Berawal dari sebuah kegemaran bercocok tanam serta merawat berbagai jenis hewan ternak. Ternyata mampu mengantarkan seorang petani yang berasal dari sebuah desa kecil di Kabupaten Bogor ini keberbagai negara. Beliau adalah Bapak Madrohim yang tak lain hanya seorang petani biasa yang memiliki ketekunan dan semangat untuk terus belajar hal-hal baru dalam dunia pertanian. Bahkan beliau juga tidak memiliki keilmuan secara khusus. Namun, beliau tidak pernah malu untuk ikut bergabung dengan kegiatan-kegiatan pelatihan baik itu yang diselnggarakan oleh pemerintah daerah serta berbagai kampus seperti IPB contohnya.
Berdasarkan tujuan pertanian di negara kita ini terbagi atas tiga bagian diantaranya: pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, meningkatkan kesejahteraan petani, dan meningkatkan ekspor. Namun, karena minimnya ilmu yang dimiliki para petani kerap kali membuat mereka merugi serta tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut lantas Bapak Madrohim memutar otak. Bagaimana caranya membantu para petani agar mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mendukung serta menekan biaya selama tanam sampai panen. Yaitu dengan membuat pupuk-pupuk yang alami. Keuletan beliau menarik perhatian mata pihak dinas pertanian sehingga sering di undang dalam kegiatan penyuluhan sampai yang tidak terduga yaitu beliau di kirim ke Thailand untuk mengikuti pelatihan pembuatan pupuk kompos super.
Hal tersebut membuat orang-orang di sekitar bertanya-tanya. "Belajar membuat kompos mengapa harus jauh-jauh keluar negeri?". Pertanyaan tersebut menghadirkan sebuah refleksi yaitu di negara kita sebagian besar petani lebih memilih cara instan dalam penggunaan pupuk serta tidak perduli akan dampaknya terhadap lingkungan. Di negara Gajah Putih ini beliau belajar bagaimana caranya membuat Bokashi.
Bokashi sendiri banyak jenis nya diantaranya : Bokashi Jerami Padi, Bokashi Pupuk, Kompos dari Pupuk yang diragikan, Kompos tanah, Kompos 24 Jam dan Manual Kompos. Awalnya semua diawali dengan pengembangan mikroorganismenya terlebih dahulu.
Perjalanan beliau tidak berhenti disana. Beliau Kembali mendapatkan kesempatan untuk belajar di negeri Sakura. Di Jepang beliau belajar bagaimana berternak sapi yang baik dan benar. Perjalanan yang luar biasa bukan? Jadi bagaimana generasi Z apakah masih beranggapan bahwa petani itu tidak bisa menjadi keren?. Dari perjalanan beliau ini dapat mengajak para pemuda untuk bangkit tidak ada sebuah cita-cita yang sederhana. Seorang petani bukan berarti hanya akan bergelut dengan teriknya sinar matahari dan kotornya tanah serta lumpur, akan tetapi dengan ilmu dan keingin yang keras kita bisa menyentuh langit dengan ujung cangkul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H