Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang 26 Maret 1873 yang Kalian Sebut Sebagai Perang Aceh

26 Maret 2017   19:17 Diperbarui: 27 Maret 2017   04:00 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Chaerol Riezal saat berada di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah/dokumentasi pribadi]

[caption caption="Chaerol Reizal"]Oleh: Chaerol Riezal*

Sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah, saya turut prihatin atas penulisan sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda. Ternyata apa yang disebut sebagai Perang Aceh masih tetap dipertahankan sampai sekarang. Ya benar, saya kasihan dengan Rakyat Aceh. Meskipun waktu itu Kerajaan Aceh Darussalam tidak pernah memulai perang, tapi perang ini malah disebut sebagai Perang Aceh. (Mungkin) karena kebanyakan orang menganggap perang ini terjadi di Aceh, makanya disebutlah sebagai Perang Aceh.

Bahkan, ketika Aceh tidak pernah takluk dengan Belanda, kebanyakan orang masih saja menyebut Perang Aceh: sebuah perang yang terlama dan memakan biaya perang yang begitu banyak. Kemudian ketika Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Cut Meutia tampil dalam perang itu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan SK untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional atas dedikasi mereka dalam perjuangan mengusir penjajahan, ternyata kebanyakan orang masih juga menyebut Perang Aceh. Bahkan dalam kurikulum nasional dan buku paket (sejarah) pun, dengan tegas ditulis Perang Aceh. Sayangnya, kebanyakan orang dari kita ini bahkan tidak pernah melihat sejarah perang ini dari segi dokumentasi yang ditinggalkan oleh perang, atau jangan-jangan mereka mengetahui hal itu. sepertinya, ada degradasi (persepsi) sejarah yang luar biasa ketika orang-orang berbicara tentang sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda (1873-1942).

Sejarawan dan mahasiswa sejarah juga demikian. Mereka yang mempunyai tugas utama untuk membongkar ingatan masa lalu, ternyata juga menulis dan menyebut Perang Aceh. Bahkan ada dugaan kuat, besar kemungkinan orang pertama yang mempopulerkan sebutan Perang Aceh adalah sejarawan. Dengan tegas sejarawan menganggap dan menyebut perang antara Aceh dengan Belanda ini sebagai Perang Aceh. Tidak percaya? Tengok saja dari berbagai literasi (buku) sejarah yang beredar luas di masyarakat. Sementara dari sejarawan Belanda, saya tidak mau berkomentar.

Yang membuat banyak saya keanehan, sejarawan gagal menggunakan metodologi sejarah ketika mengungkap sejarah perang ini. Tampaknya, ada degradasi sejarah yang luar biasa ketika berbicara sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda. Dan, tampaknya juga sejarawan benar-benar gagal menerpakan metodologi sejarah (kritik sumber, intepretasi atau penafsiran, dan historiografi sejarah) dalam mengungkap sejarah Aceh diseputaran perang dengan Belanda. Saya tidak tahu sejak kapan sebutan Perang Aceh dikumandangkan dalam buku-buku sejarah hingga dikenal samapai generasi saat ini. Tapi yang jelas hal ini telah dilakukan, dituliskan, dan dipertahankan selama bertahun-tahun.

Sejarah perang antara Belanda dengan Aceh ini memang mengundang perhatian di banyak kalangan, tidak hanya sejarawan tetapi juga peminat sejarah. Bagaimana pejuang Aceh merespons maklumat perang dan membuat Belanda kewalahan menghadapi di medan area, menjadi bukti bahwa perang ini cukuplah besar. Sayangnya, apa yang telah ditunjukkan oleh pejuang Aceh (tidak hanya pemimpin perang saja), ternyata hanya dituliskan sekitar 3 atau 5 halaman saja dalam buku paket sejarah di SMA. Pada saat bersamaan, rupanya kesalah fatal ini tidak hanya berlaku bagi Aceh, tetapi juga bagi sejarah daerah lainnya (yang kemudian menjadi sejarah nasional) mengalami hal yang sama, bahkan ada daerah yang sejarahnya tidak dimasukkan.

Memang benar, sebelumnya saya juga menyebut perang ini dengan sebutan Perang Aceh. Tapi begitu saya mengetahui alur cerita sejarahnya, saya berhenti untuk tidak menyebutnya lagi. Saya cukup miris mendengar, melihat dan mengetahui bahwa masih banyak orang yang mau menyebut Perang Aceh ketika tanggal 26 Maret tiba, atau saat mereka menceritakan tentang Umar, Dhien, Meutia, Panglima Poling, sampai ke Hikayat Prang Sabil. Anda tahu, Perang Aceh yang Anda sebut demikian itu tidaklah seperti yang Anda sebut sebagai Perang Aceh, karena fakta sejarahnya tidak demikian. Ini bukan perang Aceh, bung.

Jika Anda mampu menunjukkan bukti sejarah bahwa Aceh yang mengultimatum perang atau Aceh yang memulai perang, maka perang Aceh pantaslah disebut demikian. Tapi jika tidak mampu menunjukkan, maka jangan bertindak sok tahu apalagi berani mengklain diri sebagai sejarawan. Mengapa masih menyebut Perang Aceh? Anda tidak punya jawaban yang kuat untuk menjawabnya. Akan lebih mudah bagi saya berbicara sejarah sesuai dengan faktanya, ketimbang mengikuti atau meneruskan tradisi yang salah tentang sejarah Aceh yang satu ini.

Jika Anda punya waktu, silahkan datangi mahasiswa Bahasa Indonesia atau ahli bahasa untuk tanyakan soal makna Perang Aceh. Tanyakan kepadanya apa arti atau maksud dari dua kata ini: Perang Aceh atau Perang dan Aceh. Bukan sejarahnya yang harus Anda tanyakan, tapi arti dari bahasa Perang Aceh atau Perang dan Aceh. Jika punya waktu, ada baiknya Anda tanyakan soal itu.

***
Rabu, 26 Maret 1873, Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen, berdasarkan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Belanda, menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh. Pernyataan Nieuwenhuijzen inilah yang seharusnya dapat Anda jadikan sebagai patokan apakah pantas perang ini disebut sebagai PERANG ACEH.

Perang Aceh, itulah yang selama ini seringkali kita dengar. Bahkan dalam buku-buku sejarah, media, makalah, jurnal, artikel, opini, acara seminar, atau apapun yang terkait dengan itu, sebutan Perang Aceh bertebaran begitu banyak. Penyebutan Perang Aceh sudah menjadi senjata tersendiri bagi kita yang mengikuti sejarah ini. Maka tak heran, ketika tanggal 26 Maret tiba sebutan Perang Aceh pun tak pernah lekas dalam ingatan kita. Anggapan tersebut bisa saja benar, kecuali itu bagi mereka yang tak pernah paham tentang cerita jalannya perang tersebut, sekalipun perang itu terjadi di Aceh.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa penyebutan tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi kita. Berulangkali saya menahan diri dan berpaling agar tidak mendengar dan ikut larut dalam penyebutan Perang Aceh. Tapi akhirnya saya tak tahan juga. Semenjak kuliah di jurusan Pendidikan Sejarah Unsyiah Banda Aceh hingga sekarang, saya sudah lama meninggalkan penyebutan Perang Aceh. Semula, karena saya tidak tahu sejarahnya maka saya ikut latah menyebut Perang Aceh. Namun, hal itu tidak berlaku lagi bagi saya dan hilang dalam ingatan saya tentang penyebutan Perang Aceh. Sebab saya punya dasar yang kuat (fakta sejarah) untuk mengatakan bahwa perang ini bukanlah Perang Aceh. Bahkan saya juga sempat mengkritisi kalangan mahasiswa sejarah tentang sebutan Perang Aceh ini. Saya lebih senang menyebutnya sebagai Perang Belanda di Aceh atau Perang Fisabilillah.

Apa yang kita sebut selama ini sebagai Perang Aceh sudah jamak dilakukan oleh kebanyakan orang, bahkan oleh masyarakat Aceh sendiri. Yang membuat saya heran dan menganggapnya sebagai pembodohan sejarah, mengapa orang-orang tidak berpikir kritis dalam sejarah. Pada saat bersamaan, saya juga yakin beberapa orang yang menyebut Perang Aceh, tahu persis jalannya perangnya ini. Mereka juga tahu siapa yang mengultimatum perang dan pihak mana yang memulai perang. Mereka tahu itu, tapi kenyataannya mereka masih menyebut Perang Aceh. Kita boleh-boleh saja berdebat soal hal tersebut, tapi harus ada dasarnya. Maka ketika berbicara perang ini, kita harus merujuk kepada ultimatum perang yang dicetuskan.

144 tahun yang lalu atau tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873, siapa yang menyangka bahwa di Aceh akan terjadi peperangan yang maha dasyat dengan perputaran uang dan memakan korban jiwa yang sedemikian besar? Tidak pernah ada yang menyangka itu. Berawal dari nafsu yang tak mampu dibendung lagi, dari situlah kisah perang dimulai. Dan, jika kita menarik lebih jauh lagi yaitu sebelum tahun 1873, ada banyak alasan mengapa perang itu terjadi.

Melalui surat menyurat, diancamnya hubungan diplomatik serta dicaploknya beberapa daerah di Aceh, akhirnya perang tersebut meletus. Adanya revisi Perjanjian Traktat London (1824) dan Traktat Sumatera (1871) menjadi bukti tertulis siapa yang memancing perang Belanda dan Aceh. Beberapa alasan lainnya menyatakan bahwa perang tersebut meletus disebabkan karena Belanda merasa janggal apabila wilayah Aceh yang letaknya cukup strategis sekaligus merupakan gerbang masuk ke Nusantara, tidak dikuasai seluruhnya (pulau Sumatera termasuk Aceh) dan takut di ambil alih oleh pihak asing. Karena itu, Aceh harus ditaklukkan. Inilah alasannya mengapa perang tersebut meletus dan dijadikan oleh sejarwan sebagai acuan sebab akibat terjadinya Perang antara Belanda dan Aceh.

Sebelum pernyataan atau ultimatum perang itu dicetuskan, pihak Belanda terlebih dahulu melakukan surat-menyurat dengan Kerajaan Aceh. Surat-menyurat tersebut termaktub di Kapal Perang Citadel van Antwerpen pada bulan Maret tanggal 22, 23, 24, 25, 26, 27, 30 Maret dan tanggal 1-2 April tahun 1873. Kedua belah pihak saling membalas isian surat. Belanda sebagai pihak pertama yang melayangkan dakwaan, kerapkali menggunakan bahasa provokatif yang ditujukan kepada Aceh. Rincinya, kesimpulan dari isi surat tersebut adalah agar Aceh dapat mengakui kedaulatan dan tunduk kepada Pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, Belanda dengan segala kekuasaan yang ia punya maka mengeluarkan ultimatum perang kepada Kerajaan Aceh.

“Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan PERANG kepada Sultan Aceh. Dengan pernyataan ini setiap orang diperingatkan terhadap beradanya mereka dibawah akibat perang dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam perang”, demikianlah bunyi pengkalan surat pernyataan perang Belanda kepada Aceh, termaktub di kapal perang Citadel van Antwerpen yang berlabuh di Aceh Besar, pada hari Rabu tanggal 26 Maret 1873 yang tertanda Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen.

Pernyataan perang yang dilayangkan Belanda pada 26 Maret 1873 itu, disikapi dengan serius oleh Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Alaiddin Mahmd Syah. Setelah menerima laporan terperinci dari Balai Siasat Kerajaan (Kapala atau Badan Intelijen Kerajaan), Sultan langsung mengadakan musyawarah/rapat akbar bersama seluruh pejabat dan pemuka negeri Aceh. Sultan juga turut mengambil sumpah setia seluruh penduduk negeri yang akan menghadapi perang Belanda ini. Artinya, dalam rapat akbar tersebut telah diambil satu keputusan bulat bahwa Aceh akan melakukan perang total jika Belanda tetap menyerang Aceh.

Sultan Aceh pun berkata: “Tidak ada putusan lain yang kita ambil, kecuali menghadapi ancaman Belanda dengan semangat jihat”, demikian titah Sultan. Segenap lapisan masyarakat juga diserukan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan Kerajaan Aceh dari setiap serangan. Maka berkatalah Sultan: “Udep merdeka, mate syahid, langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata, salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.”

