Dari Historiografi Belanda-sentris Menjadi Indonesia-sentris (Baru dan Modern)
Oleh: Chaerol Riezal*
Penulisan sejarah pada masa pasca kemerdekaan didominasi oleh peristiwa-peristiwa yang masih hangat pada waktu itu, seperti proklamasi kemerdekaan Indonesia, pembentukan pemerintahan Indonesia, perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan, dan lain sebagainya. Rincinya, kejadian-kejadian sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan sorotan utama dalam penulisan sejarah pada masa itu. Lihat saja bagaimana terkenalnya Soekarno dan Hatta (disamping tokoh-tokoh lainnya) dalam penulisan sejarah Indonesia di sekitaran peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Sementara yang mengangkat tentang tokoh-tokoh utama yang telah banyak berjasa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, penulisan sejarahnya banyak ditulis dan diterbitkan dalam bentuk biografi seperti Teuku Umar, Diponegoro, Imam Bonjol, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan sebagainya.
Tak hanya itu, tulisan mengenai tokoh-tokoh pergerakan nasional banyak ditemui dalam penulisan sejarah pasca kemerdekaan Indonesia. Diterbitkannya biografi dan tulisan tentang tokoh-tokoh tersebut, dengan tujuan agar rasa nasionalisme dapat tumbuh dan tidak rapuh dikalangan masyarakat, termasuk juga para pemuda. Sebab, pada waktu itu Indonesia yang baru saja berdiri layaknya seperti bayi yang baru lahir, dikhawatirkan sangat rentan digoyang oleh kekuatan dalam maupun luar.
(Mengubah Status) Pemberontak menjadi Pahlawan
Pasca Indonesia merdeka, sebuah gerakan untuk melawan dan menolak, bahkan termasuk untuk pembaharuan terhadap arus utama (tokoh atau objek perhatian) dalam historiografi Indonesia masa tradisional dan kolonial pun terjadi. Muncul keinginan besar dikalangan sejarawan Indonesia untuk mengkritik sekaligus memperbaharui historiografi Indonesia di masa-masa sebelumnya.
Akhirnya, penulisan sejarah Indonesia pun digugat. Narasi besar itu dipertanyakan oleh sejarawan Indonesia tentang kedudukan masyarakat Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia sendiri, atau dengan istilah lain “Pribumisasi”, terutama (apalagi) sejarah Indonesia yang ditulis oleh sejarawan Belanda.
Penulisan sejarah Indonesia pada masa sebelumnya, seperti yang dijelaskan secara singkat diatas dan pada artikel sebelumnya, baik historiografi masa tradisional maupun historiografi masa kolonial, ibarat seperti sebuah sinetron. Anda tahu, kedua historiografi tersebut (hanya) menempatkan kedudukan pribumi Indonesia dalam penulisan sejarah bangsanya sendiri sebagai peran pendamping saja yang di skanariokan dalam sebuah sinetron. Dalam kasus ini, sinetron dramanya berjudul Historiografi Indonesia.
Awalnya, penulisan sejarah di Indonesia pada periode sebelumya adalah hanya sekadar menempatkan atau menukar posisi tokoh Belanda dengan tokoh Indonesia (pahlawan untuk penjajah, dan pemberontak untuk Indonesia). Jadi, sebelumnya tokoh-tokoh Belanda dalam penulisan sejarah Indonesia digambarkan sebagai pahlawan di negeri jajahan. Sementara tokoh dan rakyat Indonesia (terutama yang melawan Belanda) disebut sebagai pemberontak, pembangkang, bandit, dan sebagainya.
Sebgai contoh, ketika Belanda mengultimatum dan menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh (bentuk lain dari sebuah negara yang sah pada tempo dulu), ada begitu banyak rakyat Aceh yang melawan akibat dari pernyataan tersebut. Sebut saja nama-nama seperti Sultan Aceh, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro dan sebagainya berdiri di garda terdepan bersama pasukan Aceh untuk melawan kerakusan Belanda terhadap kekuasaan dan kekayaan alam di negeri ini.
Namun, perjuangan rakyat Aceh yang begitu fantastis dalam mempertahankan marwah dan harga diri yang dirusak oleh Belanda itu, telah digambarkan tidak lebih sebagai pemberontak. Teuku Umar dkk. Yang mempertahankan kedaulatan Aceh dan bertindak sebagai pemimpin pasukan Aceh, dinyatakan sebagai pemberontak oleh Belanda dalam penulisan sejarah pada masa itu. Hal serupa juga terjadi di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya, bahwa Pangeran Dipenogoro, Imam Bonjol, dan tokoh-tokoh lainnya adalah pemberontak.
Akhir dari perjalanan historiografi Indonesia masa kolonial yang menggambarkan tentang tokoh-tokoh pemberontak Indonesia yang melawan kepada Belanda, harus berakhir ditangan sejarawan Indonesia. Berkat seminar sejarah nasional yang diselenggarakan oleh sejarawan pada 1957, dan kemudian diperkuat lagi oleh negara Republik Indonesia melalui Presiden (UU dan Keppres), tokoh-tokoh tersebut yang digambarkan oleh Belanda sebagai pemberontak atau pembangkang itu diberikan tanda jasa gelar pahlawan nasional.
Tentu saja ini penantian yang sangat panjang, berliku-liku dan menentang pemikiran yang membela Belanda. Tapi, Anda tahu, syarat mutlak untuk kemudian diberikan gelar pahlawan nasional adalah tokoh tersebut harus meninggal dunia dulu, adanya sumbangan kontribusi yang ia berikan untuk negara berdasarkan catatan perjalanan sejarahnya. Karenanya, tidak (mungkin) ada satupun pahlawan nasional yang masih hidup. Kecuali pahlawan-pahlawan lainnya, seperti guru, orang yang menyelamatkan hidup seseorang, atau ... mereka yang membantu para korban yang sedang ditimpa musibah dengan ikhlas dan tampa pamrih.
Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, Sisingamangaraja, Bung Tomo dan lain sebagainya adalah tokoh-tokoh yang diberikan gelar pahlawan nasional. Namun, untuk Belanda, kehadiran tokoh-tokoh tersebut bukanlah sejarah yang menyenangkan untuk dibaca. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Indonesia itu digambarkan oleh Belanda sebagai pemberontak atau pembangkang. Padahal jika kita mengkaji lebih dalam, mereka yang dicap sedemikian rupa oleh Belanda itu hanya “memberontak” di rumah sendiri, di negaranya sendiri. Bukan di wilayah Belanda, “Negeri Kincir Angin”.
Belanda yang menggambarkan tokoh-tokoh itu sebagai pemberontak terhadap pemerintah Kolonial yang sah (katanya-?), dikarenakan telah menganggu kepentingan Belanda di negeri jajahan. Tak heran, narasi kotor tentang hidup tokoh-tokoh pemberontak itu digambarkan negatif dalam sejarah pada zamannya dan sesudah Indonesia merdeka. Tapi, sejarawan dan negara Indonesia mencoba memulihkan nama mereka dengan memberikan gelar pahlawan nasional dan mengubah kedudukan mereka dalam sejarah bangsa Indonesia.
Namun, dengan dicetuskannya maklumat penulisan sejarah Indonesia baru pada tanggal 14 Desember 1957 di Yogyakarta, maka tokoh-tokoh Indonesia itu bertindak sebagai pahlawan bangsa dan negara. Hari penulisan sejarah Indonesia modern tersebut, telah mengubah status tokoh bangsa Indonesia dari pemberontak menjadi pahlawan nasional. Umar, Dhien, Meutia, Dipenogoro, Imam Bonjol dan sebagainya yang dulunya disebut sebagai pemberontak, kini telah menjadi pahlawan bagi bangsa Indonesia. Itulah sebabnya mengapa orang-orang sering bertanya, bagi Belanda dan Indonesia Teuku Umar itu pahlawan atau pemberontak?
***
Seperti yang berulang kali saya katakan, bahwa pada masa historiografi kolonial, tokoh-tokoh sejarah Belanda dan masyarakat Indonesia yang memihak kepada Belanda ditempatkan secara khusus sebagai tokoh yang berperan penting di dalam penulisan sejarah Indonesia, atau dengan kata lain apa yang disebut sebagai pahlawan. Sebaliknya, tokoh-tokoh dari masyarakat pribumi Indonesia yang melawan dan menentang keras kehadiran kolonial Belanda di Indonesia digambarkan sebagai pemberontak, pembangkang, penjahat, bandit, berandal, lanun, dan sebagainya. Kedua hal tersebut pun tercermin dalam penulisan sejarah Indonesia masa kolonial.
Tetapi, setelah Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 dan membentuk sistem pemerintahan (negara RI), sebuah gerakan atau arus Indonesiasisasi mengalir deras dalam segala bidang, termasuk tentang perspektif penulisan sejarah Indonesia baru, atau ... Indonesia-sentris.
Sejak saat itulah muncul sebuah gerakan tentang perlunya penulisan sejarah Indonesia-sentris. Ketika penulisan sejarah Indonesia-sentris, pada tahap selanjutnya, muncul pula penulisan sejarah Indonesia dari berbagai perspektif politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya dalam kaca mata ke-Indonesia-an dan nasional.
Memang, harus diakui bahwa penulisan sejarah Indonesia-sentris hanya sekadar menukar atau membalikkan kedudukan saja; dari pemberontak menjadi pahlawan. Artinya, sejarahnya hanya dibuat terbalik saja. Jika ada tokoh-tokoh Indonesia dalam historiografi kolonial dicap sebagai pemberontak, pembangkang atau penjahat, maka dalam historiografi Indonesia-sentris ini ditukar menjadi pahlawan (tokoh utama). Sebaliknya, tokoh-tokoh Belanda diceritakan sebagai penjahat di negeri jajahan. Hal tersebut dapat Anda telusuri dalam buku-buku sejarah yang telah diterbitkan. Jika dulu Anda pernah membaca buku sejarah yang berjudul Pemberontakan Rakyat Indonesia ... (sesuai judul aslinya), kini Anda akan membaca buku sejarah yang berjudul Peranan dan Perjuangan Rakyat Indonesia ... Semoga Anda paham apa yang saya maksudkan.
Tetapi, dengan adanya Seminar Sejarah Nasional yang diselenggarakan oleh sejarawan Indonesia pada tempo dulu, historiografi Indonesia tidak hanya lagi sekadar menukar peran dan kedudukan antara tokoh Indonesia dan Belanda. Sebab, setelah diselenggarakanya kongres atau seminar sejarah nasional tersebut, historiografi Indonesia mengalami pembaruan dalam mengungkap peristiwa masa lalu. Pembaruan tersebut mengalir deras di kalangan sejarawan Indonesia yang menggunakan dan memperbaharui metodologi sejarah, teori sosial, pendekatan sejarah kritis, menggunakan berbagai disiplin ilmu, dan sebagainya. Hal tersebut merupakan sesuatu yang belum terbayangkan oleh sejarawan Indonesia sebelumnya.
Lantas, muncullah pertanyaan; apakah dengan cara seperti itu, memberikan gelar pahlawan nasional dan mengubah kedudukan pribumi dalam sejarah bangsa Indonesia, histoiografi Indonesia-sentris adalah sesuatu yang menggembirakan?
***
Perubahan pandangan penulisan sejarah yang semula dari Belanda-sentris menjadi Indonesia-sentris, tentu saja berpengaruh besar dalam perkembangan historiografi Indonesia pada tahap selanjutnya. Perubahan ini dapat dilihat dengan terbitnya buku sejarah dari yang semula berjudul pemberontakan menjadi perlawanan atau perjuangan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penulisan sejarah Indonesia harus dipandang dan ditulis oleh orang Indonesia sendiri dan dari kacamata Indonesia itu sendiri. Alasannya pun cukup jelas; bahwa pandangan penulisan sejarah Indonesia-sentris memungkinkan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai bangsa rendahan, terutama oleh kolonial Belanda.
Semenjak diadakan Seminar Sejarah Nasional dan Lokal oleh sejarawan Indonesia, muncul beberapa permasalahan yang cukup dirasakan. Sejarawan Indonesia ternyata masih mengekor pada tradisi historiografi kolonial. Artinya Belanda masih sangat dominan dalam penulisan sejarah di Indonesia, sekalipun dalam bentuk negatif (penjahat atau penjajah).
Selain itu, penulisan sejarah Indonesia juga masih di dominasi oleh tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia itu sendiri. Hal ini bukan berarti untuk menjelekkan atau meniadakan perjuangan dan dedikasi mereka terhadap bangsa Indonesia. Akan tetapi, jika tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia terus di dengungkan dalam penulisan sejarah bangsa ini, sehingga kehadiran masyarakat bawah di dalam sejarah menjadi terabaikan. Bukankah masyarakat Indonesia di pedalaman juga memiliki peranan dalam sejarah bangsa ini? Bukan para santri yang mondok di dalam pesantren di desa-desa pedalaman merupakan tembok terakhir dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia? Begitu juga dengan para petani, buruh, dan masyakat Indonesia lainnya yang belu terjamah dalam penulisan sejarah bangsa ini.
Akan tetapi, sejarawan Indonesia ternyata sudah sadar akan hal tersebut. Sehingga dalam penulisan sejarah Indonesia modern, muncul peranan rakyat kecil atau wong cilik sebagai pelaku sejarah. Di berbagai universitas yang memiliki jurusan pendidikan sejarah, ilmu sejarah atau sejenisnya pun telah banyak mengunggkapkan hal itu dalam berbagai skripsi, tesis dan disertasi. Semenjak saat itulah, khasanah historiografi Indonesia modern mengalami perkembangan yang signifikan dan bertambah luas, termasuk alat (metodologi sejarah) yang mengungkapkan peristiwa masa lalu dengan berbagai pendekatan disiplin ilmu.
Akhirnya, dalam kesempatan ini untuk menutup tulisan akhir (ketiga) dari dua tulisan yang sudah diterbitkan, meskipun tanggal 14 Desember 2016 telah berlalu namun saya telah menerbitkan tulisan tepat di hari itu, izinkan saya mengucapkan: Selamat Hari Penulisan Sejarah Indonesia (14 Desember 1957 – 14 Desember 2016). Semoga Historiografi Indonesia terus berkembang dengan membawa kabar yang menggiurkan, sehingga kita bisa memetik pelajaran dari berbagai peristiwa di masa lalu yang sudah terjadi. Semoga juga mahasiswa sejarah Indonesia tidak hanya menulis skripsi atau tesis saja, tetapi juga semakin banyak yang menulis sejarah bangsa Indonesia dalam berbagai perspektif. Insyallah.
(Selesai).
*Chaerol Riezal
= = =
**Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Sejarah, saat ini masih sedang menimba ilmu di bidang pendidikan sejarah. Ilmu yang sedang ditimba saat ini akan menjadi bekal untuk menghadapi tantangan di era globalisasi nan-modern ini. Hingga detik ini penulis masih menyimpan sebuah harapan untuk ikut menyumbangkan karya historiografi Indonesia, terutama menyangkut masalah sejarah Aceh dan daerah tempat penulis dilahirkan. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H