Di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia, diberlakukan program implementasi jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Di dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa model pembayaran. Untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) menggunakan konsep pembayaran kapitasi dan non kapitasi. Sedangkan pada fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) menggunakan konsep INA-CBG (Case Based Groups) dan non INA-CBG. Dana kapitasi JKN dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada puskesmas sebagai penyelenggara kesehatan bagi peserta JKN. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014, dana kapitasi dimanfaatkan untuk pembayaran jasa pelayanan dan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.Â
Penerima dana kapitasi diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik daerah, dalam hal ini adalah Puskesmas. Dana kapitasi dapat dikatakan sebagai besaran pembayaran per bulan yang dibayarkan di muka kepada Puskesmas berdasarkan jumlah peserta JKN terdaftar, tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan ditetapkan sekurang-kurangnya 60% dari penerimaan dana kapitasi. Sisa alokasi dana kapitasi digunakan untuk dukungan biaya operasional sebesar 40%. Biaya operasional dapat dialokasikan dalam pembiayaan obat yang tidak disediakan APBD, alat kesehatan, maupun kegiatan operasional kesehatan lain seperti upaya kesehatan perorangan berupa promotif, preventif dan rehabilitasi lain, kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan, operasional puskesmas kelling, bahan cetak atau alat tulis kantor, sistem informasi dan administrasi keuangan.Â
Â
Menurut Permenkes RI no 59 tahun 2014, tarif kapitasi  adalah besaran  pembayaran per bulan yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Puskesmas layak dibayar dengan cara kapitasi disebabkan puskesmas melakukan administrasi berdas pelayanan; pelayanan promotif dan preventif; pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis; tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; pelayanan obat dan bahan medis pakai habis, termasuk pil dan kondom; dan pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium yang tingkat pertama. (Kemenkes, 2014). Alokasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan ditetapkan sekurang-kurangnya 60% dari penerimaan dana kapitasi. Sisa alokasi dana kapitasi digunakan untuk dukungan biaya operasional sebesar 40%.
Pada kenyataannya di Indonesia, dana kapitasi yang seharusnya diberikan sebesar 60% ini seringkali menjadi salah satu bentuk penyelewengan dana di puskesmas. Salah satu contoh di UPT Puskesmas xxxx memiliki rincian alokasi anggaran sebesar Rp 1,978.936.000,00 masuk pada belanja langsung penunjang operasional dan kinerja UPT layanan JKN kapitasi FKTP itu. Dari jumlah tersebut, untuk belanja pegawai sebesar Rp 1,525.605.200,00. Dalam hal ini terdapat dugaan pemangkasan dana yang telah dialokasikan oleh bendahara puskesmas. Kasus ini juga terjadi pada lain di pulau xxxx, penyidik satuan reserse kriminal kepolisian resor Kota tersebut telah melakukan penahanan terhadap kepala puskesmas sebab dugaan kasus korupsi dana kapitasi puskesmas A periode 2017-2019. Terbukti pada kasus ini menyebabkan hasil audit merugikan negara setidaknya Rp. 690 juta. Kasus penyelewengan atau korupsi dana ini dikenakan Pasal 2 dan atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP.
Penggunaan dana kapitasi yang seharusnya sebesar sekurang-kurangnya 60% untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan sebesar 40% untuk dukungan biaya operasional masih banyak ditemukan penggunaan yang tidak tepat. Penggunaan dana yang kurang tepat tersebut berupa ditemukannya sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa) pada dana kapitasi yang tidak terpakai oleh puskesmas oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Komisioner Dewan Jaminan Sosial Nasional: adanya silpa pada puskesmas menyebabkan dua masalah yaitu, pembiayaan yang salah dan pelayanan kesehatan terhadap peserta BPJS Kesehatan tidak optimal. Pembiayaan yang salah mengakibatkan BPJS Kesehatan harus membayarkan lebih mahal dari yang seharusnya, dengan membayarkan dana sesuai  jumlah peserta yang tertanggung namun penggunaan dana tersebut tidak terserap sepenuhnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang agar penggunaan dana kapitasi sesuai dengan yang diharapkan dan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang baik untuk semua orang.
Dana kapitasi JKN dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada puskesmas sebagai penyelenggara kesehatan bagi peserta JKN. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014, dana kapitasi dimanfaatkan untuk pembayaran jasa pelayanan dan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Penerima dana kapitasi diberikan kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama milik daerah, dalam hal ini adalah Puskesmas. Menurut Permenkes RI no 59 tahun 2014, tarif kapitasi adalah besaran pembayaran per bulan yang dibayar di muka oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sisa alokasi dana kapitasi digunakan untuk dukungan biaya operasional sebesar 40%. Pada kenyataannya di Indonesia, dana kapitasi yang seharusnya diberikan sebesar 60% ini seringkali menjadi salah satu bentuk penyelewengan dana di puskesmas. Penggunaan dana kapitasi yang seharusnya sebesar sekurang-kurangnya 60% untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dan sebesar 40% untuk dukungan biaya operasional masih banyak ditemukan penggunaan yang tidak tepat. Seharusnya, dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan dana kapitasi JKN di puskesmas, perlu adanya peningkatan kapasitas tenaga pengelola berupa pelatihan mengenai pengelolaan keuangan daerah atau sejenisnya untuk menghindari adanya penyelewengan dana.Â
Penulis :Â
Chabibah Ilmiyah
Desta Vanetta Sari
Idham Yusuf Baihaqi Mursyid
Sindi Fatmawati
Dian Mawarni
Ronal Surya AdityaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H