Mohon tunggu...
Nilam Sari
Nilam Sari Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

try to reverse enggineering what people think about me...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Nekrofilia dan Fedofilia

4 Maret 2016   00:01 Diperbarui: 4 Maret 2016   00:38 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika dulu LGBT adalah hal yang ditabukan, maka hari ini sudah tidak lagi. Itulah yang terjadi di negeri Paman Sam. Skandinavia, Belanda, Perancis, dan Kanada. Seiring dengan banyaknya desakan di masyarakat, maka Institusi resmi yang berfungsi untuk mengatur undang-undang di negara itu melegalkan pernikahan sesama jenis. 

Dalam sejarahnya Babur (pendiri kerajaan Mughal), Caligula (kaisar romawi yang dikenal doyan seks), Hadrian (yang membangun tembok Hadrian di Inggris), bahkan Aleksander Agung (kekasih Hephaestion) harus menyembunyikan sifat aslinya jika tidak ingin dijadikan bahan cibiran—atau bahkan lebih parah intimidasi dan kekerasan oleh masyarakat.

Namun sekarang di negara-negara tersebut persoalan homoseksual---spesifiknya hubungan seks “strict” non biner---sudah sama umumnya dengan topik-topik lain semacam aborsi, atau bayi tabung. Hal yang dulunya merupakan sarana pertentangan kaum rasionalis dan agamawan kini sudah dianggap sebagai bagian yang inheren ada pada manusia. Homoseksual bukan penyakit akan tetapi suatu gejala yang wajib kita maklumi jika tidak ingin dicap anti peradaban.

Hukum dibuat berdasarkan kesepakatan (mufakat). Jika tidak ada mufakat, maka apa yang dimaksud oleh orang barat sebagai demokrasi adalah mengambil keputusan mayoritas dalam suatu kuorum. Soal pantas tidak pantas tidak bisa dilihat dari sudut pandang orang per orang. Agama bisa kita kesampingkan karena agama bukan sains yang bisa diverifikasi berulang-ulang dan terbuka akan kritikan. Contoh kasus, dahulu apa yang saat ini disebut sebagai transfusi darah merupakan hal yang dilarang oleh agama. 

Demikian pula dengan bayi tabung. Namun sekarang, sistem dan corak pendidikan yang berubah makin rasional mengakibatkan manusia kemudian melegalkan hal-hal tersebut demi kemaslahatan. Beberapa orang yang menjadi perumus standar nilai budaya manusia modern (misalnya Montesquieu dan Lavoisier) justru adalah orang-orang yang suka mengkritik keras kemapanan agama.

Lantas di kemudian hari orang-orang—yang masih sempat merasakan keharuan akan manisnya agama---kemudian menanyakan apakah batasan yang bisa dipakai untuk menjaga manusia untuk tetap berada dalam spektrum manusiawi. Manusia dan hewan sama-sama disusun oleh DNA. Jika sapi punya otak, demikian pula ayam, kambing, dan kuda. Jika sapi doyang seks, maka manusia pun juga begitu. Kendatipun berbeda dengan hewan yang berhubungan seks dengan periode yang teratur, seks manusia bisa dilakukan kapan saja---konon hal ini dikarenakan tidak adanya baculum pada penis manusia: sebuah tulang yang dijumpai pada hampir semua mamalia lainnya kecuali manusia. 

Manusia punya kesadaran namun sapi---sejauh mata memandang---merupakan hewan yang ditakdirkan harus tunduk 100 persen pada kehendak manusia. Sapi bagian dari rantai makanan di mana manusia yang ada dipuncaknya. Di akhir cerita manusia mati dan dimakan oleh cacing, sementara cacing dimangsa oleh ayam dan ayam kemudian dimakan lagi oleh manusia (jika tidak tertelan oleh sapi). Orang-orang kemudian menanyakan apakah bisa kita suatu nanti makan sambil telanjang atau berak jika demokrasi menghendaki seperti itu?

Namun hidup tidak sesederhana itu. Kita tidak bisa sekonyong-konyong nya menyamakan keadaan benar atau salah dengan pilihan beragama atau tidak. Justru jika kita bisa menilai secara objektif, adalah sebuah keganjilan jika suatu nilai yang ditanamkan sebagai solusi permasalahan dalam suatu periode tertentu dalam sejarah kemudian dipakai selama-lamanya sebagai patokan dalam menghakimi permasalahan psikososial yang terjadi sepanjang sejarah manusia. 

Hukum Islam sendiri yang dulunya dianggap sebagai masterpiece (bahkan di Supreme Court Amerika Nabi Muhammad disejajarkan dengan Napoleon Bonaparte dan Charlemagne) ternyata harus mengalami amandemen (baca:reinterpretasi) habis-habisan oleh pakar fikih modern guna menyesuaikan kebutuhan zaman yang berpedoman pada azas manfaat. Para pakar fikih kemudian mencari relevansi pertanyaan-pertanyaan semisal, bagaimana tata cara sholat di ISS (international space station), bagaimana hukum trans-gender, bagaimana tata cara puasa di daerah lintang tinggi, atau soal perbankan yang harus halal, jual beli saham, kandungan bahan tertentu pada makanan dan masih banyak hal lain dengan melihat analogi di zaman Nabi Muhammad. 

Namun karena pada dasarnya agama memang adalah hal yang hanya bisa diimani tanpa bisa diverifikasi maka sudah selayaknya kita sebagai bagian dari entitas peradaban modern untuk lebih bijak dalam mengambil pedoman. Seperti kata jargon melayu: “yang lalu biarlah berlalu,” pada akhirnya kita disodori oleh fakta bahwa jumlah hadits yang dikumpulkan selama periode kenabian Nabi Muhammad tidak sebanding dengan kemampuan manusia untuk berinovasi untuk menghasilkan suatu hal-hal yang baru.

Lantas kemudian muncul pertanyaan, apa tujuan Tuhan menurunkan agama? Apakah itu ditujukan untuk mencegah manusia berbuat kerusakan (walaupun defenisi kerusakan ini masih belum jelas, karena di kemudian hari Tuhan mengadakan kerusakan total a.k.a kiamat) atau itu semua merupakan buah kreatifitas fikiran manusia zaman dahulu yang entah kenapa bisa diimani sebegitu fanatiknya hingga tak lekang oleh zaman---Jika dibandingkan dengan total tulisan yang dibuat oleh Vladimir Lenin sepanjang karirnya atau total tulisan yang dikarang oleh Buya Hamka maka gabungan Al-Quran dan Alhadits yang terbukukan itu belum bisa dikatakan hal yang luar biasa produktif. 

Keistimewaan Al-Quran lainnya semisalnya banyak penghafalnya mungkin bisa dikaji secara ilmiah misalnya dengan melihat fakta bahwa struktur bahasa Arab memang cenderung memudahkan kita untuk menghafal Al-Quran. Dalam sejarahnya masyarakat Arab memang dikenal sebagai bangsa penghafal. Jadi ini bukan sebuah kebetulan jika Al-Quran bisa dihafal oleh jutaan orang, karena Shahih Bukhari juga seperti itu. Perbedaannya adalah proses penghafalan Al-Quran yang dikampanyekan oleh organisasi Islam modern ternyata tidak diberlakukan pada Shahih Bukhari yang isinya masih debatable. Namun kurangnya jumlah hafidz Al-Quran di negara Iran sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan benar tidaknya kandungan Al-Quran yang bisa berasal dari Tuhan atau bukan. Ini semata soal metode pembiasaan. 

Saya dulu waktu SMA pernah diajari tata cara menghafal nama latin dari hewan atau tumbuhan dengan memecah suku-suku katanya kemudian menyabungkan masing-masing suku kata hingga membentuk nama buah-buahan yang dikenal. Ternyata metode ini mujarab.

Kita kemudian menjawab pertanyaan yang dimaksud pada judul tulisan di ini, yakni jika hari ini kita menghalalkan perkawinan sesama jenis maka apakah di kemudian hari kita akan memberlakukan hal yang sama dengan nekrofilia dan pedofilia dengan berpedoman pada hikmat demokrasi?

Hal yang pertama yang kita perlu pahami dalam kasus pedofilia adalah fenomena ini bisa saja diakibatkan oleh faktor genetik---walaupun belum ada penelitian yang kredibel yang mendukung ini. Namun karena ini genetik bukan jadi pembenaran bagi kita untuk melegalkan nya. Tidak semua hal yang inheren ada pada diri manusia teradopsi oleh hukum. 

Kasus pedofilia ini mungkin masih bisa disamakan penyakit psikologi lainnya pada manusia misalnya kecenderungan membunuh dengan tanpa rasa bersalah (psikopat) atau Kleptomania (keinginan mencuri yang sulit dibendung). Hal ini tidak semata soal “nurture” tapi soal “nature”. Seorang kriminolog asal Italia Cesare Lombroso pernah menulis sebuah buku yang menggagaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berbuat tindakan kriminal bukanlah akibat free-will semata.

 Akan tetapi Ini merupakan hal yang sepaket dengan anatomi tubuh lainnya semisal bentuk telinga, tulang, bentuk dan ukuran mata, yakni suatu hal yang bisa ditransmisikan dengan hereditas. Seorang menjadi jahat bukan karena dia terlahir dari lingkungan yang keras hingga kemudian terpengaruh, namun itu sudah ditakdirkan. Kita kemudian bisa mengidentifikasi penjahat sejak saat dia masih seumur jabang bayi. Dengan demikian berbeda dengan nasib homoseksual yang kemudian dilegalkan, pedofilia sudah jelas-jelas melanggar hukum kekinian walaupun itu bisa saja itu didorong oleh faktor genetika seseorang. 

Di Indonesia terdapat undang-undang khusus tentang perlindungan anak di mana pelakunya bisa mendapatkan hukuman yang berat. Kita tidak bisa memprediksi jalan evolusi, yang jelas selama ini kasus pedofilia masih bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja di suatu waktu di masa depan jumlah gen-gen pedofilia ini makin terakumulasi sehingga jumlah populasi pengidap pedofilia dalam penduduk makin bertambah dan mencukupi kuorum hingga kebiasaan ini jadi dilegalkan oleh undang-undang, siapa yang tahu?

Lain pefofilia, lain pula Nekrofilia. Hak-hak hidup seseorang dijamin oleh undang-undang. Namun bagaimana halnya dengan kasus orang yang sudah mati. Iya, Islam sudah mengatur bahwa jika seorang wafat, maka ada dua hukum yang masih berkaitan dengan dirinya, pertama adalah hukum waris serta wasiat, kedua hukum memperlakukan jenazah: dikuburkan, dimandikan, diperlakukan secara layak. Namun zaman berkembang hingga sekali lagi agama harus dihadang oleh rasionalitas. 

Bagaimana jika kita ingin menyelidiki kematian jenazah hingga pada kasus harus membedah mayat tersebut (misalnya dalam kasus Wayan Mirna Salihin) atau bagaimana jika orang tersebut semasa hidupnya mewasiatkan perlakukan tertentu yang di luar kebiasaan terhadap mayatnya. Soal otopsi sebagian besar mazhab Islam memfatwakan keharaman nya, karena sudah jelas-jelas bertentangan dengan hadits shahih yang menjamin kehormatan mayat. Namun ini diperlukan demi kebutuhan penegakan hukum. 

Sementara wasiat sang mayat semasa hidupnya di banyak negara merupakan hal yang wajib dilaksanakan termasuk jika si mayat tersebut menginginkan agar organ tubuhnya diberikan perlakuan khusus, misalnya dengan dikremasi ketimbang dikuburkan. Atau pada kasus Albert Einstein yang mendonasikan kedua bola mata nya untuk penelitian. Lantas bagaimana jika si mayat tersebut semasa hidupnya melakukan wasiat untuk mendonasikan tubuhnya agar disetubuhi oleh orang lain (misalnya suaminya), siapa yang tahu? Secara logika harusnya bisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun