun Aceh benar-benar punya mahkamah sejarah, sudah sepatutnya GAM mendirikan monumen sejarahnya dan mengatakan kepada dunia bahwa GAM memang layak untuk disejarahkan kepada generasi yang akan datang. Dengan berbagai limpahan kekuasaan di Aceh dan ditambah lagi keuangan yang banyak, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa Aceh tidak punya anggaran untuk membangun monumen sejarah tersebut. Sementara yang saya tahu, Aceh pernah mengembalikan sisa uang ke Jakarta karena tidak mampu dihabiskan diakhir tahun anggaran. Fantastis kan?

Sudah tentu pula, Aceh bisa tidak usah mengembalikan uang ke Jakarta jika mampu mengatur ulang APBA dan sedikit memberikan ruang untuk membuat konsep wisata sejarah yang menarik untuk dikunjungi. Kalau Aceh menyadari betul, semestinya Pemerintah Aceh hari ini menjadi pahlawan dengan menghadirkan kembali romantisme sejarah masa silam. Sayangnya hal itu belum terwujud. Sayangnya juga Aceh tidak punya Mahkamah Sejarah untuk bisa saya gugat.

***

Kita bisa menebak-nebak apa yang ada dibenak GAM yang sedang berkuasa hari ini: sejahterakan Rakyat Aceh. Tapi hal itu belum tersentuh ke semua lapisan masyarakat. Pasca MoU Helsinki, GAM fokus untuk membangun kembali Aceh yang porak-poranda pasca konflik serta dihantam mega musibah besar bernama gempa dan tsunami. GAM tentu ingin mengubah nasib Aceh. Tidak ada yang jauh lebih indah daripada menjadi pahlawan di era yang baru ini.

Dengan kekuatan politik yang dipunya GAM hari ini, semestinya untuk menjebolkan proyek mendirikan museum, monumen dan wisata sejarah disetiap kabupaten atau setidaknyanya di ibukota Aceh, bukanlah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Semestinya pula, mereka bisa mewujudkan hal itu disamping tetap fokus untuk mensejahterakan rakyat Aceh.

Tapi, memang tidak ada yang namanya “semestinya” dalam sejarah, apalagi dalam kehidupan ini. Pemerintah Aceh, dengan dikomandoi oleh dua pria yang pernah aktif di GAM dan didukung pula oleh kekuatan parlemen yang mayoritas dulunya juga GAM, tidak mampu menghadirkan museum, monumen dan wisata sejarah. Sebaliknya, kedatangan GAM di Pemerintah Aceh untuk menolak apa yang “semestinya” dan malah merobek-robek naskah sejarah mereka sendiri.

Saya tidak percaya, bahwa pembicaraan tentang mendirikan museum atau sebagainya yang berbau sejarah, tidak pernah disinggung dalam tubuh GAM sendiri. Hanya saja, hal itu tidak pernah mengemuka dipublik. Seingat saya, hanya Iskandar Usman Al-Farlaky (anggota DPRA dari Partai Aceh) yang secara terang-terangan mengemukakan ide untuk mendirikan Museum Hasan Tiro (Baca berita Serambi Indonesia edisi 19/08/2016). Selebihnya saya belum pernah mendengar kabar adanya pejabat Aceh mengemukakan ide serupa. Sehingga ide dari Iskandar itu pun meredup dan menghilang seiring berjalannya waktu. Semestinya (ya, lagi-lagi “semestinya”), ide dari Iskandar Usman Al-Farlaky itu bisa dieksekusi dengan mudah dan berakhir dengan kemenangan.

Kita kemudian hanya bisa membayangkan, bagaimana jika seandainya GAM berhasil menggunakan kekuatan politiknya di parlemen untuk mewujudkan romentisme sejarahnya. Kita juga hanya bisa membayangkan, bagaimana jika seandainya museum, monumen dan wisata sejarah telah dihadirkan pada hari ini. Bisa jadi, bakal ada banyak cerita indah bagaimana GAM akan dipuji karena mampu menghadirkan romentisme sejarahnya. Bisa jadi juga, akan banyak orang-orang berbondong-bondong datang ke Aceh untuk menengok masa lalu itu.

Bersamaan itu juga, jangan lupa bahwa akan ada kritikan yang datang terhadap masalah tersebut, baik dari Aceh sendiri maupun Pemerintah Pusat. Kritikan yang datang dari Aceh, mereka akan berdalih sebaiknya Pemerintah Aceh fokus terhadap ekonomi, sosial politik, pembangunan dan sebagainya. Sementara kritikan dari Pemerintah Pusat, sudah tentu mereka akan menggunakan dalih yang cukup klasik: Pemberontakan dan Sparatisme. Mereka akan sekeras mungkin untuk menggagalkan ide tersebut. Jadi, bakal ada dua kemungkinan jika ide menghadirkan romantis sejarah GAM terwujud: didukung dan dikritik.

Namun, dengan dirobeknya “naskah sejarah GAM” tersebut dan kemungkinan akan ada hujan kritikan, ide untuk mewujudkan romantisme sejarah GAM tersebut menjadi semakin rumit. GAM dan Aceh kembali diingatkan bahwa mereka punya PR besar. Santai saja, bukankah masih banyak waktu dan kesempatan untuk mendulang ide sejarah tersebut.

Setidaknya, dengan tidak adanya romentisme sejarah yang dihadirkan di tengah-tengah masyarakat hari ini, GAM harus berpir ulang apakah GAM akan dikenang untuk jangka waktu yang panjang di masa depan. Setidaknya lagi, kita yang sudah mencoba-coba membikin beberapa prediksi sejak dini, juga tahu bahwa apa yang ada di tikungan di depan sana, bisa jadi akan jauh lebih mengejutkan daripada apa yang kita bayangkan. Tapi GAM masih memiliki banyak jalan untuk mencatat prestasi Aceh yang gemilang.

Andai segala sesuatu selalu berjalan sebagaimana “mestinya”, GAM tentunya pasti telah menggunakan kekuatan politiknya untuk mewujudkan ide sejarah itu, GAM tentunya sudah mendirikan romantisme sejarahnya hari ini, dan GAM tentunya tidak perku mendengarkan kritikan dari Pemerintah Pusat karena mereka juga busuk.

Ya, seperti yang dituliskan diatas, seringkali apa yang kita ingin-inginkan malah meleset: GAM belum menghadirkan romantisme sejarahnya berupa museum, monumen dan wisata sejarah di Aceh.

= = = = = = =

Rabu, 10 Mei 2017

**Chaerol Riezal (Penulis) adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah asal Aceh-Nagan Raya. Email: chaerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun