"Invasi" pempek ke seluruh negeri tidak terelakkan, demikian pula dengan dikenalnya Jembatan Ampera oleh anak-anak bangsa. Dalam kehidupan sehari-hari, anak Palembang ada di berbagai bagian kehidupan saya, mulai dari saudara, tetangga, sampai rekan kerja. Mereka masih rajin pulang kampung paling tidak setahun sekali, bahkan ada yang sampai membawa mobilnya dari Jakarta demi bisa nyaman bernostalgia dari destinasi ke destinasi.
Sayangnya, di antara para perantau ini, banyak yang masih berkutat pada pekerjaan entry level dengan taraf hidup pas-pasan di Jakarta. Hal ini mencengangkan ketika Palembang masuk dalam sepuluh besar kota dengan produk domestik regional bruto tertinggi. UMK memang lebih rendah sekitar dari kota dengan UMK tertinggi, tetapi biaya hidup rumah tangganya lebih rendah dengan persentase yang lebih besar dari kota termahal sehingga hidup di Palembang secara matematis sebenarnya menarik. Soal kompetensi,Â
Palembang sebenarnya sudah punya universitas yang cukup terpandang yaitu Universitas Sriwijaya (Unsri) untuk membangun kualitas generasi penerus daerah. Pamornya memang belum setinggi empat jawara universitas di Pulau Jawa (UI, ITB, UGM, dan IPB), tetapi ilmu yang diberikan seharusnya cukup untuk dikembangkan bersama pengalaman di dunia kerja.
Palembang adalah ibukota provinsi Sumatera Selatan dengan karakteristik berbeda dibandingkan terhadap kota-kota lain seprovinsinya. Kota lain bisa mengandalkan penjualan sumber daya alam dan pertanian, tetapi Palembang tidak punya modal sebanyak itu untuk bisa dikeruk dan dikembangkan.Â
Postur pajak daerah Palembang lebih mirip dibandingkan terhadap kota-kota besar dengan penyumbang terbesarnya berasal dari restoran, bumi dan bangunan, hotel, hiburan, dan parkir. Selain dari wisata, Palembang cukup beruntung punya beberapa produsen air mineral dalam kemasan yang berproduksi di sana dan menggeraklan perekonomian setempat.
Strategi Palembang yang sedikit banyak mengandalkan wisatawan dalam negeri untuk datang liburan menurut saya kurang jitu, banyak destinasi lain dengan situs peninggalan sejarah dan keindahan alam yang lebih menarik dan sudah dikenal luas. Apalagi jika mengandalkan wisata kuliner, variasi pempek tidak hanya hadir dari Palembang, pempek dan pindang sudah hadir di berbagai daerah, mie celor juga hanyalah salah satu variasi dari berbagai menu Nusantara berbasis mie. Palembang setidaknya punya transportasi publik LRT yang memampukannya selangkah di depan, tetapi perlu berhati-hati agar usahanya tidak menambah parah masalah banjir yang dihadapinya.
Memanfaatkan potensi yang sudah ada, pemerintah daerah dapat menggandeng pemodal untuk membangun ekosistem yang lebih luas terkait industri kain songket dan pengolahan emas produksi lahan Sumatera Selatan untuk menjadi perhiasan yang lebih bernilai tambah.Â
Pelatihan kompetensi kerja dapat membantu mereka yang belum berpendidikan tinggi dan saat ini berkesulitan terkait ekonomi untuk bergabung menjadi bagian dari pekerja industri. Pelaku UMKM diberikan pembekalan terkait kemampuan digitalisasi untuk menjual produknya dengan sasaran seluruh bangsa bahkan sampai ke luar negeri.
Palembang bisa melirik kesuksesan yang mirip dengan produsen emas UBS asal Surabaya, ibu kota provinsi Jawa Timur yang juga punya tambang emas. Kain songket Palembang yang menjadi salah satu warisan budaya tak benda Indonesia diharapkan tidak hanya diproduksi cukup banyak dengan penjualan yang laku, tetapi ditambahkan nilai tambahnya dengan mengolahnya terlebih dulu menjadi pakaian siap pakai dan jika memungkinkan melibatkan tangan-tangan desainer lokal Palembang.Â
Demikian pula dengan hilirisasi industri pangan agar sumber daya alam yang dihasilkan di Sumatera Selatan tidak perlu dikirim ke daerah lain dulu untuk dibeli kembali dengan harga akhir yang lebih mahal. Kerajinan Leker Palembang dalam bentuk pajangan diharapkan juga dapat menggeliat penjualannya tanpa harus menunggu wisatawan datang ke Palembang.
Mengurangi perginya uang warga Sumatera Selatan ke Jakarta atau malah ke luar negeri untuk urusan pendidikan dan berobat juga dapat menjadi potensi pendapatan yang menarik. Dana dari anggaran belanja daerah dan uang masuk dari pemodal dioptimalkan untuk berinvestasi sarana dan prasarana mulai dari rumah sakit dengan peralatan canggih nan memadai sampai sekolah dan universitas berfasilitas memadai, baik dengan membangun yang baru maupun memaksimalkan yang sudah ada.Â
Melibatkan lebih banyak pemodal swasta tentu membutuhkan insentif berupa kemudahan birokrasi, kepastian hukum setempat, dan pengurangan pajak selama periode tertentu, khususnya ketika mereka berhasil digerakkan untuk memanfaatkan sebanyak-banyaknya warga Palembang dan/atau lulusan universitas di Palembang sebagai tenaga kerjanya.
Pendapatan daerah Palembang yang diperoleh dari hasil usaha hilirisasi sumber daya alam dan mengurangi belanja warga dari Provinsi Sumatera Selatan sehingga uangnya tidak lari ke luar daerah atau luar negeri kemudian dioptimalkan untuk memperbaiki infrastruktur demi penanganan masalah banjir di kota ini dan merapikan lanskap demi kota yang lebih layak huni.Â
Bersama dengan pengembang properti, tempat tinggal dengan harga yang lebih terjangkau dan ukuran lebih luas dapat dibangun untuk menarik kembali warga Palembang dari luar daerah. Seiring era digitalisasi dan pembiasaan kerja jarak jauh sejak pandemi COVID-19, sebagian pekerja dapat bekerja dari mana saja sebagai digital nomad.Â
Daripada mereka membeli atau menyewa tempat tinggal di luar kota atau luar negeri, lebih baik uangnya ditarik kembali ke daerah asal untuk mendorong perputaran roda ekonomi daerah. Demikian pula dengan perusahaan yang memperoleh sebagian besar pendapatannya dari Sumatera Selatan dan tidak punya kegiatan berarti di Jakarta, kantor utamanya bisa dipindahkan kembali ke Palembang sebagai ibu kota provinsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H