Sementara itu, pasukan Belanda telah memasuki dan berada diwilayah Aceh melalui pantai Ceureumen dan Meugat. Pihak Belanda dengan kekuatan penuh (logistik perang) dan menurunkan 3.200 serdadu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal J.H.R Kohler telah berada di pantai Ulee Lheue dan siap mengeksekusi pernyataan perang yang ditujukan kepada Aceh. Kekuatan Belanda dalam ekspedisi pertama ini terdiri dari berbagai pasukan, seperti Satu Detasemen Cavaleri, Bataliyon Kesatuan Barisan Madura, barisan meriam, barisan Genie, staf tatausaha dan pemandu kesehatan. Mayor Jenderal Kohler, yang dibantu oleh Kolonel C.E van Daalen dan Kolonel A.W. Egter van Wisserkerke selaku kepala staf, siap menyerang dan menduduki Kerajaan Aceh. Maka apa yang tidak pernah terbayang sebelumnya, akhirnya perang ini meletus. Kerajaan Aceh yang sebelumnya tidak menginginkan agar Belanda tidak menyerang Aceh, maka Aceh harus menghadapi Belanda dengan segala kekuatan yang ia punya. Aceh pun akan menyerang Belanda secara total.

Perlawanan dan pengkhianatan telah bercampur aduk disana selama perang berlangsung. Belanda dengan segala kelicikannya, harus memainkan dan mencari taktik khusus perang untuk menaklukkan Kerajaan Aceh. Bahkan orientalis terkenal Snouck Hurgronje dikirimkan dari Belanda ke Arab Saudi untuk mempelajari Islam, lalu ditempatkan di Aceh dan menyamar sebagai ulama dengan nama samaran Abdul Gaffar. Hal ini dilakukan oleh Belanda sebagai bentuk konspirasi untuk mempelajari watak dan karakter kaum muslimin Aceh. Ini juga sebagai bukti betapa frustasinya Belanda menghadapi Aceh dan mengusung misi fisabilillah (jihad di jalan Allah). Dengan demikian, maka jelaslah bahwa perang tersebut bukan Perang Aceh, melainkan Perang Belanda atau Perang Belanda di Aceh.

Perang menundukkan Aceh merupakan perang Belanda yang terlama, dan perang termahal yang harus dilakukan Belanda untuk tidak bisa menundukkan Aceh. Sebuah perang dimana dalam catatan sejarah Belanda, merupakan perang yang begitu panjang dan yang paling pahit (mungkin) melebihi pahitnya pengalaman mereka di Eropa. Kenyataan bahwa perang Sabil terus berkobar dan berkecambuk hampir diseluruh Aceh, Belanda tidak mampu menaklukkan Aceh. Bagi Belanda, Perang di Aceh merupakan kegagalan mereka menerka Aceh.

Kenyataan bahwa Belanda sebagai pihak pertama yang memancing perang dan melayangkan ultimatum perang kepada Kerajaan Aceh, lantas mengapa kita masih menyebut perang ini sebagai Perang Aceh. Saya katakan bahwa ini bukan Perang Aceh, meskipun perang ini berlangsung di Aceh. Dasar fakta sejarah apakah yang Anda pegang sehingga Anda berani mengklaim itu sebagai Perang Aceh? Apakah Aceh juga pernah menyerang Negeri Belanda? Dan, pada saat bersamaan apakah Sultan Aceh juga melayangkan surat pernyataan perang (ultimatum) sebagaimana yang didalilkan oleh Belanda kepada Aceh? Sebutan untuk Perang Aceh sama sekali tidak tepat, sebagaimana yang Anda yakini selama ini. Perang Aceh, sama halnya dengan penyebutan bagi Perang Padri, Perang Diponerogo, dan perang lainnya. Fakta di atas agaknya sudah cukup bukti untuk menyatakan bahwa perang tersebut bukan Perang Aceh, melainkan Perang Belanda.

Jadi, sangat naif sekali rasanya jika dikatakan memori Aceh 1873-1942 yang dimulai dari tanggal 26 Maret disebut sebagai Perang Aceh, sekalipun perang tersebut terjadi di Aceh. Ini sangat jelas a-historis. Membalikkan fakta dan sejarah di Aceh. Ini juga tidak lebih dari konspirasi politik sejarah yang sesat dan menyesatkan. Dengan segala hormat, izinkan saya mengtakan kepada Anda melalui tulisan ini: hentikan sebutan tentang tanggal 26 Maret 1873 yang selama ini kalian sebut sebagai Perang Aceh, karena fakta sejarah tidak demikian. Silahkan saja Anda sebut perang ini sebagai Perang di Jalan Allah atau Perang Fisalibillah atau Perang Belanda di Aceh. Jika Anda masih tetap mengatakan bahwa perang ini sebagai Perang Aceh, rasa-rasanya kemenangan dalam penulisan sejarah (historiografi) ada di pihak Belanda.

Sebuah Catatan Kecil

Dari mereka yang menganggap Perang Belanda di Aceh sudah mati, kita tidak mendengar lagi kenangan-kenangan tentang perang ini. Logis memang. Yang lainnya, bagi mereka yang menganggap Perang Belanda di Aceh belum sepenuhnya mati, masih sesekali menulis bahwa peringatan tentang Perang Belanda di Aceh tampaknya sudah mati; sebuah peristiwa maha dasyat dimasa lalu yang benar-benar sudah mati. Mereka sama sekali tidak menyesalinya, karena kita tidak bisa belajar apa-apa dan mengambil pesan (pelajaran) yang terkandung di dalam perang ini, begitu pendapat mereka.

Sementara yang setengahnya lagi, para literatur dan sejarawan (amatir), dengan fakta-fakta kosongnya juga telah membuat perang ini seolah mati, sekalipun mereka sebagai pihak pertama yang menghidupkan perang ini. Sisanya, mahasiswa sejarah, dengan sombongnya bercerita dan berbicara tentang peristiwa maha besar ini, yang kemudian diwujudkan dan dituangkan ke dalam abjad-abajd palsu, lalu di arsipkan di rak kamar kost. Tapi begitu tanggal peristiwa itu tiba, mereka yang mengatasnamakan mahasiswa sejarah lebih memilih bungkam, diam dan mendiamkan. Tubuh dan tangannya tak bergerak untuk memperingati dan menulis peristiwa tersebut. Justru mereka menganggap bahwa perang ini adalah sesuatu yang bisa diselesaikan dari mulut ke mulut; omongan kosong.

Selama ini kita hanya membanggakan Perang Belanda di Aceh dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita. Sampai pada akhirnya kita lupa untuk berpikir bagaimana cara menulisnya lagi. Sehingga kita tidak sempat berpikir, bagaimana nasib sejarah Aceh ini. Kapan hari untuk peringatan sejarah Perang Belanda di Aceh atau juga sejarah Aceh lainya diadakan dan ditetapkan? Sudahkan generasi bangsa ini berbangga dengan tokoh sejarahnya? Entahlah!! Yang pasti sampai saat ini kita hanya mengetahui peringatan sejarah ini lewat mulut ke mulut. Kita tidak sempat berpikir adanya hari berkabung untuk para korban Perang Belanda di Aceh. Bukankah perang ini berkobar ke seluruh wilayah Aceh?

Kita semua tidak pernah mengenal adanya peringatan hari besar Perang Belanda di Aceh. Akan tetapi jikalau sekedar menanyakan nama-nama pahlawan Aceh, Insya Allah dengan fasih dan lancar lidahnya akan keluar semua nama-nama itu. Tapi lain halnya, jika kita ditanyakan kapan hari dan tanggal peristiwa sejarah Aceh ini diperingati? Semuanya akan bungkam dan sedikit menggelengkan kepala.

Iya atau tidak, memang begitulah realitas yang terpampang dihadapan kita sekarang. Sebuah realita yang memaksa kita untuk bertanya, mengapa? Patutkah kita berbangga diri dengan memiliki sejarah Aceh yang besar ini? Patutkah kita membusungkan dada seraya berkata akulah generasi bangsa Aceh darah pahlawan, pejuang dan pemberani? Anda tahu, sebagian pahlawan Aceh kerapkali disebut sebagai musuh dalam buku-buku sejarah Aceh yang ditulis oleh orientalis Belanda. Sepertinya ada yang salah dengan pandangan kita tentang Perang Belanda di Aceh dan sejarah Aceh lainnya. Mungkin karena sejarah tidak menceritakan secara detail, maka ingatan masa lalu tentang hal itu masih dibawah tingkat kepopuleran.

= = = = = = =

Minggu, 26 Maret 2017

**Chaerol Riezal adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah asal Aceh. Email: charerolriezal@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun