Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hidden Gem Pantai Sepi untuk Menenangkan Diri: Negeri Laskar Pelangi

21 April 2024   08:18 Diperbarui: 21 April 2024   08:27 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Punya pantai yang cantik dan naik daun karena sekuel film Laskar Pelangi, tetapi infrastruktur pariwisata kurang maksimal sehingga pamor perlahan meredup. Kini namanya kembali mencuat pasca pegawai timah yang dirumahkan karena kasus tambang ilegal melibatkan dua figur publik bertitel crazy rich. Apa kabar Pulau Belitong hari ini?

Selama sekitar lima belas tahun, kehidupan di Belitung sulit terlihat evolusinya ketika Jakarta menatap revolusi. Jangankan kawasan pantai dan daerah pinggiran, wajah sepanjang rute dari bandara ke Jalan Sriwijaya sebagai pusat Kota Tanjung Pandan pun relatif tidak berubah. Selain hotel, pembangunan oleh investor belum marak meskipun jalan sudah beraspal. Soal kuliner, rasa khas warga setempat pun mulai tersingkir oleh para pendatang yang banyak berasal dari Pulau Jawa.

Jangankan garbarata, atap tangga rusak sehingga air hujan bocor dan kemudian disambut dengan terminal kedatangan yang terasa sesak sekalipun diisi oleh penumpang satu penerbangan saja. Bandara tidak menyediakan satupun restoran dari brand ternama ibu kota, silakan melewati banyaknya tanah kosong sampai ke Jalan Sriwijaya di mana ada KFC, A&W, dan Pizza Hut. Keberadaan pedagang makanan lokal, seperti seafood, bakmi Belitung, sampai martabak Belitung, kalah oleh toko ponsel, toko buah impor, rumah makan Padang, dan penjual makanan berbahan dasar ayam seperti ayam goreng tepung, ayam geprek, ayam penyet, ayam kremes, pecel ayam, sate ayam, bubur ayam, soto ayam, juga mie ayam.

Pusat kota Tanjung Pandan ini bagi saya terasa mirip seperti Pasar Lama Tangerang, tetapi masih di bawahnya lagi. Jangan berharap ada mall di sini, pengusaha lokal mendirikan sendiri-sendiri supermarket, toko pakaian, sampai tempat makan. Harga tanah yang relatif masih murah membuat bangunan satu lantai jadi primadona. Rumah memiliki halaman luas sekalipun di jalan raya, meskipun parkirnya cukup jauh dari jalan, umumnya tidak berkanopi, dan penghubung dari jalan ke parkir hanya mengandalkan jalan setapak berbahan pasir dan batu selebar roda. Tanah merah dan ilalang menjadi sahabat, dengan kepercayaan keamanan yang tinggi sehingga banyak rumah tak berpagar sekalipun difungsikan juga untuk berwirausaha.

Kopitiam alias warung kopi ramai diserbu warga setiap malamnya. Hidup mereka cukup santai sehingga bisa pulang lebih awal, bergurau sambil nongkrong, saling memperbarui kabar kehidupan warga lain (baca: bergosip), tanpa perlu membawa-bawa laptop untuk hustle culture. Sekalipun udaranya cenderung panas, mereka dapat bertahan hidup di siang hari tanpa AC. Dengan segala kesantaian ini, mobil-mobil baru tetap bisa berseliweran dan kini tingkat penggunaan plat nomor BN sesuai daerah meningkat pesat seiring dealer mobil tersedia lebih banyak. Saya belum menemukan brand mobil asal Tiongkok di sini, mobil listrik, atau juga mobil mewah asal Eropa yang masih cukup sering ditemui di Jogja, tetapi setidaknya warga Belitung tidak perlu lagi menunggu penjualan mobil bekas atau meminta bantuan dari Jakarta.

Kesantaian ini menjadi "musuh" wisatawan yang datang ke sini. Jam buka, stok bahan makanan, sampai kecepatan memasak oleh warga lokal tidak berubah sekalipun di momen keramaian seperti musim liburan dan sembayang Cheng Beng, sudah memesan dari sebelum datang pun tetap menunggu cukup lama. Rumah makan yang cukup dikenal juga bisa jadi buka di hari tertentu dan waktu tertentu (pagi atau sore hari) saja, belum lagi mereka cenderung tidak terdaftar di GrabFood atau GoFood dan tidak memiliki layanan pesan antar. Bersamaan dengan sentra oleh-oleh, lokasinya tidak terpusat sehingga terasa seperti terus menerus mencari hidden gem. Hal inilah yang mendukung laris manisnya usaha makanan oleh para pendatang dan juga menambah luas pilihan makanan Halal yang sebelumnya agak jarang ditemui.

Aspal jalan boleh bagus dan mulus sehingga akses menjadi lebih cepat. Akan tetapi, penerangan tetap menjadi masalah ketika kita mengunjungi pantai dan hendak kembali ke pusat kota setelah matahari terbenam. Bertanya kepada orang lain juga sulit mengingat masih banyak lahan perkebunan dan hutan tanpa keberadaan manusia.

Jangankan live streaming, bertukar pesan WhatsApp dan mengakses Google Maps pun sulit karena sinyal lemah, jaringan bisa turun ke EDGE, atau bahkan hilang sama sekali. Uang tunai pun masih jadi andalan di sini, penyedia EDC dan QRIS tidak habis dihitung oleh jari satu tangan. Sekalipun menyewa mobil bisa dilakukan dengan cukup mudah di bandara, SPBU langka dan pedagang bensin eceran menjadi andalan meski tak kalah langka.

Pantainya harus saya akui lebih bersih dan lebih indah dari Bali. Pemandangan bisa dinikmati secara gratis bahkan dari kaca mobil sepanjang jalan, mengingat penginapan dan tempat makan yang menutup sebagian area pantai eksklusif untuk pengunjungnya masih sangat sedikit. Tempat hiburan di pinggir pantai juga belum ada sehingga ramah untuk menikmati hari bersama keluarga dengan suasana tenang yang menyejukkan hati dan pikiran serta jauh dari maksiat.

Belitung cocok untuk kamu yang introvert, mumet oleh pekerjaan, ingin "mengasingkan diri" dari keramaian, dan mencintai pantai sehingga Bali dan Pantai Kuta kalah dalam perlombaan. Sayangnya, saat ini lebih banyak mereka yang berlibur bersama keluarga, ingin mencari spot foto untuk diunggah ke media sosial, dan hidup praktis nan modern sehingga tingkat permintaan tiket pesawat tidaklah banyak. Belum lagi jika kamu mengalami gangguan tidur sehingga istirahat lebih malam, tak ada hal berarti sekalipun di pusat kota dan bahkan hari berakhir lebih cepat dari Magelang.

Frekuensi penerbangan Jakarta-Belitung PP kini banyak berkurang dengan Citilink hanya terbang sekali sehari dan tidak setiap hari serta Garuda Indonesia sudah mundur. Mau tidak mau, fleksibilitas waktu dan ketersediaan tiket setiap hari hanya diberikan oleh Lion Air. Tak jarang harga tiketnya bersaing dengan rute yang lebih jauh seperti Jakarta-Bali PP dan ditambah dengan makanan yang juga tidak murah karena sebagian bahan perlu dikirim termasuk dari Jakarta, berlibur ke Belitung terasa relatif mahal. Belitung terhimpit dalam kesulitan, pendapatan pariwisata tidak maksimal ketika terus mengandalkan timah dan sawit berarti merusak lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun