Ini memang pertanyaan yang masuk ke telingaku ketika perayaan Imlek kemarin, tetapi bukan tidak mungkin masuk telinga kalian saat Lebaran nanti. Lulus Sarjana dan sudah bekerja sekian lama, kukira akan ditanya kapan nikah karena sudah sekian lama doi pun tak punya. Ternyata pertanyaannya adalah kapan kuliah lagi.
Jika yang menanyakannya adalah mereka yang peduli pendidikan, wajar. Masalahnya kali ini mereka yang selama ini kurang peduli pendidikan ikut menanyakannya. Mungkin kini mereka sudah memahami bahwa pertanyaan "kapan menikah" kurang relevan untuk anak muda yang usianya memang belum masuk kategori "darurat" mencari jodoh dan mencari hal yang lebih penting.
Secara nasional, presiden kita merasa lulusan S2 dan S3 saat ini masih sedikit. Meskipun saat ini kebanyakan anak bangsa berjuang untuk langsung belajar sampai Sarjana, berbagai rintangan pada akhirnya membuat tak sedikit di antaranya berhenti di SMA, SMP, atau bahkan SD. Sumber calon mahasiswa pascasarjananya belum maksimal, kuliahnya lagi pun entah kapan dan itu pun kalau iya.
Beasiswa untuk kelas reguler dan bukan pekerja
Perusahaan tertentu yang lebih membutuhkan gelar pendidikan formal pegawainya daripada sertifikat kompetensi dan gelar profesi memang menyediakan beasiswa pendidikan pascasarjana. Biaya yang besar membatasi penerima untuk mereka yang memiliki jabatan lebih tinggi atau mereka yang siap mengikuti ikatan dinas untuk jangka waktu yang tidak sebentar. Ikatan selama tiga sampai lima tahun setelah lulus mungkin membuat banyak orang berpikir ulang, apalagi pengejar jalan tol kenaikan gaji dan jabatan melalui jalur kutu loncat.
Di satu sisi, biaya pendidikan pascasarjana itu mahal, gaji belum tentu besar untuk membayar uang kuliah, dan keuntungan tidak bisa dirasakan segera setelah lulus kecuali memang ada kenaikan jabatan atau gaji yang dipastikan berlaku langsung setelah kelulusan. Misalnya, jabatan tertentu yang membutuhkan lulusan pascasarjana terbuka untuk mereka dengan pengalaman kerja selama sembilan tahun. Untuk lebih cepat mencapai pemenuhannya, kuliah sambil kerja lebih baik daripada kuliah penuh sekitar dua tahun tetapi jika usianya masih 25 tahun ya tetap harus menunggu, berinvestasi dulu istilahnya.
Bahkan, spesialisasi dokter yang hanya ada untuk lulusan pascasarjana belum tentu membuat pendapatannya jadi lebih baik sejak keberadaan layanan BPJS Kesehatan. Kepuasan dari mereka yang merasa layanan tersebut sudah cukup mengurangi tingkat kunjungan dengan pembayaran pribadi ketika lulusan baru membuat ketersediaan dokter menjadi lebih banyak, ditambah lagi usia pensiun dokter cenderung lebih tua.Â
Ada saja rumah sakit elit yang mulai menerapkan tarif konsultasi dokter lebih manusiawi, itu pun tingkat kunjungan belum dirasa maksimal oleh dokter. Di hari dan jam yang kurang favorit untuk pasien datang berobat, dokter membuka praktek di klinik atau rumahnya sendiri, tak jarang berani berinvestasi sarana pemeriksaan, dan menawarkan tarif yang bersaing dengan konsultasi dokter umum di IGD.
Imbasnya, sebagian dokter umum ikut menurunkan tarif konsultasinya agar masyarakat tidak merasa lebih baik langsung saja ke dokter spesialis dengan perbedaan biaya yang tidak signifikan. Hal lain terjadi ketika spesialisasi yang dipelajari oleh dokter spesialis tidak banyak pasiennya karena penyakitnya memang tidak banyak ditemukan di masyarakat, sekalipun keberadaan mereka langka tetap sulit mendapatkan penghasilan yang memadai sehingga akhirnya juga memanfaatkan ilmu kedokteran umum untuk berpraktek dan rela dibayar sama dengan para dokter umum.
Beasiswapun dicari, tetapi tersedia hanya untuk kelas reguler di hari dan jam kerja yang tentunya akan mengganggu pekerjaan, ditambah lagi beasiswanya memang tidak memperbolehkan penerimanya bekerja selama berkuliah. Berbeda dengan sertifikasi profesi, ujiannya tidak lama dan kursusnya pun tidak lama jika ada, bahkan bisa jadi belajar otodidak atau dari jauh pun boleh. Biayanya? Lebih murah juga. Pembatasan ini motivasinya tidak salah, agar penerima beasiswa benar-benar fokus belajar. Akan tetapi, apakah bagus juga ketika diisi oleh mereka yang masih sangat muda, belum punya pengalaman kerja atau baru sebentar, dan kemudian kembali untuk menjadi pegawai kantoran?
Motivasi itu ada, tetapi dapur tetap harus terus menyala
Gaji sebagai pekerja tidak selalu besar, belum termasuk dipotong pajak dan potongan lainnya, juga biaya transportasi dan akomodasi apalagi bagi anak rantau. Di satu sisi, beasiswa juga dapat memberikan uang saku dan penerima mungkin bekerja lepas selagi ada waktu.Â
Masalahnya, tetap saja setelah dihitung-hitung pendapatan dari gaji lebih bisa menyalakan dapur dan memberatkan mereka dengan dukungan finansial keluarga yang kurang memadai. Beberapa teman saya, sekalipun mereka mampu dan mendapatkan beasiswa penuh, tetap bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan uang karena dana dari beasiswa tidak cukup sekalipun hidup sederhana.
Di tengah Indonesia yang sedang menyongsong bonus demografi dan masalah pengangguran intelektual yang juga terjadi di luar negeri, mendapatkan pekerjaan setelah lulus kuliah bisa jadi sulit. Selama masih betah bekerja, ya belum kuliah lagi. Tak jarang, kuliah lagi nantinya menjadi pelarian dari mereka yang bosan atau tak tahan bekerja.
Mencari momentum agar tepat sasaran
Kecuali jika pekerjaan yang dituju membutuhkan ijazah pascasarjana dan bahkan semua tingkatan jabatan terbuka untuk lulusan sarjana, lulusan pascasarjana mungkin menemukan kesulitan mendapatkan pekerjaan sekalipun meminta gaji yang tidak lebih tinggi dari lulusan baru sarjana. Setelah bekerja, mereka bisa jadi memiliki jabatan yang tidak lebih tinggi dan bersaing dengan sarjana untuk mendapatkan promosi.Â
Tak jarang lulusan pascasarjana mendapatkan ekspektasi lebih tinggi untuk jabatan, posisi, dan gaji yang sama dari rekannya yang lulusan sarjana, padahal pendidikan tidak didanai oleh pemberi kerja. Skor akhir yang berbeda untuk pekerjaan yang dirasa sama baiknya ujung-ujungnya menguntungkan lulusan sarjana dengan promosi lebih cepat.
Tidak percaya dengan hal ini? Lihat saja pasangan calon presiden dan wakil presiden yang saat ini dikabarkan unggul di Pemilu 2024. Semua calon harus diakui punya pengalaman yang cukup mumpuni selama berkarir di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan.Â
Akan tetapi, ada saja masyarakat yang merasa sosok lulusan pascasarjana belum memaksimalkan kemampuannya sehingga ujung-ujungnya menilai bahwa Pak Prabowo yang tamatan Akmil dan Pak Gibran yang tamatan sarjana lebih memuaskan. Pengetahuan dan keterampilannya dianggap mampu bersaing dan sudah cukup untuk mengemban tanggung jawabnya yang besar.
Para atasan dan pemberi kerja kompak berujar bahwa kuliah pascasarjana harus dilakukan dengan momentum yang tepat agar tepat sasaran. Mengambil jeda yang cukup dari pendidikan sarjana dan duduk dengan pengalaman yang cukup di dunia kerja memberikan motivasi lebih kepada mahasiswa pascasarjana tidak hanya untuk meraih nilai yang bagus, tetapi berusaha memilih jurusan dan mata kuliah pilihan sesuai kebutuhan dan kekurangan pemahamannya selama kuliah sarjana dan kursus-kursus profesional.Â
Belajarnya juga sungguh-sungguh dan tidak mudah terlupakan sehingga bisa diaplikasikan di dunia kerja. Mengambil kuliah pascasarjana terlalu awal dan kemudian mulai mengerjakan pekerjaan entry level membuat ilmunya terlanjur terlupakan cukup banyak saat dibutuhkan, sebaliknya kuliah terlalu tua juga tidak optimal dan serasa formalitas demi merengkuh gelar.
Bahasa sederhananya, mereka yang kuliah pascasarjana di waktu yang matang memberikan pemahaman yang mudah dipahami dan efektif dilaksanakan secara teknis. Sebaliknya, bingung menentukan tindakan dengan begitu banyak hal dipelajari dan ujungnya bisa jadi bingung dengan "omon-omon"-nya sendiri.
Mencari tujuan dari pendidikan pascasarjana
Sejatinya, kuliah magister memberikan pembelajaran untuk teori dan pemecahan masalah yang lebih dalam dari bangku sarjana. Kuliah doktoral menuntun kemampuan untuk menemukan konsep baru yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan membagikannya secara akademik. Mereka yang tidak bekerja terkait riset dan analitik mungkin akan lebih tertarik berhenti di kuliah magister dan melanjutkan dengan pendidikan informal terkait kemampuan profesionalnya.
Bolehnya memilih jurusan tidak linear dengan program sarjana dan keberadaan kuliah jalur riset di jenjang magister menimbulkan kebingungan. Mereka yang masih berniat "kuliah kelas" dihadapkan pada pilihan. Pertama, memperdalam ilmu di jurusan yang sama karena mempelajarinya secara otodidak atau di kursus tidak kunjung paham, bisa juga karena kebutuhan gelar formal perkuliahan.Â
Kedua, kuliah di jurusan lain untuk memperluas wawasan dan menunjang wawasan di karirnya yang kurang komplit karena belum menguasai bidang tertentu. Konsekuensinya, tanpa mengulang sarjananya terlebih dulu membutuhkan usaha ekstra agar bisa memahami pendidikan magisternya atau lulus dengan gelar tetapi pemahamannya ya setengah-setengah. Kelompok kedua ini perlu diperhatikan dengan baik oleh lembaga pendidikan ketika nantinya merekrut mereka sebagai tenaga pendidik, sekalipun dosen tamu dari jalur praktisi.
Bagaimana dengan kuliah magister jalur riset? Jangankan di dunia kerja, saya merasakan perbedaan tingkat pemahaman mereka dengan lulusan jalur kelas karena sebagian besar pendidikan magisternya berfokus pada topik riset itu sendiri. Ditambah keberadaan universitas yang menerima calon mahasiswa doktoral hanya dengan modal ijazah sarjana asalkan berpengalaman menulis dan lulus skripsi sebagai produk penelitian, jalur ini menjadi ajang mencari gelar formalitas atau membuka pintu masuk ke pekerjaan terkait riset dengan durasi pendidikan lebih pendek.
UT paling mengerti, tetapi namanya UT
Dengan sebaran pekerja di seluruh Indonesia, jatah cuti yang tidak banyak, dan kemacetan lalu lintas yang kita tahu sendiri, perkuliahan jarak jauh pascasarjana disediakan oleh UT kecuali ujian datang ke kantor perwakilan terdekat. Soal biaya, relatif terjangkau jika tidak bisa dibilang teramat murah.Â
Masalahnya ya jika membutuhkan gelar dari universitas yang cukup ternama, karena nama UT itu sendiri. Universitas Terbuka, gitu kan? Mereka yang kuliah sarjana di universitas biasa saja inginnya kuliah pascasarjana di universitas yang tergolong naik kelas, bagaimana melirik UT?
Pemberi beasiswa swasta tentu punya maksud, tujuan, dan syaratnya sendiri, karena makan saja saat ini belum gratis apalagi biaya kuliah pascasarjana. Niat mendorong mahasiswa pascasarjana untuk kuliah dengan serius dan fokus juga tidak salah, tetapi saat ini belum sepenuhnya memadai di sini.Â
Agar kompetensi pekerja kita lebih baik, bisa bersaing dengan ekspatriat, dan kemudian memiliki kemampuan memadai menjadi pendidik dari jalur praktisi untuk membangun generasi penerus, tidak ada salahnya LPDP memberikan beasiswa kelas karyawan meskipun tidak penuh dan mempersyaratkan penerimanya kelak siap sedia menjadi pendidik tamu di akhir pekannya sekalipun jarak jauh. Daripada dananya "dipakai" oleh anak muda pelaku pelarian atau mereka yang kesulitan mencari kerja untuk kemudian "bersenang-senang" di luar negeri dan ujungnya belum tentu berkarya di bidangnya setelah pulang, kan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI