Oleh: Chaerol Riezal*
Sejujurnya saya tidak mau menuliskan tentang tulisan ini, tapi semakin lama saya tak tahan juga. Tulisan ini tidak bermaksud untuk merendahkan, meremehkan dan menyudutkan apalagi mengucilkan kota Solo dari peredarannya dan keindahan yang ada di dalamnya. Anda tahu, Solo adalah wujud dari keaslian orang-orang Jawa. Seperti halnya Kota Yogyakarta, beragam kebudayaan, adat, kuliner, wisata dan sebagainya, bersemayam di dalam kota Solo. Lalu mengapa saya mau menuliskan kota Solo jauh dari keindahannya? Well,saya ceritakan lewat tulisan ini.
Orang-orang (mungkin) akan menertawakan saya lewat sebuah sindiran, kira-kira begini: “tampaknya Chaerol Riezal (penulis) ini baru pertama kali tinggal di kota besar yang jumlah penduduknya padat, atau dengan kata lain dia sangat jarang pergi ke kota-kota besar.” Jika benar demikian, saya tidak dapat membantah ucapan tersebut.
Adalah benar bahwa saya anak dari pasangan yang sudah lama tinggal di kampung, sebuah kampung yang isinya penuh dengan kota hijau (kelapa sawit), lalu di umur 18 tahun saya pergi ke kota Banda Aceh untuk menuntut ilmu selama 5 tahun, hingga akhirnya saya sampai di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, Banten, Tangerang, Magelang, Bandung, Yogya, Solo, Semarang, Surabaya (dan kota-kota selanjutnya yang akan saya singgahi, Insyaallah).
Ya benar, saya adalah anak kampung yang pergi ke kota untuk menuntut ilmu, tidak seperti anda yang (barangkali) lahir-besar-hidup-dan-menetap di kota-kota besar tapi jarang pergi ke kampung (mungkin).
***
Solo adalah perwujudan dari kepulauan Jawa; salah satu wilayah yang paling kental Jawa. Ia terlihat berbeda dengan daerah Jawa lainnya dan perbedaan itu bahkan bisa terlihat dari gaya Wong Solo sehari-hari seperti (budaya, adat, kuliner, wisata dan sebagainya), meskipun benturan budaya tidak dapat dihindari lagi.
Usai tinggal di kota Solo selama hampir dua bulan, sedikit tidaknya saya mulai memahami kehidupan sosial masyarkat Solo, entah itu karakter, budaya dan adat, meskipun belum seutuhnya saya pahami. Umumnya yang saya jumpai, pembawaan masyarakat Solo sangat ramah dan santun, terutama bagi saya yang baru tinggal di kota Solo. Dengan menggunakan bahasa jawanya, mereka memanggil seseorang (selain nama asli yang sudah dikenal) dengan sebutan Mas bagi laki-laki dan mbak bagi perempuan.
Tetapi, ada satu hal yang membuat saya sangat terkejut dan selalu dihantui oleh hal ini; “Para Pengendara Motor.” Rasanya saya tidak bisa percaya bahwa kenyataannya jauh berbanding balik dari apa yang saya sebutkan diatas bahwa masyarakat Solo yang santun dan ramah.
Dengan rombi sweater, baju kemeja atau kaos oblong yang membungkus tubuhnya dan dilapisi masker penutup mulut serta jaket dan mengenakan tas ransel, para pengendara sepeda motor di Kota Solo tampaknya seperti ingin mudik ke kampung halamannya. Padahal mereka sedang menjalankan rutinitas sehari-hari di Kota Solo, seperti bekerja, kuliah, pergi ke suatu tempat, menyantap kuliner, bahkan hanya sekadar jalan-jalan (dolan-dolan) saja.
Apa yang saya temui tentang para pengendara (terutama yang bersepeda motor) di berbagai jalan di Solo adalah semacam sisi lain dari karakter yang santun dan ramah. Ini jelas sangat berbeda dari kenyataan yang ada. Untuk menjelaskan bagaimana pengendara membawa motor di jalan-jalan yang ada di Solo, sepertinya saya harus berpikir ulang dan memilih kata-kata yang tepat untuk diceritakan.