Ada sebuah pepatah jaman kolonial yg yang sampe saat ini masih berlaku dan ternyata salah, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Benar, tanpa pendidikan kita akan dengan mudah dibodohi. Kita akan sulit mengenali hal-hal abstrak yang berkaitan dengan konsep benar-salah. Kita bagaikan katak dalam tempurung yang pikirannya hanya seputar persoalan “basic instinc.” Tapi yang terjadi sebenarnya adalah pendidikan diadakan oleh “penguasa” (meminjam kata “pemindahan kekuasaan” dalam isi teks proklamasi, bukan “pemindahan kepemimpinan” atau “pergantian pemerintahan”) ditujukan untuk mensuplai tenaga-tenaga terampil yang banyak dibutuhkan di lapangan-lapangan pekerjaan.
Anehnya, akhir-akhir ini entah kenapa penguasa yang dimaksud pada teks proklamasi itu telah begitu ketagihannya memperbanyak bangku-bangku “pendidikan” (baca: bangku sekolah, ingat pendidikan wajib itu hanya 9 tahun) tanpa memikirkan apa nanti yang terjadi ketika manusia-manusia yang disekolahkan itu pasca selesai dari persekolahannya. Terlalu banyak sekolah dan terlalu sedikit lapangan pekerjaan. Orang-orang masuk sekolah dengan tujuan setelah selesai dari sekolahnya mereka akan menjadi orang kantoran. Mereka meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan: bertani, bercocok tanam, mengukir, menyulam, memukat, memancing ikan, dan hal hal lainnya yang menjadi penyumbang pendapatan negara di luar sektor migas, lantaran pemerintah secara tidak sadar merusak mindset mereka dengan doktrin tidak langsung bahwa dengan sekolah manusia bisa cerdas. Karena sudah cerdas maka mereka sudah tidak pantas lagi mengerjakan pekerjaan orang-orang rendahan. Seperti kata seorang mantan presiden kita, B. J. Habibie yang katanya ingin menkonversi NKRI yang berbasis agraris ini menjadi negara industri. Saya mulai paham kenapa beliau berkata seperti itu. Orang-orang yang berlatar belakang fisika cenderung menilai segala sesuatunya berdasarkan konsep fisika. Orang-orang yang berlatar belakang insinyur ingin semua kurikulum diganti dengan hal-hal yang menunjang profesi keinsinyuran (agama dihapus, pendidikan Pancasila dihapus, dll dan hanya ada tutorial autoCAD). Orang-orang yang tadinya jualan meubel, ingin semua penduduk jadi pengrajin meubel, dan untuk itu harus dibuat subsidi bagi pengrajin meubel, padahal dia lupa dalam teori ekonomi, tingginya penawaran akan mengakibatkan harga barang menurun. Banyaknya handphone di pasaran, mengakibatkan harga handphone lebih rendah dari harga celana dalam, begitu juga dengan meubel tadi. Jadi perkataan pak Habibie itu tentu saja bisa kita sanggah. Sudah ada RRC yang jadi negara industrialis, sudah ada amerika yang jualan senjata. Kalo semua ikut-ikutan jualan senjata, maka yang beli senjata siapa. Singapura itu bisa kaya lantaran ada Indonesia yang jadi daerah pemasaran terdekatnya, di samping ukuran negara nya juga tidak begitu luas. Semua orang-orang ingin jadi pengusaha lantaran terobsesi dengan biografi para pengusaha yang sukses, padahal nyatanya dalam piramida ekonomi, pengusaha itu berada pada puncak piramida. Mereka bisa punya banyak uang, tapi tidak boleh terlalu banyak orang-orang yang sejenis dengan mereka. Kalo Anda ingin jadi seorang pemilik bank swasta, maka Anda harus membuka jaringan bank di berbagai daerah. Nasabahnya tentu saja adalah para pengusaha yang lain. Mungkin penjual kain, penjual beras, penjual emas, atau penjual-penjual lainnya, tapi gak mungkin nasabahnya pemilik bank swasta juga. Penjual kain juga demikian. Walaupun Jusuf Kalla bisa kaya lantaran merintis karirnya dari berjualan kain, tidak lantas kita semua harus berjualan kain. Karena tidak mungkin kita berjualan kain pada penjual kain juga. Harus ada yang bertani, harus ada yang jadi nelayan. Dan nyatanya 80 persen penduduk Indonesia adalah petani dan nelayan. Indonesia bisa colaps kalo semua orang ingin membuka bank swasta. Saya ketika membaca biografi orang-orang seperti itu, pelajaran yang saya dapatkan adalah bukan lantaran bagaimana bisa kaya dengan berjualan kain atau membuka bank swasta, tetapi bahwa dalam hidup ini, agar bisa tetap hidup, kita harus bekerja, mencari uang, apapun pekerjaan kita. Kembali ke persoalan sekolah tadi. Saya tidak sepakat bahwa pendidikan sampe perguruan tinggi adalah hak semua anak bangsa. Alasannya adalah pendidikan sampe perguruan tinggi itu sudah cukup elit di samping cukup mahal. Mahal dari segi biaya dan juga waktu. Bayangkan, kita kuliah sampe 5 tahun. Andaikan waktu 5 tahun kita gunakan untuk menjadi pengusaha dengan giat, sudah berapa keuntungan yang kita peroleh. Atau kalo kita jadi petani tentu sudah sangat banyak pohon-pohon berbuah yang kita tanam. Jika pemerintah berdalil bahwa semua orang berhak untuk jadi cerdas, lantas pertanyaan saya yang harus dijawab pemerintah adalah, kenapa tidak ada S3 akuntansi, kenapa tidak ada S3 kebidanan, kenapa tidak ada S3 penerbangan, kenapa tidak ada S3 pelayaran, dll bidang yang sama sekali tidak ada S3 nya. Ya, tanpa menunggu pemerintah menjawab, kita tentu sudah tahu jawabannya. Ngapain ngeluarin bayi lewat vagina mesti di S3-kan, ngapain nerbangin pesawat pake di S3-kan, ngapain ngitung debit-kredit mesti di S3-kan. Jadi pendidikan-pendidikan tinggi itu sama sekali tidak kita butuhkan. Untuk bisa cerdas, dan mengenal konsep benar salah, pendidikan SMA saya kira sudah cukup. Kita tidak perlu meniru Singapura yang memberi syarat semua warga negara adalah S1. Karena di Singapura semua lapangan pekerjaan memang mensyaratkan keterampilan S1, beda dengan Indonesia. Jadi ini sama sekali bukan mengenai persoalan siapa menaruh standar pendidikan paling tinggi, tetapi soal kebutuhan ekonomi. Kalo Anda ingin tahu seberapa kuat motif ekonomi dalam sejarah NKRI ini, saya sodorkan sebuah fakta sejarah. Anda tahu kenapa Amerika membisiki Soekarno agar menolak konsep R.I.S yang dicanangkan Belanda, itu lantaran dalam pembagian wilayah dalam konsep R.I.S itu, semua blok-blok minyak di Sumatra dikuasai oleh Belanda. Belanda udah tahu bagaimana mengolah minyak. Indonesia belum tahu. Jadi Amerika menyingkirkan Belanda dalam pengolahan minyak di Indonesia. Bahasa keren nya, Indonesia beralih dari penjajahan kasar (Hard Imperialism) menjadi penjajahan secara halus (Soft Imperialism). Kalo dulu zaman kolonial, VOC melakukan tebang paksa ribuah pohon cengkeh di pulau Maluku, lantaran banyaknya stok cengkeh mengakibatkan harga cengkeh di pasaran dunia menurun yang mana merugikan, lantaran ongkos pengiriman cengkeh per-kilo melaui kapal-kapal tidak bisa tertutupi dengan harga penjualan. Bisakah penguasa saat ini menutup paksa sekolah-sekolah (baca: universitas) yang sama sekali tidak dibutuhkan tersebut. Mengingat banyaknya sekolah, mengakibatkan harga jual alumni sekolah menjadi turun. Dan terjadi inefisiensi yang mengakibatkan kerugian, lantaran “biaya produksi 1 alumni” itu sangat besar dan tidak bisa ditutupi oleh resultan gaji yang mereka dapatkan setelah menempuh dunia pekerjaan. Pemerintah bisa menempuh cara lain, yakni dengan membatasi jumlah tampungan per tahun dari sekolah-sekolah tersebut, seperti yang sudah dilakukan selama ini. Mirip lah dengan formasi PNS yang hanya menyediakan sekian orang dalam formasinya. Apa salahnya pemerintah melakukan hal yang sama pada ranah pendidikan (sesuatu yang urgensinya lebih rendah ketimbang memperoleh pekerjaan). Tapi sudah terlalu banyak sekolah dan implementasi di lapangan bisa ribet (walaupun bisa kalo dipikirkan secara serius). Atau bisa juga pemerintah melakukan second fundamental doctrine (setelah Pancasila) yakni dengan memberi penekanan kewirausahaan pada peserta persekolahan. Bahwa kita sekolah bukan semata untuk mencari pekerjaan. Kita sekolah untuk menjadi pintar. Agar maju dalam IPTEK, agar bisa merubah tanah menjadi emas, gurun menjadi perkebunan (seperti di Israel), dll idealisasi. Walaupun kenyataannya ini sama sekali sulit dimengerti oleh orang-orang Indonesia (seperti hal nya tidak semua orang bisa memahami hakikat Pancasila). Orang-orang Indonesia (pada umumnya) sepertinya sudah termakan doktrin primordial bahwa kita disekolahkan agar menjadi orang kantoran, “terangkat”, menjadi orang besar, dll. Jadi satu-satunya cara yang paling realistis yang bisa ditempuh oleh pemerintah/penguasa adalah menutup sekolah-sekolah yang tidak dibutuhkan tersebut. Bukankah sekolah pilot saja sudah dibatas-batasi oleh pemerintah. Apa salahnya sekolah-sekolah lainnya juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H