Mohon tunggu...
Nilam Sari
Nilam Sari Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

try to reverse enggineering what people think about me...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perihal Nekrofilia dan Fedofilia

4 Maret 2016   00:01 Diperbarui: 4 Maret 2016   00:38 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Keistimewaan Al-Quran lainnya semisalnya banyak penghafalnya mungkin bisa dikaji secara ilmiah misalnya dengan melihat fakta bahwa struktur bahasa Arab memang cenderung memudahkan kita untuk menghafal Al-Quran. Dalam sejarahnya masyarakat Arab memang dikenal sebagai bangsa penghafal. Jadi ini bukan sebuah kebetulan jika Al-Quran bisa dihafal oleh jutaan orang, karena Shahih Bukhari juga seperti itu. Perbedaannya adalah proses penghafalan Al-Quran yang dikampanyekan oleh organisasi Islam modern ternyata tidak diberlakukan pada Shahih Bukhari yang isinya masih debatable. Namun kurangnya jumlah hafidz Al-Quran di negara Iran sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan benar tidaknya kandungan Al-Quran yang bisa berasal dari Tuhan atau bukan. Ini semata soal metode pembiasaan. 

Saya dulu waktu SMA pernah diajari tata cara menghafal nama latin dari hewan atau tumbuhan dengan memecah suku-suku katanya kemudian menyabungkan masing-masing suku kata hingga membentuk nama buah-buahan yang dikenal. Ternyata metode ini mujarab.

Kita kemudian menjawab pertanyaan yang dimaksud pada judul tulisan di ini, yakni jika hari ini kita menghalalkan perkawinan sesama jenis maka apakah di kemudian hari kita akan memberlakukan hal yang sama dengan nekrofilia dan pedofilia dengan berpedoman pada hikmat demokrasi?

Hal yang pertama yang kita perlu pahami dalam kasus pedofilia adalah fenomena ini bisa saja diakibatkan oleh faktor genetik---walaupun belum ada penelitian yang kredibel yang mendukung ini. Namun karena ini genetik bukan jadi pembenaran bagi kita untuk melegalkan nya. Tidak semua hal yang inheren ada pada diri manusia teradopsi oleh hukum. 

Kasus pedofilia ini mungkin masih bisa disamakan penyakit psikologi lainnya pada manusia misalnya kecenderungan membunuh dengan tanpa rasa bersalah (psikopat) atau Kleptomania (keinginan mencuri yang sulit dibendung). Hal ini tidak semata soal “nurture” tapi soal “nature”. Seorang kriminolog asal Italia Cesare Lombroso pernah menulis sebuah buku yang menggagaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berbuat tindakan kriminal bukanlah akibat free-will semata.

 Akan tetapi Ini merupakan hal yang sepaket dengan anatomi tubuh lainnya semisal bentuk telinga, tulang, bentuk dan ukuran mata, yakni suatu hal yang bisa ditransmisikan dengan hereditas. Seorang menjadi jahat bukan karena dia terlahir dari lingkungan yang keras hingga kemudian terpengaruh, namun itu sudah ditakdirkan. Kita kemudian bisa mengidentifikasi penjahat sejak saat dia masih seumur jabang bayi. Dengan demikian berbeda dengan nasib homoseksual yang kemudian dilegalkan, pedofilia sudah jelas-jelas melanggar hukum kekinian walaupun itu bisa saja itu didorong oleh faktor genetika seseorang. 

Di Indonesia terdapat undang-undang khusus tentang perlindungan anak di mana pelakunya bisa mendapatkan hukuman yang berat. Kita tidak bisa memprediksi jalan evolusi, yang jelas selama ini kasus pedofilia masih bisa dihitung dengan jari. Mungkin saja di suatu waktu di masa depan jumlah gen-gen pedofilia ini makin terakumulasi sehingga jumlah populasi pengidap pedofilia dalam penduduk makin bertambah dan mencukupi kuorum hingga kebiasaan ini jadi dilegalkan oleh undang-undang, siapa yang tahu?

Lain pefofilia, lain pula Nekrofilia. Hak-hak hidup seseorang dijamin oleh undang-undang. Namun bagaimana halnya dengan kasus orang yang sudah mati. Iya, Islam sudah mengatur bahwa jika seorang wafat, maka ada dua hukum yang masih berkaitan dengan dirinya, pertama adalah hukum waris serta wasiat, kedua hukum memperlakukan jenazah: dikuburkan, dimandikan, diperlakukan secara layak. Namun zaman berkembang hingga sekali lagi agama harus dihadang oleh rasionalitas. 

Bagaimana jika kita ingin menyelidiki kematian jenazah hingga pada kasus harus membedah mayat tersebut (misalnya dalam kasus Wayan Mirna Salihin) atau bagaimana jika orang tersebut semasa hidupnya mewasiatkan perlakukan tertentu yang di luar kebiasaan terhadap mayatnya. Soal otopsi sebagian besar mazhab Islam memfatwakan keharaman nya, karena sudah jelas-jelas bertentangan dengan hadits shahih yang menjamin kehormatan mayat. Namun ini diperlukan demi kebutuhan penegakan hukum. 

Sementara wasiat sang mayat semasa hidupnya di banyak negara merupakan hal yang wajib dilaksanakan termasuk jika si mayat tersebut menginginkan agar organ tubuhnya diberikan perlakuan khusus, misalnya dengan dikremasi ketimbang dikuburkan. Atau pada kasus Albert Einstein yang mendonasikan kedua bola mata nya untuk penelitian. Lantas bagaimana jika si mayat tersebut semasa hidupnya melakukan wasiat untuk mendonasikan tubuhnya agar disetubuhi oleh orang lain (misalnya suaminya), siapa yang tahu? Secara logika harusnya bisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun