Indonesia adalah negara kepulauan. Luasnya wilayah Indonesia membuat penggunaan kapal laut tidak mencukupi dan pesawat terbang lebih baik soal kecepatan. Mahalnya tiket penerbangan dari maskapai yang lebih dulu ada melahirkan keberadaan maskapai berbiaya rendah. Apakah maskapai ini biayanya benar-benar rendah?
Di satu sisi, Pemerintah memberlakukan rentang harga untuk mencegah tiket terlalu mahal sekaligus persaingan yang tidak sehat di industri maskapai penerbangan. Diatur saja, kita melihat ada saja maskapai yang tutup usia dari masa ke masa. Di sisi lain, hal ini menjadi salah satu faktor yang mengurangi selisih biaya tiket antara maskapai berbiaya rendah dengan maskapai berlayanan penuh seperti Garuda Indonesia dan Batik Air.
Penyebab maskapai berbiaya rendah belum memberikan tiket lebih murah secara signifikan
Sekalipun batas bawah harga tiket yang ditetapkan Pemerintah belum benar-benar murah, tidak selalu maskapai berbiaya rendah mematok harga mendekati itu. Faktor keekonomian dan keseimbangan permintaan-penawaran tetap menjadi pertimbangan utama maskapai.
Ketersediaan bandara kurang mendukung model bisnis maskapai berbiaya rendah
Di dunia Barat, maskapai berbiaya rendah lebih berfokus pada penerbangan domestik yang menjangkau bandara sekunder di lokasi. Bandara ini memiliki fasilitas yang lebih minim dan umumnya penerbangan internasional harus transit ke bandara utama, tetapi biayanya juga lebih murah. Lain halnya di Indonesia, kita cenderung memiliki satu bandara untuk melayani satu wilayah, paling menggunakan terminal yang lebih lama jika bandaranya punya lebih dari satu terminal. Fasilitas garbarata tidak digunakan, cukup tangga dan jika jarak parkir jauh ke terminal ya terpaksa menyewa shuttle bus.
Penghematan akan tetap ada, tetapi tidak maksimal. Ketika bandara ini semakin padat dengan runway yang tidak bertambah, pesawat berakhir mengantre dan menyisakan dua pilihan. Pertama, memperlebar jarak antarpenerbangan dan mengurangi intensitas penerbangan oleh satu armada. Kedua, delay beruntun yang mengurangi kepuasan pelanggan dan maskapai bisa terekspos pada risiko membayar ganti rugi.Â
Maskapai berbiaya rendah boleh dibilang bersaing ketat di rute-rute yang sama dengan maskapai berlayanan penuh, membuat keuangan perusahaan cukup tertekan untuk bisa meraih keuntungan yang optimal. Tingkat keterisian armada bisa jadi tidak optimal karena terlalu banyak penerbangan berkumpul di waktu yang sama ke destinasi yang sama. Mencari waktu yang berlainan bisa jadi mengurangi permintaan terhadap tiket penerbangan itu sendiri, apalagi jika waktunya terlalu pagi atau terlalu malam. Itupun jika bandaranya masih beroperasi ya.
Kurang kompetitifnya skala keekonomian dan terbatasnya tipe pesawat yang bisa dieksplorasi
Letak masalah berikutnya adalah skala keekonomian. Maskapai dengan marjin keuntungan lebih rendah bisa hidup bermodal pesawat yang lebih banyak, variasi tipenya minim, dan perputaran armada tinggi. Kecuali Citilink dan Lion Air yang didukung oleh keberadaan fasilitas pemeliharaan dan perbaikan armada milik grup usaha masing-masing, maskapai lain perlu menyamakan jenis armadanya dengan milik kedua grup ini. Belum lagi soal pilot, berbeda jenis armada akan menyulitkan pencarian pilot. Kita tahu bahwa grup Garuda Indonesia begitu besar. Menyewa dan membeli armada berpeluang mendapatkan diskon yang lebih besar, belum lagi sarana lainnya yang bisa digunakan bersamaan untuk banyak armada. Lawan tangguhnya tentu grup Lion Air, sisanya berarmada lebih sedikit sehingga kurang kompetitif di sini.
Para pemimpin pasar kompak memilih armada yang boleh dibilang paling ekonomis dan cocok memenuhi kebutuhan pasar saat ini. Andalannya adalah ATR untuk turboprop, Boeing 737 dan Airbus A320 untuk pesawat jet narrow-body, juga Airbus A330 untuk pesawat jet wide-body. Khusus Garuda Indonesia, mereka juga memiliki pesawat jet wide-body Boeing 777. Rute gemuk maupun rute yang lebih minim penumpang semuanya disasar dengan baik mengingat banyaknya armada dan keberadaan BUMN dengan tanggung jawab besar memenuhi kebutuhan masyarakat.
Tidak semudah dan selaku itu berjualan layanan dan mencari sampingan
Bukan rahasia maskapai mencoba berbagai macam cara untuk berjualan layanan agar biaya tiket bisa terjangkau. Misalnya, harga lebih tinggi untuk memesan kursi dengan posisi lebih menarik atau memastikan bisa duduk bersama teman seperjalanan. Pada kenyataannya, banyak penumpang tidak memesannya dan mencoba datang ke bandara lebih awal saat keberangkatan dengan harapan mendapatkan kursi sesuai harapan tanpa biaya. Jika tidak dapat juga tidak mengapa, penerbangan tidak begitu lama dan pemandangan jendela pun kini kalah dengan tidur atau mengakses gadget.
Strategi membeli bagasi secara terpisah juga dicoba. Sayangnya, para penumpang yang cukup banyak berasal dari kelompok backpacker malah ikut mengurangi barang bawaan agar muat ditaruh di laci atas kabin atau di bawah kursi. Akhirnya, menambah bagasi bisa menjadikan penerbangan maskapai berbiaya rendah malah lebih mahal dari maskapai berlayanan penuh. Berdagang makanan dan minuman juga dicoba, tetapi penumpang lebih siap dengan makan dan minum terlebih dahulu sebelum berangkat untuk kemudian cenderung berpuasa selama penerbangan agar tidak bolak-balik kamar mandi.
Dulu, jalan lain yang cukup menjanjikan adalah berjualan di atas udara. Maskapai jeli mencari barang yang harganya cukup mahal dibeli di pusat perbelanjaan untuk dijual dengan harga lebih murah, ya karena mereka membelinya secara grosir. Dulunya laku, sekarang toko online dan harga murahnya memukul sumber pendapatan yang satu ini. Apalagi beriklan melalui majalah di pesawat, sudah tidak dibaca dengan keberadaan gadget beserta bahan yang sudah disiapkan dari daratan atau tidur sekalian.
Terakhir adalah peluang bisnis kargo yang tidak digunakan oleh penumpang. Ya, ini memang menarik. Akan tetapi, para pemimpin pasar juga menggarapnya dengan baik melalui anak usaha yang berfokus di bidang itu bahkan sampai menjemput bola ke masyarakat.
Persaingan kenyamanan kursi
Maskapai berbiaya rendah dikenal mengurangi jarak antar kursi demi memaksimalkan kapasitas penumpang. Konsekuensinya tentu terletak pada keleluasaan kaki penumpang yang direnggut, tentu dengan biaya tiket yang lebih terjangkau. Masalahnya, penumpang jadi merasa tidak nyaman dan akhirnya rela membayar tiket lebih mahal ketika ada maskapai berbiaya rendah lain yang mampu menyediakan kursi selega maskapai berbiaya penuh.
Solusi menyelamatkan bisnis maskapai berbiaya rendah dan menjaga keterjangkauan tiket
Di tengah dunia yang terus berubah dan hari di kalender yang isinya tidak hanya hari Sabtu, Minggu, serta musim liburan, maskapai berbiaya rendah perlu memastikan operasional mereka seefisien mungkin tanpa mengorbankan kenyamanan dan keselamatan penumpang.
Memilih armada yang lebih kecil dan memaksimalkan daya tampung
Ketika skala bisnis belum sebesar pemimpin pasar dan perlu menyamakan seri armada, bukan berarti harus sama sampai ke variannya. Secara umum memang varian yang dipakai oleh pemimpin pasar lebih ekonomis, tetapi jika kursinya penuh. Maskapai boleh saja melirik varian dengan kursi lebih sedikit, misalnya Boeing 737-700 atau 737 MAX 7, juga Airbus A319, daripada membiarkan kursi kosong melompong. Jika memesan armada baru, mengurangi seat pitch perlu diiringi dengan desain kursi yang lebih ergonomis sedemikian rupa agar mengurangi dampak pada legroom.
Melakukan konsolidasi bisnis antarsesama maskapai berbiaya rendah
Biaya kantor pusat dan fasilitas pelatihan adalah contoh biaya tetap dan semivariabel dalam bisnis penerbangan yang dapat dibagi ke lebih banyak kursi jika ukuran bisnisnya lebih besar. Kursi-kursi kosong dapat dikurangi untuk penerbangan dengan rute sama dan waktu berdekatan selama kualitas layanannya sama. Belum lagi, di kala tidak ramai, dua penerbangan dengan armada lebih kecil dapat disatukan ke satu armada lebih besar untuk efisiensi sekaligus mengurangi kursi kosong, misalnya dua Boeing 737-700 disatukan ke dalam satu Boeing 737-900ER.
Hal ini dapat dilakukan jika pengusaha yang memiliki maskapai berbiaya rendah dengan ukuran lebih kecil mau bersatu dalam wadah yang sama agar punya skala bisnis yang lebih kompetitif terhadap pemimpin pasar. Menyatukan visi, misi, dan kepentingan yang berbeda pasti sulit, tetapi keadaan keuangan dapat menjadi lebih baik dan berkurangnya biaya yang tidak perlu akhirnya dapat menurunkan biaya tiket itu sendiri. Ditambah lagi, tentunya punya kekuatan lebih soal diskon beli atau sewa armada.
Nah, kalau sudah besar, selanjutnya maskapai bisa mengatur strategi berapa pesawat yang harus dibeli dan disewa. Unit tidak harus berada dalam kondisi baru, unit bekas yang masih layak dipakai, berusia muda, dan tidak rewel soal perawatan bisa jadi pilihan. Maskapai punya kekuatan lebih menyesuaikan armadanya agar fiturnya berfokus pada keamanan dan keselamatan, mudah dan murah dalam pengadaan dan perawatannya, serta bisa mengorbankan aspek estetika dan kenyamanan yang tidak penting-penting amat. Dengan demikian, modal yang sama bisa mengadakan lebih banyak armada dan penerbangan.
Tidak asal menyasar tujuan gemuk dan berkolaborasi dengan industri terkait
Analisis perbandingan antara permintaan dan penawaran perlu terus dilakukan oleh maskapai agar bisa berfokus masuk ke pasar dengan permintaan yang jika tidak lebih besar, setidaknya penawarannya masih belum berlebih secara signifikan. Masuk dengan intensitas terbatas pada hari dan jam tertentu saja tidak masalah daripada melahirkan kursi-kursi kosong. Hal ini bisa memaksimalkan keuntungan dibandingkan terhadap terlalu berfokus pada destinasi ramai nan terkenal.
Rute internasional ke destinasi dengan bandara sekunder atau kota yang tetap menjanjikan secara bisnis meskipun tidak seramai kota utama juga dapat dipertimbangkan. Bersamaan dengan strategi ini, komunikasi dengan penyelenggara jasa tur dimungkinkan untuk mempercepat keterisian kursi jika dibandingkan terhadap mengharapkan satu persatu penumpang individu. Sekali lagi, untuk bandara dengan lebih dari satu terminal, maskapai perlu memaksimalkan penggunaan terminal yang lebih murah biayanya.
Maskapai juga dapat mempelajari pola transit yang banyak dilakukan penumpang selama ini. Jangan-jangan masih ada dua destinasi gemuk yang selama ini banyak diterbangi, tetapi belum terhubung langsung karena polanya selalu transit di destinasi gemuk lain. Sekali lagi, rute bisa disediakan di hari dan jam tertentu saja, bahkan jika perlu menjadi alternatif di jam yang kurang ideal selama ada permintaan dan bisa membuat harga tiket menjadi lebih murah.
Menyediakan layanan dan mencari sumber pendapatan lain yang masih bisa diharapkan
Soal bagasi tercatat, saat ini maskapai kita banyak memberikan jatah yang cukup banyak secara gratis. Pasalnya, ketika dipisahkan harga tiket jadi kurang menarik. Ini semua terjadi ketika ukuran bagasi tambahan sudah dipaket, terkadang masuk paket ini kekurangan tetapi paket berikutnya sangat berlebih. Memberikan hanya bagasi kabin secara gratis dan kemudian memesan jatah bagasi tercatat secara kiloan bisa dianalisis untuk memberikan kemungkinan harga tiket lebih terjangkau, sedangkan sisa kapasitasnya bisa digunakan untuk bisnis kargo atau bahan bakar yang dibawa bisa dikurangi. Jika perlu, jatah bagasi kabin gratis bisa dikurangi (misalnya 5 kg atau satu bawaan per orang) dan sisanya (misalnya bawaan berikutnya atau tambahan berat, selama ) tetap bisa dibawa ke kabin sampai batas tertentu dengan menambah biaya.
Ketika menempatkan iklan sebagai livery pesawat membutuhkan waktu untuk memasang dan mencopotnya, maskapai bisa menjajaki kemungkinan iklan di file konfirmasi tiket, tercetak di boarding pass dan tag bagasi tercatat, sampai disiarkan melalui radio pengumuman di pesawat atau menggantikan musik yang diputar pada waktu tertentu sepanjang penerbangan. Fleksibilitas refund dan reschedule bukan karena force majeure juga dapat dijadikan fitur opsional berbayar. Utilisasinya mungkin lebih baik dari pemilihan kursi berbayar, sekaligus mendatangkan peluang pendapatan dari mereka yang tidak membeli fitur dan kemudian batal menaiki penerbangan itu.
Efisiensi dan efektivitas, keterisian penumpang, modularisasi fitur semaksimal mungkin, serta kolaborasi dengan industri pariwisata dapat membantu maskapai berbiaya rendah menurunkan harga tiket semakin dekat ke batas bawah. Kreativitas mencari rute, baik dengan menggabungkan dua destinasi gemuk yang belum terhubung secara langsung maupun mencari destinasi yang belum banyak diterbangi, bisa mendatangkan sumber pendapatan yang menjanjikan. Industri tetap lestari, masyarakat bisa mendapatkan biaya transportasi yang lebih murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H