Mohon tunggu...
Erli Siregar
Erli Siregar Mohon Tunggu... -

petualang waktu

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Perolehan Suara dan Memori Peristiwa Kerusuhan Mei 98 (Studi Kasus pada PArtai Gerindra di Pemilu 9 April 2009)

29 September 2010   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:53 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hasil perolehan suara pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009 telahdimenangkan oleh Partai Demokrat dengan dukungan suara sebanyak 2.988.743 atau sekitar 20,64%.[1] Banyak pihak yang memprediksi jika partai yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini akan memenangkan pertarungan. Namun, tak sedikit juga yang memprediksi jika Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) yang akan keluar sebagai pemenang. Hal tersebut disebabkan oleh gencarnya iklan partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto ini di media massa baik cetak maupun elektronik. Seperti contoh, iklan partai tersebut di televisi. Setiap kali kita menonton satu program acara di suatu stasiun televisi maka di saat itulah iklan tersebut muncul secara berulang-ulang dengan durasi sekitar 30 detik. Dan ketika mengganti saluran, maka iklan itu sudah pasti akan kita temukan lagi.

Masifnya iklan kampanye partai tersebut tak terlepas dari besarnya dana yang dikeluarkan.Sebagai ilustrasi saja, untuk membayar iklan di satu stasiun televisi dengan durasi hanya sekitar 30 detik saja maka setiap parpol harus rela mengeluarkan kocek sebesar Rp. 7 juta hingga Rp. 20 juta untuk setiap kali tayang. Berdasarkan data yang dimiliki AC Nielsen, diperoleh fakta yang mengagetkan bahwa terhitung sejak periode 1 Oktober 2008 hingga 2 Februari 2009 total biaya kampanye partai itu telah mencapai jumlah yang sangat fantastis, yaitu Rp 46,7 milyar. Sementara itu, pada kuartal pertama 2009 partai tersebut telah menghabiskan dana sebanyak Rp 66,7 miliar.[2] Konon, pengeluaran ini merupakan dana kampanye tertinggi.

Namun sayangnya, realitas yang terjadi adalah partai ini hanya memperoleh suara sebanyak 623.348 atau sekitar 4,3%. Itu berarti partai tersebut harus puas menduduki peringkat kedelapan dari 44 partai politik (parpol) peserta pemilu.[3]

Lalu timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya proses encoding dan decoding iklan ini di televisi? Dan apakah ini ada kaitannya dengan memori sosial masyarakat terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998?. Meskipun sampai saat ini belum ada keputusan pengadilan mengenai siapa dalang yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa yang banyak memakan korban itu, namun isu yang berkembang dan diyakini masyarakat selama ini bahwa Prabowolah otak di balik peristiwa ini.

Encoding dan Decoding Iklan Partai Gerindra

Televisi merupakan salah satu media elektronik yang paling banyak massanya. Hampir setiap orang memiliki barang ini. Dan menonton televisi merupakan aktivitas waktu luang paling popular di dunia sehingga tak heran apabila banyak orang menghabiskan banyak waktu hanya untuk duduk di depan televisi. Penduduk Inggris, misalnya, menghabiskan rata-rata lebih dari sepertiga jam terjaganya untuk menonton televisi. Sementara di Amerika, rata-rata jam yang dihabiskan untuk menonton televisi sekitar dua kalinya. (Allen, 1992: 13)

Begitu besarnya kekuatan televisi mendorong banyak perusahaan atau pihak tertentu yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk beriklan. Karena dengan beriklan di televisi, masyarakat menjadi tahu akan produk yang ditawarkan dan tertarik untuk memilikinya. Atau dengan kata lain, televisi mempunyai peranan penting dan strategis bagi suatu perusahaan dalam memasarkan produknya melalui iklan.

Istilah iklan sendiri pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Soedardjo Tjokrosisworo, seorang tokoh pers nasional Indonesia, pada tahun 1951. Soedardjo sengaja menggunakan kata iklan dengan alasan semangat penggunaan bahasa nasional Indonesia. Kata iklan sendiri berasal dari bahasa Arab I’lan yang berarti pesan.[4] Pesan yang dimaksud adalah suatu pesan yang di dalamnya mengandung unsur ajakan, bujukan, dan tawaran akan suatu produk atau jasa kepada konsumen. Melalui iklan, konsumen dibangkitkan kesadarannya (awareness) tentang adanya suatu produk atau jasa. Pada intinya, iklan bertujuan untuk mempengaruhi pikiran seseorang (state of mind). Dengan demikian, iklan adalah suatu pesan yang bertujuan untuk mempengaruhi calon konsumen agar tertarik pada produk atau jasa yang ditawarkan hingga kemudian membelinya.

Saat ini iklan tidak hanya dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memasarkan produknya, tetapi juga oleh parpol dalam rangka untuk mempengaruhi calon pemilih, membuat mereka tertarik hingga pada akhirnya menyoblos partainya ketika pemilu nanti. Bagi parpol yang memiliki dana cukup besar, berkampanye melalui iklan di televisi bukanlah suatu masalah besar. Karena yang terpenting adalah bagaimana caranya meraih dukungan suara. Dan partai yang cukup gencar berkampanye dengan menggunakan media televisi adalah Partai Gerindra.

Partai dengan lambang kepala garuda berwarna kuning ini dipimpin oleh Prabowo Subianto Djojohadikusumo yang merupakan mantan Pangkostrad sekaligus mantan menantu Presiden Soeharto pada Februari 2008. Terhitung sejak masa kampanye tanggal 12 Juli 2008 hingga dua minggu sebelum pemilu 9 April 2009 berlangsung, partai dengan nomor urut 5 ini telah menyedot perhatian masyarakat melalui iklan-iklannya yang sangat masif di televisi. Setiap hari di setiap saluran televisi sudah pasti iklan tersebut muncul secara berulang-ulang. Menurut Senior Manager Business Development The Nielsen, Maika Randin, tercatat sebanyak3.864 kali iklan partai tersebut muncul pada kuartal pertama di tahun 2009.[5]

Hal tersebut ditunjang oleh besarnya modal yang digunakan hanya untuk membiayai iklan kampanye di televisi. Setidaknya, berdasarkan data AC Nielsen diperoleh fakta yang mengejutkan jika total biaya kampanye partai ini untuk periode 1 Oktober 2008 hingga 2 Februari 2009 mencapai jumlah yang fantastis, yaitu Rp 46,7 milyar. Dan jumlah itu semakin membesar ketika pemilu tiba. Pada kuartal pertama 2009, partai itu telah menghabiskan dana sebanyak Rp 66,7 miliar.

Dengan demikian, partai tersebut telah menjadi sebuah arena kekuasaan yang membutuhkan banyak modal yang digunakan untuk meraih suara, dan salah satunya dengan cara beriklan. Akibatnya, iklan partai tersebut tak ubahnya seperti iklan produk makanan yang menonjolkan sisi-sisi kelebihan agar sang calon konsumen tertarik hingga kemudian membeli produk tersebut. Atau dengan kata lain, dengan mengiklankan partainya di televisi, mereka ‘berkeyakinan’ jika partainya merupakan sebuah produk yang layak dijual kepada calon konsumennya, dalam hal ini calon pemilih.

Lalu bagaimana sebenarnya encoding iklan partai tersebut secara keseluruhan?

Jika dilihat dari segi politik ikon (icon politics), partai ini dapat dikatakan berhasil membangun kesadaran (awareness) masyarakat akan keberadaan sosok Prabowo Subianto selaku sang ketua partai. Karena dalam setiap iklannya, selalu diawali dan diakhiri dengan kalimat, “Saya Probowo Subianto”. Kalimat ini sengaja diucapkan dengan tujuan untuk mengingatkan calon pemilih atau jika menggunakan istilah Roland Barthes sebagai penanda terhadap partai itu. Artinya, sebagai partai yang tergolong masih baru, banyak orang yang belum tahu keberadaan partai tersebut sehingga iklan yang dibuat harus sesederhana mungkin sekaligus ada penanda atau ciri khas partai tersebut, dalam hal ini yang menjadi penanda adalah sang ketua partai, yaitu Prabowo Subianto. Atau dengan kata lain, ketika seseorang ditanya tentang Partai Gerindra sudah tentu ia akan berucap, “Partai Gerindra, ya Prabowo Subianto”. Selain itu, intonasi suara yang keluar dari mulut Prabowo terdengar tegas, lantang, dan penuh percaya diri seolah-olah mencerminkan bahwa ia adalah sosok yang laik menjadi calon presiden Indonesia di masa depan yang tegas dan berani. Dengan demikian, sosok Prabowo sebagai ketua Partai Gerindra dengan citra (image) sebagai calon pemimpin Indonesia di masa depan yang tegas dan berani telah berhasil dibangun oleh partai ini melalui iklan-iklan kampanyenya sehingga masyarakat menjadi tahu akan keberadaan partai tersebut sekaligus sosok sang ketua partai.

Lalu dilihat dari para pemain figuran yang ada dalam iklan tersebut, misalnya, petani, pedagang, dan nelayan, iklan tersebut seolah-olah ingin mengatakan jika partai tersebut memiliki kepedulian terhadap masyarakat yang selama ini termarjinalkan. Selain itu, dalam iklan tersebut terlihat bagaimana penanda yang ada pada mereka sengaja dilekatkan dengan logo gambar partai tersebut. Seperti contoh, layar perahu seorang nelayan bergambar logo Partai Gerindra, topi seorang bu tani bergambar logo Partai Gerindra, payung yang dimiliki seorang pedagang bergambar logo Partai Gerindra. Dengan demikian, masyarakat yang selama ini terpinggirkan sengaja dihadirkan dalam iklan tersebut dan penanda yang terdapat pada mereka sengaja dihubungkan dengan logo gambar partai tersebut dengan maksud untuk mencitrakan diri (image) jika partai itu memiliki kepedulian terhadap mereka.

Kemudian jika menyimak narasinya, iklan partai tersebut tergolong cerdas dan tepat sasaran. Karena selalu menonjolkan sisi-sisi kelebihan program partai tersebut. Seperti dalam salah satu iklannya, “Program kita (Partai Gerindra) justru untuk menanam padi dua juta hektar, menciptakan dua belas juta lapangan kerja baru, menghasilkan 16 juta ton beras yang bisa memberi makan para pekerja di kota, orang miskin, dan semua keluarga, dan meningkatkan kekayaan negara kita”. Atau dalam iklannya yang lain, “Ada satu partai baru dengan gagasan energi dan harapan baru. Satu gagasan untuk menghidupi keluarga, menciptakan lapangan kerja, dan mendidik semua anak-anak kita”. Dan kalimat-kalimat tersebut semakin dipertegas di akhir iklan yang berbunyi, “Partai yang Membawa Perubahan”. Itu artinya, partai ini mencitrakan diri (image) sebagai partai yang akan membawa perubahan bagi rakyat Indonesia karena memiliki visi dan misi yang jelas dengan program-program kerja yang sesuai dengan apa yang sedang dibutuhkan masyarakat, misalnya, menanam padi, menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan demikian, dalam narasi iklannya masyarakat berusaha diyakinkan jika partai itu adalah partai yang berpihak kepada rakyat kecil dengan program-program kerja yang tepat sasaran sekaligus mengajak masyarakat untuk bergabung dan bersama-sama dengan Partai Gerindra menuju ke arah perubahan yang lebih baik.

Lalu bagaimana dengan decoding atas iklan ini?

Menurut Stuart Hall, aktivitas ‘memetik makna’ atau yang lebih dikenal dengan istilahdecoding merupakan sebuah praktik yang problematis, betapapun transparan dan ‘natural’ tampaknya aktivitas itu. Oleh karena itu, ia menyarankan tiga hipotesis yang dari situ decoding terhadap wacana televisi bisa dibangun. Pertama, posisi dominan-hegemonik, yaitu penonton memetik makna yang dikonotasikan dari siaran televisi secara penuh dan men-decoding pesan berdasarkan kode acuan di mana ia di-encoding, kita bisa mengatakan bahwa penonton beroperasi di dalam kode dominan. Atau dengan kata lain, penonton yang berada pada posisi dominan-hegemonik itu menangkap makna (decoding) sesuai dengan yang diinginkan encoder. Kedua, posisi yang dinegosiasikan, yaitu mayoritas penonton mengakui legitimasi dari definisi-definisi hegemoni untuk membuat penandaan (signifikansi) yang abstrak, walaupun pada level terbatas, situasional, ia membuat aturannya sendiri. Atau dengan kata lain, penonton yang berada pada posisi yang dinegosiasikan adalah penonton yang setuju pada beberapa hal, namun menolak pada hal yang lain. Posisi ini yang paling seringkali terjadi pada penonton. Ketiga, posisi oposisional, yaitu penonton menolak secara penuh wacana yang ditampilkan encoder dan memutuskan untuk melakukan men-decoding sendiri. Atau dengan kata lain, penonton yang berada pada posisi oposisional ini cenderung menolak secara penuh pesan yang disampaikan encoder karena mereka sudah memiliki wacananya sendiri yang berlawanan dengan encoder.

Di antara ketiga posisi decoding tersebut, posisi oposisionallah yang dilakukan masyarakat atas iklan partai itu. Hal ini terbukti dari tanggapan atau komentar masyarakat yang cenderung menolak sosok Prabowo, sang ketua partai, baik yang diucapkan secara lisan maupun yang tertulis di media massa, dalam hal ini koran. Seperti contoh yang terdapat pada salah satu rubrik kolom “Obrolan A-Politis” di Koran Kompas tertanggal 16 Januari 2009. Judul kolom yang ditulis oleh Nia Dinata tersebut adalah Demokrasi Tanpa Pesta. Di situ ia menceritakan tentang obrolan ringan para kru filmnya mengenai parpol apa yang akan dipilih saat pemilu nanti. Pada paragraf ketiga kolom tersebut, ia menyinggung tentang keberadaan Partai Gerindra yang disebut-sebut sebagai partai baru yang rajin beriklan kampanye di televisi dan radio dan sekaligus mengkritik sang ketua partai, Prabowo Subianto, sebagai pelaku pelanggaran HAM. Lebih tepatnya, ia menulis “Pembahasan beralih ke potensi partai-partai yang baru muncul, terutama yang rajin beriklan kampanye di televisiataupun radio-radio. Kritik pedas kembali muncul karena tokoh-tokoh partainya yang dianggap sebagai gembong pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negara tercinta ini”.

Meskipun tulisan Nia ini tidak cukup mewakili pendapat penduduk Indonesia secara keseluruhan, namun setidaknya melalui tulisannya diperoleh gambaran bagaimana pendapat masyarakat, dalam hal ini masyarakat perkotaan yang tinggal di Jakarta yang bisa dikatakan sadar politik atau memiliki pemahaman yang kritis terhadap situasi politik yang terjadi, terhadap iklan partai tersebut yang cenderung berada pada posisi menolak atau oposisional disebabkan sosok sang ketua partai, Prabowo Subianto, yang diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara encoding dan decoding tidak benar-benar simetris. Artinya, pesan yang disampaikan encoder belum tentu di-decoding penonton sesuai dengan apa yang diinginkan encoder. Karena baik encoder maupun decoder sama-sama memproduksi makna pesan itu sendiri: pertama oleh sang pelaku encoding atas pesan yang disampaikan; kedua, oleh masyarakat dalam kaitannya dengan lokasinya wacana-wacana lainnya sehingga tidak ada yang dapat memastikan apa yang akan terjadi setelah pesan itu menjadi sebuah wacana. Dengan demikian, proses encoding dan decoding terbuka bagi resiprositas yang berubah-ubah dan beroperasi dalam kondisi produksinya sendiri.

Berikut ini skema Hall tentang proses encoding dan decoding atas sebuah pesan:

Program sebagai wacana bermakna

Encoding

(Makna 1)

Decoding

(Makna 2)

kerangka pengetahuankerangka pengetahuan

---------------------------- ----------------------------

hubungan produksihubungan produsi

---------------------------- ----------------------------

infrasruktur teknisinfrastruktur teknis

Keterangan:

(Momen produksi media) dibingkai seluruhnya oleh makna-makna dan ide-ide; praktik pengetahuan yang menyangkut rutinitas produksi, secara historis mendefinisikan keahlian teknis, ideologi profesional, pengetahuan institusional, definisi dan asumsi, asumsi tentang khalayak dan seterusnya membingkai komposisi program melalui struktur produksi ini. Lebih lanjut, meskipun struktur produksi televisilah yang memulai wacana televisi, ia bukan merupakan sistem tertutup. Struktur produksi televisi mengangkat topik, reportase, agenda, peristiwa, individu, citra khalayak, definisi situasi dari sumber-sumber lain dan formasi-formasi diskursif lainnya dalam struktur politik dan sosial kultural lainnya yang lebih luas di mana struktur produksi televisi merupakan bagian yang dibedakan. Dengan demikian, para prefosional media yang terlibat didalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial mentah di-encoding dalam wacana. Kemudian segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana ‘bebas dikendalikan’ maka suatu pesan menjadi terbuka, misalnya bagi permainan polisemi. Setelah itu terjadi proses decoding, yaitu masyarakat menginterpretasikan atau memetik suatu makna yang terdapat dalam pesan tersebut dengan caranya sendiri. Lalu proses decoding ini ditangkap oleh para encoder sehingga menjadi encoding baru dan begitu seterusnya. Dengan demikian, suatu pesan yang di-encoding oleh encoder merupakan proses terbuka dan beroperasi dalam kondisi produksinya yang berbeda sehingga dapat menjadi sebuah encoding baru setelah di-decoding masyarakat.

David Morley memberikan rangkuman untuk memahami model encoding dan decoding Hall:

1.Produksi pesan penuh makna dalam wacana televisi merupakan pekerjaan yang problematis. Peristiwa yang sama bisa di-encoding melalui lebih dari satu cara sehingga kajian televisi di sini berkenaan dengan bagaimana dan mengapa struktur dan praktik produksi tertentu cenderung menghasilkan pesan tertentu yang mewujudkan maknanya dalam bentuk-bentuk yang berulang.

2.Pesan dalam komunikasi sosial selalu bersifat kompleks dalam hal struktur dan bentuk. Ia senantiasa memuat lebih dari satu ‘pembacaan’ potensial. Pesan menawarkan dan menganjurkan pembacaan tertentu atas pembacaan lainnya, namun pesan tidak bisa sama sekali menjadi tertutup di sekitar satu pembacaan. Pesan tetap bersifat polisemik.

3.Aktivitas ‘memetik makna’ (decoding) dari pesan juga merupakan sebuah praktik yang problematis, betapapun transparan dan ‘natural’ tampaknya aktivitas itu. Pesan meng-encoding satu cara bisa dibaca dengan cara yang berbeda.

Kembali pada tulisan Nia Dinata di rubrik kolom “Obrolan A-Politis” di Koran Kompas tertanggal 16 Januari 2009 dengan judul Demokrasi Tanpa Pesta, timbul suatu pertanyaan apakah ini ada hubungannya dengan memori sosial masyarakat terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998? Meskipun sampai saat ini belum ada keputusan pengadilan mengenai siapa dalang yang harus bertanggung jawab dalam peristiwa yang banyak memakan korban itu, namun isu yang berkembang dan diyakini masyarakat selama ini bahwa Prabowolah otak di balik peristiwa ini.

Memori Sosial Peristiwa Kerusuhan Mei 98

Peristiwa kerusuhan Mei 98 sebenarnya merupakan satu dari serangkaian peristiwa yang muncul sebagai dampak dari krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia Tenggara sekitar Agustus 1997. Ketika itu Indonesia merupakan negara yang mengalami dampak terparah akibat krisis ekonomi. Hal ini ditandai dengan melemahnya kurs rupiah yang sempat menyentuh level Rp 18.000, harga-harga kebutuhan pokok (sembako) menjadi naik, dan banyak pengangguran terjadi di mana-mana karena banyak perusahaan yang mengalami gulung tikar atau sekalipun bisa bertahan mereka melakukan pengurangan karyawan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi. Situasi tersebut mendorong rakyat untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatan yang dipegangnya selama 32 tahun. Sementara di lain pihak, sang penguasa sendiri tidak ingin mundur. Soeharto berusaha melakukan upaya represif dan subversif dengan cara menangkap lawan-lawan politiknya, termasuk menculik 14 aktivis yang dinilai vokal terhadap kebijakan pemerintah.

Lalu tepatnya pada tanggal 12 Mei 1998 mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi untuk menuntut Soeharto mundur. Namun, aksi tersebut justru dibalas dengan penembakan yang dilakukan oleh aparat militer sehingga mengakibatkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak akibat terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada. Peristiwa ini kemudian diperingati sebagai Tragedi Trisakti dan keempat mahasiswa yang tewas itu dikenang sebagai Pahlawan Reformasi. Media telah sukses memblow-up berita kematian keempat mahasiswa Trisakti ke hadapan publik sehingga berita tersebut menjadi pembicaraan di mana-mana, bahkan di luar negeri sekalipun. Padahal ketika itu pengaruh Soeharto masih dapat dikatakan kuat, meskipun mulai melemah.

Keesokan harinya rentang waktu antara pukul 08.00 sampai dengan pukul 10.00 terjadilah kerusuhan di Jakarta yang kemudian meluas hingga ke berbagai daerah. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kerusuhan Mei 98. Saat itu situasi kota Jakarta sangatlah mencekam. Banyak mal-mal atau toko-toko yang dimiliki warga Tionghoa menjadi sasaran penjarahan dan pembakaran oleh massa sehingga membuat banyak pemilik toko yang bukan berasal dari etnis Tionghoa memasang tulisan di depan toko mereka "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" dengan maksud agar toko mereka tidak dijarah. Selain itu, banyak perempuan Tionghoa menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan secara massal. Akibatnya, banyak dari mereka yang selamat memilih untuk pergi mengungsi ke Singapura dengan memboyong seluruh anggota keluarganya. Dengan demikian, etnis Tionghoa adalahkorban yang paling menderita akibat peristiwa tersebut. Mereka tidak hanya kehilangan harta, tetapi juga menanggung derita, aib, dan malu yang masih dirasakan hingga kini. Namun tak hanya etnis Tionghoa saja yang menjadi korban, melainkan juga dari kalangan pribumi. Banyak dari mereka yang tewas terpanggang akibat terjebak dalam mal yang “diduga” sengaja dibakar. Para karyawan sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Aktivitas belajar mengajar pun sengaja dihentikan dan murid-murid pulang lebih awal dari biasanya. Atau dengan kata lain, Jakarta tak ubahnya seperti kota mati yang tak berpenghuni.

Peristiwa tersebut telah menimbulkan banyak korban. Berdasarkan penemuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) tercatat sebanyak 288 korban meninggal, 101 korban luka, 92 perempuan menjadi korban perkosaan, dan ribuan rumah rusak terbakar. Serta negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,5 triliun.[6]

Selain itu, TGPF juga menemukan fakta menarik jika peristiwa kerusuhan tersebut merupakan suatu peristiwa yang telah disusun secara sistematis, terorganisasi, dan terkoordinasi. Hal ini terlihat jelas dari pola aksi yang dilakukan, sepertiadanya pembagian tugas tertentu di antara para anggotanya: Ada “kristal massa”[7], yaitu para pemicu kekerasan massa, penghubung antara kelompok yang satu dengan yang lain, informan-informan dan para pelaksana yang hanya mengikuti perintah dari atas. Banyaknya massa yang diduga berasal dari tentara dengan ciri-ciri berambut cepak dan memiliki kemampuan terlatih, misalnya, menggunakan alat kekerasan, bergerak dengan mobilitas tinggi, menggunakan sarana transport (sepeda motor, mobil/jeep) dan sarana komunikasi (HT/HP). Mereka telah menyiapkan alat-alat perusak seperti batu, bom molotof, cairan pembakar, linggis dan lain-lain. Mereka ini bertugas memprovokasi warga untuk mulai melakukan perusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Dan setelah warga berhasil diprovokasi, maka meletuslah peristiwa kerusuhan itu. Massa telah bertindak sangat destruktif. Mereka melakukan penjarahan, perampasan, dan pemerkosaan. Mereka telah melakukan suatu perbuatan yang berada di luar norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan demikian, massa yang gerakannya telah dipersiapkan (massa tertutup) mendapat tambahan banyak anggota baru dalam aksinya sehingga jumlah para pelaku menjadi membengkak dengan sangat cepat. Siapa saja yang berdiri di sekitar aksi massa itu “tersedot” ke dalam massa yang jumlah anggotanya makin banyak ini (massa terbuka).

Lalu timbul suatu pertanyaan mengapa peristiwa kerusuhan Mei 98 bisa terjadi?

F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (2005) mengatakan bahwa akar kekerasan massa (the conditions of posiblity), termasuk Peristiwa Kerusuhan Mei 98, disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, akar epistemologi, yaitu korban dilihat sebagai sosok yang lain (the other) dari pelaku. Hal ini disebabkan hasil konstruksi pikiran sang “aku” terhadap “kamu” sehingga korban dipandang bukan sebagai sesama manusia, melainkan sebagai musuh yang harus dibunuh. Etnis Tionghoa dipandang sebagai sosok yang lain (the other), warga negara yang bukan pribumi sehingga melakukan penjarahan, perampasan sekaligus pemerkosaan terhadap mereka bukanlah sesuatu hal yang salah. Dengan demikian, tindakan kekerasan sudah terkondisi di dalam struktur pikiran manusia itu sendiri. Kedua, akar antropologi, yaitu melemah atau tidak adanya sistem nilai yang dianut masyarakat sehingga setiap individu mengalami disorientasi. Akibatnya, timbul rasa panik yang pada akhirnya mendorong untuk melakukan tindakan yang destruktif. Dengan demikian, melemah atau tidak adanya sistem nilai yang dijadikan pegangan memunculkan anggapan bahwa membunuh orang lain yang berada di luar kelompok atau yang melawan kita merupakan suatu keharusan. Ketiga, akar sosiologi, yaitu kondisi-kondisi struktural ekonomi yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial sehingga membuat individu yang merasa dimarjinalkan, didiskriminasikan, dan direpresikan merasa terisolasi. Sebagai gantinya, mereka mengisi kekosongan dalam dirinya itu dengan cara bergabung pada kelompok di luar dirinya dan bersama-sama melakukan tindakan destruktif sebagai upaya bentuk penegasan diri egonya yang panik melalui penegasan kelompok.

Kemudian timbul pertanyaan siapakah otak di balik peristiwa Kerusuhan Mei 98? Meskipun hingga saat ini belum ada keputusan hukum mengenai siapa pihak yang bertanggung jawab, namun isu yang berkembang selama ini jika Prabowo Subiantolah orangnya. Ia yang ketika itu menjabat sebagai Panglima Kostrad “diduga” kuat mendalangi kerusuhan Mei 1998 dengan tujuan untuk mendiskreditkan rivalnya, Pangab Wiranto, sekaligus mendapat simpati dan wewenang lebih dari Presiden Soeharto yang sekaligus mertuanya bila kelak ia mampu memadamkan Kerusuhan, meskipun pada akhirnya gagal. Sementara dalam beberapa wawancara di beberapa koran nasional, ia membantah keras tuduhan tersebut. Justru ia merasa telah "dijebak" oleh Wiranto. Ia malah mempertanyakan sikap rivalnya itu yang tidak berada di ibukota saat meletus kerusuhan Mei 1998 dan bersikeras membawa sejumlah perwira tinggi ke Malang.

Kini setelah lebih dari satu dekade berlalu, ingatan-ingatan para korban, keluarga korban, maupun penduduk Jakarta itu sendiri terhadap peristiwa kerusuhan Mei 98 ternyata masih tersimpan dengan baik. Seperti contoh kisah yang dituturkan Ruyati (59), warga Penggilingan, Jakarta Timur, yang harus kehilangan anak sulungnya, Eten Karyana (32), karena tewas terpanggang di Yogja Departement Store.[8] Ia dan suaminya, Darmin (64), tak henti-henti menangis saat mendengar putranya menjadi korban terbakar hidup-hidup di Yogya Department Store. Ia semakin yakin saat melihat sebuah stasiun televisi menayangkan sebuah kartu tanda penduduk (KTP) milik Eten yang masih utuh, tak terbakar. Kemudian Leman Sulaeman, menantunya, bergegas pergi ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tepat 15 Mei 1998 pukul 16.00, Leman kembali ke rumah dan berdiri di depan pintu rumah dengan membawa sebuah kardus mi instan. Leman tak berkata apa-apa, tetapi airmata deras mengalir di pipinya. Leman pun berjalan maju dan menyerahkan kardus itu kepada Darmin. Kardus pun dibuka. Isinya, abu dari jasad Eten Karyana. Lalu Ruyati menjerit histeris, "Ya Allah, astagfirullah, kenapa bisa begini....". Kemudian ibu itu pingsan. Kedua orang tua itu tak pernah menyangka jika putra sulung yang menjadi tulang punggung keluarga itu kembali dalam bentuk abu. "Ternyata perkiraan kami salah. Saya tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kesakitan yang ia alami," ujar Ruyati.

Peristiwa itu telah meninggalkan trauma yang sangat mendalam sehingga kemunculan sosok Prabowo Subianto dalam iklan Partai Gerindra yang ditayangkan di televisi secara berulang-ulang telah mendorong ingatan-ingatan buruk yang selama ini sengaja direpresi oleh mereka muncul kembali. Mereka menjadi teringat akan situasi yang mencekam saat Peristiwa Kerusuhan Mei 98 terjadi. Mereka menjadi ingat akan anggota keluarga, saudara, teman, atau bahkan diri mereka sendiri yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Sementara di lain pihak, mereka ingin sekali dapat melupakan mimpi buruk itu. Tulisan Nia Dinata dalam rubrik kolom Koran Kompas “Obrolan A-Politis” cukup menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana memori sosial masyarakat yang tinggal di Jakarta terhadap peristiwa Kerusuhan Mei 98 ternyata masih melekat kuat dalam pikiran bawah sadar (unconscious) mereka. Di situ ia menulis: “Kok enggak malu ya? Apa dia (Prabowo) pikir warga negara Indonesia ini pada menderita amnesia semua?”. Itu artinya, penolakan masyarakat terhadap sosok Prabowo lebih disebabkan karena adanya memori sosial yang selama ini sengaja direpresi oleh mereka akanperistiwa Kerusuhan Mei 98. Boleh jadi, karena memori sosiallah yang menyebabkan perolehan suara Partai Gerindra hanya mencapai 4,3%.

[1]Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertanggal 27/04/09

[2]Sumber: www.kompas.com

[3]Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU) tertanggal 27/04/09

[4]Riyanto, Bedjo. Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870 – 1915)(Yogjakarta: Tarawang, 2000), hlm. 15.

[5]Sumber www.kompas.com

[6]Sumber: www.kompas.com

[7] Istilah ini didefinisikan oleh Elias Caneti dalam karyanya berjudul Masse und Macht dan dikutip oleh F. Budiman Hardiman dalam bukunya Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror, dan Trauma pada hlm. 85

[8] Sumber: www.kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun