Perlunya Dekonstruksi
Dekonstruksi menjadi suatu keharusan yang harus ditempuh agar kebertubuhan waria tidak lagi dipandang sebagai the other dalam sepanjang hidupnya. Karena dengan mendekonstruksi, kita mampu membongkar makna-makna yang tersembunyi di balik ideologi heteronormativitas.
Seorang filsuf asal Perancis, Derrida, adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep dekonstruksi ini. Menurutnya, sebuah makna tidak pernah hadir dalam satu bahasa, meaning is never immediately or fully present in any given one sign. Makna sebuah tanda bahasa adalah sekedar perbedaan tanda bahasa itu dengan yang lain. Artinya, konsep laki-laki ada karena pembedaannya dengan perempuan. Dan konsep hitam ada karena pembedaannya dengan putih. Dengan demikian, makna merupakan akibat dari hubungan tanda bahasa (differance).
"Permainan differance meliputi sintesis dan referral (renvoi) yang menginspirasikan bahwa tidak ada elemen yang hadir begitu saja, dan menunjuk padanya. Baik ditulis atau diutarakan, tidak ada satu elemen pun yang berfungsi sebagai tanda yang tidak membutuhkan tanda lain. Hubungan antar tanda ini menunjukkan bahwa setiap elemen─ fonem atau grafem─ terbentuk dalam kaitannya dengan tanda atau elemen lain. Tidak ada sesuatu pun, baik elemen maupun sistem, yang hadir atau lenyap begitu saja". (Derrida, 1981: 27)
Konsep differance inilah yang saya jadikan sebagai pisau analisa untuk mendekonstruksi wacana kebertubuhan waria sebagai the other. Pada intinya, ideologi heteronormativitas berbicara mengenai heteroseksualitas yang dinilainya sebagai sesuatu yang ideal. Bahwa menjadi normal adalah dengan menjadi laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan konstruksi sosial di masyarakat, yakni bahwa laki-laki harus tampak maskulin sedangkan perempuan harus tampak feminin. Tidak boleh dicampuradukkan (in between). Tidak hanya itu, ideologi ini juga mengharuskan adanya aktivitas seksual yang berujung pada prokreasi.
Ideologi heteronormativitas bukan sesuatu yang lahir begitu saja (to be given), melainkan direproduksi oleh wacana pengetahuan (ilmu kedokteran, psikologi, dan agama Islam) secara terus-menerus dan berulang-ulang melalui tanda bahasa dengan yang lain, yaitu non-heteroseksual. Bahwa yang dikatakan normal adalah laki-laki dengan sifat maskulinnya dan perempuan dengan kefeminimnya. Sedangkan yang dikatakan abnormal adalah laki-laki dengan sifat kefeminimnya alias kaum waria. Bahwa yang disebut ideal, menurut pengetahuan, adalah heteroseksual, menyukai lawan jenis dengan tujuan untuk reproduksi keturunan. Sedangkan non-heteroseksual disebut tidak ideal oleh pengetahuan karena orientasi seksual mereka yang menyukai sesama jenis sehingga tidak bertujuan pada prokreasi. Dengan demikian, melalui wacana pengetahuan inilah, heteroseksualitas diinternalisasikan dan dinaturalisasikan, sedangkan bentuk yang lain dipatologikan dan diabnormalkan.
Nah, jika demikian masihkah kita menatap kaum waria dengan tatapan sorotan mata tajam, mengernyitkan alis, mulut menganga, dan sesekali tersenyum mengejek seolah-olah ia adalah makhluk Tuhan yang aneh??
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI