Namun disatu sisi, Penggunaan transaksi tunai di Indonesia memang belum bisa dihapuskan seluruhnya. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, penggunaan transaksi pembayaran berbasis elektronik di Indonesia relatif rendah. Berdasarkan data tahun 2014, jumlah transaksi di sektor ritel mencapai Rp 7.500 triliun. Dari jumlah itu, baru 31% pembayaran menggunakan transaksi non-tunai. Sementara di negara-negara tetangga, persentase penggunaan transaksi non-tunai sudah di atas 50% (Sumber). Jadi Semuanya memang butuh waktu. Apalagi sebagai Negara berkembang, Indonesia memang masih dominan menggunakan sistem transaksi tunai.
     Untuk meningkatkan penggunaan transaksi non tunai, maka Bank Indonesia perlu melakukan pembatasan transaksi tunai. Jika bukan berarti sistem tunai akan dihapuskan 100%, namun sistem transaksi tunai tersebut harus bisa dibatasi.
Memang sebagai Negara berkembang yang masih rawan korupsi, Pembatasan transaksi tunai pada dasarnya sangat perlu dan mendesak untuk dilakukan. Hal ini penting, mengingat sulitnya melacak para pelaku tindak kejahatan yang menggunakan transaksi tunai, serta sangat rentannya sistem transaksi tunai untuk dipergunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk melakukan tindak pidana kerah putih seperti praktik korupsi, penyuapan, maupun pencucian uang (money laundering).
Kita memang tak bisa menyangkal fakta tersebut. Di negeri ini jamak ditemukan para pelaku kejahatan kerah putih (white collar) apalagi mereka yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh aparat penegak hukum masih dominan menggunakan transaksi tunai. Ini menjadi bukti nyata bahwa budaya koruptif benar-benar sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa ini.
Bahkan Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh lembaga Transparency International (TI) pada 27 Januari 2016 lalu, layak menjadi tamparan keras bagi kita semua. Dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) hanya 36 dari skor maksimum 100, Indonesia menempati peringkat 88 sebagai negara terkorup dari 168 negara. Hasil tersebut jelas tidak menggembirakan jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura.
Apalagi jika harus membandingkan Indonesia dengan negara-negara makmur (welfare state) yang dipersepsikan bersih dari praktik korupsi, seperti: Swedia, Norwegia, Swiss, New Zealand, Denmark, dan Finlandia, ya posisi Indonesia jelas masih sangat jauh tertinggal baik dalam hal antikorupsi maupun penerapkan sistem non tunai.
Karena itu, Saya berharap, selain giat mensosialisasikan GNNT lewat beragam kegiatan termasuk melalui acara-acara Goes to Kampus, Bank Indonesia bersama Pemerintah juga hendaknya mampu mendorong penggunaan non tunai oleh seluruh aparatur pemerintahan. Dengan kata lain, jangan hanya rakyat biasa yang digenjot, tetapi juga para pengusaha, para birokrat, menteri-menteri, anggota legislatif, yudikatif, maupun eksekutif juga harus didorong lebih keras agar juga menjadi contoh dalam penggunaan sistem transaksi non tunai dalam kehidupannya sehari-hari. Ke depannya, peningkatan transaksi non tunai ini tentu akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus upaya preventif mencegah kejahatan korupsi, penyuapan dan pencucian uang (money laundering).
Akhir kata, marilah kita mulai menggunakan sistem transaksi non tunai dalam berbagai hal yang memungkinkan untuk menggunakan sistem non tunai. Pesan saya Jangan ragu atau takut untuk turut serta dan mengambil peran dalam mensukseskan Gerakan Nasional Non Tunai ini. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? #SuksesGNNT.