Saya masih ingat sekali. Pertama kali saya mendapat pelajaran bahasa Indonesia sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Dasar.
Walau sehari-harinya di rumah kami selalu menggunakan bahasa Indonesia, tapi tetap saja pelajaran bahasa Indonesia di Sekolah termasuk pelajaran yang sulit buat saya, pertama karena susahnya menggunakan bahasa yang formal dan terus terang pelajaran bahasa Indonesia termasuk pelajaran yang membosankan untuk saya. Dan nilai pelajaran Bahasa Indonesia saya di rapor tidak pernah lebih dari angka delapan.
Kenapa ?
Karena di rumah dan lingkungan saya menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari untuk berkomunikasi dengan orang tua dan teman bermain.
Sedangkan di sekolah saya diajarkan bahasa Indonesia yang formal dan menurut Ejaan Yang Disempurnakan (atau disingkat EYD). Belum lagi sastranya, dimana kita harus menghafal jenis-jenis pantun, puisi dan buku-buku sastrawan jaman dulu.
Saya masih ingat, ketika SMA mendapat tugas dari sekolah.Kami dibagi menjadi beberapa grup. Lalu tiap grup diberikan beberapa judul buku karya Pujangga lama dan Pujangga baru. Kami harus membuat ringkasan dalam bahasa Indonesia modern dari buku yang kami baca itu. Problem pertama waktu itu bukan mengerti bahasa Indonesia lama, tapi mencari buku lama waktu itu sulit sekali. Saya dan teman-teman harus pergi ke tukang loak dan toko buku bekas untuk mencari sebuah eksemplar buku Siti Nurbaya.
Saya bangga karena Indonesia memiliki bahasa Negara, yaitu bahasa Indonesia.
Karena suatu bahasa, ada ciri khas dari suatu Negara.
Rasanya masih kurang bila suatu Negara, tidak memiliki bahasa sendiri.
Walau ada Negara tetangga yang memiliki bahasa yang mirip, tapi tetap saja tidak sama dengan bahasa Indonesia.
Dulu sewaktu saya masih kuliah di jerman, setiap kali pulang berlibur ke Indonesia, enak sekali rasanya bisa mendengar dan berbicara dalam bahasa Indonesia lagi.
Satu hari di tempat kerja saya, saya bertemu dengan seorang pria, wajahnya Indonesia, paspornya pun Indonesia. Tapi setiap kali saya ajak bicara dengan bahasa Indonesia, dia selalu menjawab dalam bahasa Inggris. Lalu saya lihat, lahirnya di Bandung – Indonesia.
Karena penasaran akhirnya saya bertanya, kenapa dia selalu menjawab dalam bahasa Inggris, padahal dia seharusnya orang Indonesia.
Jawabannya benar-benar membuat saya terkejut.
Dia bilang, dia 10 tahun tinggal di Amerika, sehingga dia tidak terbiasa lagi berbicara dalam bahasa Indonesia.
Saat itu saya hanya bisa menarik nafas dan tidak berkomentar apa-apalagi. Mohon maaf tapi yang terlintas di otak saya adalah kata “SOMBONG”, "SOK” dan “PAMER”.
Saya tidak tahu kapan mulainya bermunculan sekolah-sekolah bertaraf internasional yang menggunakan bahasa pengantar di sekolahnya adalah bahasa Inggris.
Awal-awalnya saya tidak menyadari efeknya terhadap anak2 (dan orang tuanya)
Tapi kaget sekali saya, suatu kali di sebuah outlet di Bogor, seorang ibu berbicara dengan anaknya dalam bahasa Inggris.
Ketika saya perhatikan mereka, saya sangat yakin mereka berkewarganegaraan Indonesia dan si ibu pasti ber KTP Indonesia.
Saya tiba-tiba menjadi sedih, bagaimana nasib bahasa Indonesia 20 tahun lagi ?
Apakah lama kelamaan posisi bahasa Indonesia akan tergeser oleh bahasa asing ?
Padahal bangsa Indonesia yang beraneka ragam suku bangsa dan bahasa, dipersatukan oleh satu bahasa kesatuan yaitu bahasa Indonesia.
Saya tidak anti dengan bahasa asing, bahkan saya setuju sekali kalau kita bisa beberapa bahasa asing. Karena dengan persaingan global sekarang ini, kemampuan berbahasa asing menjadi nilai tambah untuk generasi-generasi yang akan datang.
Tapi saya sangat tidak setuju, kalau anak-anak diajarkan untuk lebih bangga menggunakan bahasa asing dan malu bila berbicara dalam bahasa Indonesia. Sehingga menjadikan bahasa asing adalah bahasa utama, dan bahasa Indonesia adalah bahasa tambahan atau bahasa kedua.
Bila anak-anak sudah mendapatkan pelajaran bahasa asing di sekolah, tidak ada salahnya jika mereka dibiasakan tetap berbahasa Indonesia di rumah dan lingkungan.
Seorang anak tidak akan mengalami kesulitan dalam mempelajari beberapa bahasa sekaligus.
Apakah anak dipaksa berbahasa Inggris terus karena ego sang orang tua ingin membanggakan anaknya yang berbicara dalam bahasa asing ?
Apakah mereka akan melupakan bahasa Indonesia dan mengganti semua menjadi bahasa asing ?
Apakah mereka lebih bangga menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H