Mohon tunggu...
Panca
Panca Mohon Tunggu... Lainnya - Selenophile

Hello

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

SKB Tiga Menteri: Bagaimana jika Tidak Dibatalkan?

28 Mei 2021   23:20 Diperbarui: 28 Mei 2021   23:49 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengulas sedikit tentang apa yang menjadi issue hampir empat bulan yang lalu, toleransi, tepatnya pada 3 February 2021 pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama yang melibatkan tiga menteri diantaranya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan tenaga Kependidikan di sector pendidikan mulai dari Pendidikan Dasar hingga tingkat Sekolah Menengah diatur melalui surat ini. 

Meskipun Mendikbud, Nadiem Anwar Makarim dalam peluncurannya dikutip dari, (Kemendikbud.go.id), beliau menjelaskan terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan atas dikeluarkannya SKB ini, kita tidak dapat menutup kemungkinan atas kejadian yang melatarbelakanginya, seperti yang terjadi di salah satu SMK Negeri di Sumatra Barat tentang kewajiban  memakai jilbab pada siswi nonis yang bahkan sempat viral. 

Melalui keputusan ini, niatan Pemerintah untuk mengakhiri polemic yang menjadi perbincangan hangat kala itu. Namun, sayangnya mungkin niat baik pemerintah ini justru terjadi buntut panjang dengan banyaknya suara baik dari daerah maupun individu akan pro dan kontra mengenai SKB tiga menteri tersebut.

Seperti misal yang disuarakan oleh Walikota Pariaman, Genius Umar yang menolak Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri terkait seragam dan atribut sekolah, seperti pada wawancaranya dengan pihak CNN Indonesia (17/2). 

Dengan alasan kearifan local dan kondisi masyarakatnya yang bersifat homogen, yang hampir 99,6% nya beragama Islam, hal-hal itu menjadi latarbelakang penolakannya terhadap SKB tersebut. 

Pun dengan pernyataan Buya Anwar Abbas pada diskusi Narasi (4/2), yang menyatakan tentang bagaimana agama menjadi salah satu aspek yang harus ada di setiap kehidupan dan melalui pepatah tentang membiasakan berpakaian sedari kecil, termasuk pada Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian mengkaitkannya dengan pasal 29 ayat 1. 

Kemudian, masih pada diskusi Narasi (4/2) melalui pernyataan Alissa Wahid yang setuju dengan moderasi beragama dan juga mengingatkan tentang pemberian ruang untuk praktik keberagamaan melalui bidang pendidikan.

Menurut saya, sejalan dengan pendapat-pendapat di atas, memang ada benarnya jika dilihat dari bagaimana seharusnya membiasakan siswa untuk berpakaian sesuai dengan keyakinannya sedari kecil dan agama tidak bisa lepas dari semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagaimana agama maupun keyakinan, itu bukanlah hal yang dapat di tawar. 

Tetapi, sebenarnya sangat disayangkan mengingat Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri ini telah resmi dibatalkan oleh Mahkamah Agung dikutip dari Cnnindonesia.com (7/5). 

Sebab dalam usahanya para menteri ini berniat untuk menjaga eksistensi ideology Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, mengingat dalam suatu keasatuan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah pastilah terdiri tidak hanya satu agama, maka dari itu SKB dengan menekankan tidak mewajibkan dan tidak melarang mengenakan seragam atribut agama ini merupakan hal yang dapat mendukung banyaknya praktik di lapangan yang dengan ketat mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam atau atribut agama tertentu. 

Dan dengan SKB ini jika tidak terjadi pembatalan, keputusan ini mungkin benar-benar akan memperkuat nilai toleransi dan meminimalisir adanya intoleran dalam lingkungan sekolah. 

Mengenai cara berseragam dan beratribut di lingkungan sekolah sudah seharusnya menjadi kesadaran dirinya sendiri, dan sekolah menjadi wadah untuk membangun kesadaran tersebut, seperti yang kita tahu keputusan yang tertulis melalui SKB itu mengembalikan hal-hal tersebut kepada masing-masing individu tanpa adanya pemaksaan. 

Namun, meskipun begitu dengan adanya permohonan yang diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat, kita juga tidak dapat menutup mata tentang permohonannya dan bagaimana adat istiadat masyarakat di sana yang dijunjung tinggi. Jika ada hal lain yang dapat menjadi solusi seperti halnya wilayah Aceh misalnya, mengapa pemerintah tidak menyamakan kekhususannya dan daripada itu dalam kondisi yang masih dijajah pandemic seperti ini mengapa tidak hendaknya batas maksimal pemberian sanksi sedikit lebih di perlama dari jangka waktu 30 hari yang telah tertera dalam SKB. Mungkin apabila kedua hal itu menjadi pertimbangan sejak di awal pembuatan keputusan ini, SKB mungkin akan tetap berjalan dan diperkuat dengan alasan pertimbangannya.

Kemudian dengan kata lain, meskipun memungkinkan untuk menekan issue intoleran di kalangan siswa dan siswi. Surat Keputusan Bersama Mendikbud, Mendagri, dan Menag mengenai Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan tenaga Kependidikan di dunia pendidikan nyatanya hanya pernah menjadi buah bibir dan issue hangat kala itu, sebab nyatanya SKB telah dengan nyata dibatalkan melalui persetujuan MA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun