Sekaya apapun sumber daya dan hartanya, juga secerdas apapun bangsanya dengan kontribusi positif dalam kemajuan peradaban di dunia, tetap saja negara yang besar adalah negara yang berdaulat. Salah satu ukuran tegaknya kedaulatan negara adalah bagaimana negara tersebut bisa mempertahankan wilayahnya. Hari ini, Indonesia dan beberapa negara tetangga sedang diuji dengan klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan yang meliputi wilayah milik negara-negara ini.
Meskipun sudah diatur oleh Konvensi PBB yaitu UNCLOS sejak 1982 dan dikuatkan oleh putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2016 lalu, Tiongkok belum bisa menerima bahwa wilayah yang diklaim itu memang bukan miliknya dan masih mencoba mencaplok zona ekonomi eksklusif negara lain melalui rilis peta standar mereka di 2023. Baru-baru ini, terjadi ketegangan fisik antara kapal militer milik Tiongkok dan Filipina sehingga masalah ini kembali mencuat ke permukaan.
Bukan tanpa alasan Tiongkok mengincar Laut Cina Selatan. Kawasannya luas dan strategis sebagai jalur pelayaran, juga memiliki sumber daya alam yang melimpah berupa potensi migas dan perikanan, tentu menarik bagi perekonomian negara yang memilikinya sebagai bagian dari wilayah. Indonesia turut serta dalam konflik ini karena keberadaan Laut Natuna dan Laut Natuna Utara yang penting untuk menjaga Kepulauan Natuna, sebelumnya pun pernah menjadi bagian dari sengketa dengan Malaysia. Kita pun pernah berkonflik dengan Tiongkok di wilayah ini karena kapal mereka masuk ke sana dan juga mereka memperingatkan kita untuk menghentikan kegiatan penambangan migas di wilayah kita sendiri.
Studi Pusat Kajian Anggaran DPR RI pada November 2021 mencatat bahwa Laut Natuna Utara menyimpan potensi gas bumi yang tidak akan habis dalam tiga puluh tahun mendatang. Ratusan ribu ton ikan segar menarik pelaku illegal fishing tidak hanya dari Tiongkok, tetapi juga Vietnam. Katadata mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan di 2017, menemukan bahwa tidak hanya ikan seperti ikan layang dan ikan manyung yang potensial di Laut Natuna Utara tetapi juga cumi-cumi dan gurita. Di satu sisi, keterbatasan anggaran Bakamla untuk menyediakan armada kapal dan pesawat dengan durasi operasional yang memadai menjadi masalah, ditambah dengan keterbatasan stok bahan bakar.
Berbicara mengenai upaya kita mempertahankan kedaulatan kita di wilayah Natuna tentunya tidak akan lepas dari upaya pertahanan dan diplomasi internasional. Indonesia sudah memiliki pangkalan militer di Natuna yang cukup kuat, tetapi memperkuat alutsista, kuantitas dan kompetensi tentara yang bertugas, serta memastikan pemantauan selama 24 jam berlangsung di seluruh wilayah perbatasan itu penting agar kita siap sedia menangkap perilaku tidak wajar oleh pihak asing di wilayah kita. Jika perlu, kamera pemantau dapat terhubung ke seluruh Nusantara untuk tidak hanya dipantau oleh aparat militer, tetapi juga oleh seluruh warga Indonesia. Ketika alutsista dan tenaga tambahan diperlukan menghadapi penyusup, permodalan bisa datang dengan lebih cepat.
Komunikasi dengan pihak Tiongkok terus dilakukan secara tegas tetapi tetap mempertahankan hubungan baik antarnegara agar mereka mengakui kedaulatan kita secara penuh di wilayah tersebut tanpa kompromi. Demikian pula mempererat kerja sama dengan negara tetangga yang berkonflik di wilayah tersebut baik secara bilateral maupun multilateral melalui organisasi antarnegara, misalnya ASEAN. Kekompakan untuk bersikap tegas dan tanpa kompromi menghadapi Tiongkok termasuk bersatu secara militer di mana satu negara diserang berarti menyerang seluruh negara yang diganggu kedaulatannya di Laut Cina Selatan akan meningkatkan rasa segan Tiongkok dibandingkan terhadap menghadapi satu persatu negara, juga jika masalah ini perlu dieskalasi secara hukum internasional atau dibahas di organisasi yang lebih besar termasuk PBB.
Memastikan soliditas nasionalisme warga Natuna adalah hal yang tidak dapat dikesampingkan dari upaya ini. Memperhatikan kesejahteraan fisik, sosial, mental, dan spiritual mereka penting dengan turut menyadarkan besarnya peran mereka untuk berani bergerak ketika melihat pihak asing yang tidak semestinya memasuki wilayah mereka. Ketidakpuasan warga terhadap Pemerintah Indonesia dapat menyulitkan kita jika muncul ketertarikan untuk memisahkan diri atau malah langsung bergabung dengan negara lain. Sejauh ini, indeks kepuasan warga Kabupaten Natuna tempat Laut Natuna Utara berada per November 2023 mencapai 3,49, sebuah raihan yang cukup baik tetapi masih punya ruang lebar untuk ditingkatkan.
Menunjukkan bahwa Natuna berharga hari ini dan di kemudian hari juga penting dengan memerlukan eksistensi nyata yang dapat dilihat dunia internasional. Dari segi konservasi alam, hal ini dapat dilakukan dengan memastikan bahwa alam Natuna terjaga dengan kerusakan yang berusaha diperbaiki. Dari segi ekonomi, pembangunan infrastruktur yang mumpuni, optimalisasi pemanfaatan potensi sumber daya dan pariwisata setempat oleh pemodal domestik, serta hilirisasi pertambangan adalah tiga hal kunci agar Natuna tak terlihat sebagai wilayah tanpa penghuni yang dapat "diakuisisi". Sejarah Kepulauan Natuna sebagai wilayah dari Indonesia juga disebarluaskan dengan berbasis sebaran wilayah Kesultanan Riau dan Hindia Belanda, di mana hal ini dilakukan melalui promosi wisata sejarah kepada wisatawan yang datang ke Natuna.
Satu hal yang tidak terlalu kita sadari tetapi juga perlu bijaksana dan berhati-hati dalam memanfaatkannya adalah kekuatan ekonomi Indonesia sebagai penghasil sumber daya alam khususnya komoditas mentah. Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang besar Indonesia dan cukup banyak mengimpor barang kita, juga menempatkan dana dan ekspatriat untuk berbisnis di sini. Memainkan instrumen ekonomi dapat membuat mereka ketar-ketir untuk mengancam kedaulatan kita, tetapi harus disadari bahwa mereka lebih kuat secara ekonomi dan kehilangan investasi serta kemampuan impor barang-barang kebutuhan khususnya terkait teknologi dengan harga yang murah juga merugikan masyarakat. Hal yang bisa dilakukan adalah membatasi impor jenis komoditas mentah yang terdapat produksinya di Kepulauan Natuna dan sekitarnya untuk kemudian ditingkatkan nilai tambahnya sebelum didatangkan ke Tiongkok. Partisipasi masyarakat kita secara nasional untuk menggertak Tiongkok dengan menyadari bahwa ada konflik yang belum usai sehingga penggunaan barang Tiongkok bisa dikendalikan jika tidak benar-benar diperlukan bagaimanapun juga bisa mempengaruhi pendapatan pebisnis Tiongkok. Jalan terakhir adalah mengendalikan utang Pemerintah dan swasta kepada Tiongkok dengan berusaha melunasi atau melakukan refinancing utang existing dan mencari pemberi utang lain yang tidak kalah kompetitif.
Menegakkan kedaulatan di wilayah manapun adalah hal yang penting dengan penuh ketegasan dan tanpa kompromi. Apalagi jika beberapa negara memiliki konflik kedaulatan bersama menghadapi suatu negara lainnya dan Indonesia berada dalam kelompok tersebut, kekompakan multilateral dalam bersikap dapat membantu menyelesaikan masalah termasuk ketika mencari negara pihak ketiga sebagai mediator yang netral. Perang bukanlah pilihan mengingat sekuat apapun modal kita, prinsip bahwa menang jadi arang dan kalah dari abu tidak akan pernah hilang. Akan tetapi, kemungkinan terburuk akan selalu ada dan kita harus selalu menyiapkan diri untuk siap menghadapinya.
#KedaulatanIndonesia #JagaNatuna #LombaISDS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H