Mohon tunggu...
Chabibul Wahab
Chabibul Wahab Mohon Tunggu... Mahasiswa - alhamdulillah sehat

mantab

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Peran Kyai dan Santri dalam Revolusi Indonesia

30 November 2021   21:45 Diperbarui: 30 November 2021   22:22 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NU selaku partai politik Islam terbanyak pada waktu itu yang menempati urutan kedua dalam perolehan suara pemilu 1971 di dasar Golkar sangat dirugikan dengan kebijakan fusi. 29 Hingga kesimpulannya, kebersamaan NU dengan unsur- unsur lain dalam PPP kerap terjalin perbandingan pemikiran yang berujung pada perilaku silih curiga serta konflik berkelanjutan. NU yang sesungguhnya jadi penyumbang suara terbanyak dalam PPP tidak tidak sering memperoleh perlakuan yang tidak layak serta diskriminatif, sehigga kyai memutuskan buat keluar dari PPP. Awal, NU mau kembali mengurus garapan sosial- keagamaan yang terlantar kala NU ikut serta politik instan semenjak tahun 1952.

Kedua, keberadaan NU selaku salah satu faktor dalam PPP sudah membuat dakwah NU cuma terbatas pada kalangan tertentu, serta tidak dapat menembus ke area yang lebih luas. 32 Sementara itu bila ditinjau dari kerja keras yang dicoba, NU- lah yang sangat berkeringat serta yang sangat banyak menyumbangkan massanya terhadap partai politik yang diikutinya. Ada perbandingan yang tajam antara rezim Soekarno dengan Soeharto, paling utama dalam komunikasi antara pemerintah dengan kyai serta santri. 33Pilihan oposisi diambil NU sebab dipicu oleh serangkaian aksi pemerintah yang ditatap kerap merugikan kepentingan Islam pada biasanya serta NU pada spesialnya.

Tindakan pemerintah yang sering merugikan Islam dan NU di antaranya adalah penolakan pemerintah untuk mencantumkan kembali Piagam Jakarta, menolak memperluas kewenangan pengadilan agama, diskriminasi sistematis terhadap kaum santri di lingkungan militer dan pegawai negeri. Abdurrahman Wahid yang waktu itu menjadi Ketua Tanfidziah PBNU di rentang waktu 1984-1997. Abdurrahman Wahid dengan Soeharto dipicu sikap pemerintah yang sering bersikap semena-mena, otoriter dan anti-kritik. Perlakuan ini sangat berbeda manakala Soeharto menghadapi sesama organisasi kemasyarakatan lain seperti Muhammadiyah yang diperlakukan dengan baik.

Setiap ada orang yang ditindas KH.  Wahid  Hasyim dan NU selalu ada dan memberi perlawan meskikupun yang dihadapi adalah orang kuat atau penting waktu itu. Disini dapat disimpulkan bahwa rezim soeharto yang otoritatarian NU adalah elemen utama walaupun seba terbatas tapi dapat mengontrol penyalahgunan pemerintahaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun