Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Semakin Depan Mata, Bahagia Tanpa Punya Apa-Apa, Bisa?

19 Januari 2024   12:47 Diperbarui: 19 Januari 2024   13:06 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prediksi WEF delapan tahun lalu. Gambar: Facebook / CENIN

Delapan tahun berlalu, salah satu prediksi World Economic Forum (WEF) di tahun 2030 tentang kebahagiaan di tengah tidak punya apa-apa terasa semakin mengancam. Di Tanah Air sendiri, gaji di bawah UMR, biaya pengeluaran rumah tangga rata-rata yang jauh melampaui UMR, mencari uang semakin sulit untuk berbagai kalangan, fenomena "makan tabungan", pajak industri tertentu naik sampai lebih dari setengah. Menghadapi ekonomi global yang juga tidak baik-baik, siapkah kita bertahan bersama siapapun pemimpin bangsa nanti?

Ida Auken, anggota parlemen Denmark saat itu yang pertama kali menulis esai terkait, sebenarnya berada dalam konteks sharing economy dan perkembangan teknologi. Robot dan kecerdasan buatan membantu hidup manusia menjadi lebih seimbang, manusia tidak membeli berbagai hal seperti sekarang dan merawatnya karena cukup menyewa dari penyedia layanan atau mengandalkan fasilitas umum, sehingga hidup berfokus pada aktivitas dengan konsekuensi pada berkurangnya privasi. Seiring melemahnya perekonomian dan pandemi COVID-19, isu ini berubah konteks menjadi ancaman The Great Reset alias kembali ke dasar di mana sebagian besar orang tidak punya apa-apa dan Pemerintah serta sedikit pengusaha "menyediakan" segala sesuatunya.

Harus disadari, semakin banyak manusia yang hidup berarti persaingan semakin keras. Kemajuan peradaban yang tergolong cukup matang mengurangi nilai dan kebutuhan atas inovasi dengan pertumbuhan kuantitas dan kualitas permintaan yang tidak sebanding dengan sisi penawaran. Otomatisasi dan kecerdasan buatan mengurangi kebutuhan tenaga kerja ketika lulusan pendidikan terus bertambah sehingga gelar akademik dan sertifikat profesional berkurang nilainya. Ya, kita lihat saja banyak sarjana bergaji tidak lebih baik dari UMR kecuali jika lulus dengan prestasi sangat mengesankan dan berasal dari program studi yang sedang hype.

Perang harga yang ketat dan perilaku konsumen yang sensitif terhadap harga menyebabkan pengusaha kecil sulit bertahan dan industri dikuasai pihak yang itu-itu saja. Bahkan modal jumbo dan pengelola cerdas pun tidak cukup kuat mempertahankan mereka di sektor tertentu jika konsumennya setia untuk hanya membeli dengan potongan harga signifikan. Kita bisa lihat berapa banyak startup di Indonesia dan dunia yang sudah gulung tikar gara-gara persoalan ini, ketika sisanya masih bertahan dengan kerugian yang terus menumpuk.

Dengan diskon sedemikian rupa dan usaha ekstra keras untuk mengelola uang, fenomena "makan tabungan" tetap sulit dihindari ketika biaya hidup rata-rata jauh di atas UMR. Misalnya Jakarta, UMR Rp5 jutaan ketika satu keluarga membutuhkan Rp15 jutaan. Mencari sampingan untuk menutupi sisanya sulit, gali lubang tutup lubang dengan bergantung pada pinjaman seumur hidup pun berat ketika pokok utang dengan cepat bertambah dan bunganya sudah terasa besar.

Pada kenyataannya, banyak keluarga dengan pendapatan di bawah UMR, sekalipun pencari nafkahnya lebih dari satu, tetap bisa menjalani hidup dari hari ke hari. Tanpa tempat tinggal, banyak di antara mereka menduduki tanah-tanah yang seharusnya milik negara baik untuk membangun rumahnya sendiri atau menyewa kontrakan murah dengan konsekuensi siap-siap digusur. Gagal mendapatkan bangku sekolah dan perguruan tinggi negeri yang gratis, sekolah dan kampus swasta "gurem" jadi solusi demi biaya murah bahkan banyak anak tidak menamatkannya dan langsung bekerja. Makan juga seadanya dan kekurangan gizi tidak terhindarkan, tidak jarang isu stunting dibawa-bawa dalam kampanye Pemilu. Hampir bisa dipastikan sebagian besar generasi penerus yang lahir dari kondisi ini juga menjadi kaum "di bawah UMR".

Di sisi lain, mereka yang "beruntung" juga mengalami pergeseran cara berpikir. Budaya menabung dan berinvestasi, bahkan tujuh belas tahun lalu banyak motivator mengajarkan untuk membeli rumah sebanyak jumlah anak dan mempersiapkan dana pensiun, berubah menjadi menikmati hidup karena you only live once. Nongkrong cantik di kafe Instagrammable, tampil modis dengan produk fesyen dan gadget terbaru, sampai bolak-balik plesiran ke luar kota dan luar negeri dengan uang yang sekadar "numpang lewat". Ekonomi memang berputar, tetapi ujungnya tidak memiliki apa-apa.

Kurang bersahabatnya iklim investasi turut berandil. Investasi bodong, gagal bayar asuransi, praktek penggorengan harga saham secara tidak wajar dan tidak sesuai performa emiten, sampai imbal hasil surat berharga yang kurang baik dan tidak menentu tentu menurunkan minat berinvestasi. Properti? Khususnya membeli apartemen dan rumah baru, merawatnya membutuhkan biaya, harganya mahal, dan tidak jarang sulit dijual kembali dengan kerugian yang tidak sedikit. Bunga KPR di beberapa bank yang terlampau tinggi juga menimbulkan kesan menyewa tempat tinggal lebih murah daripada memilikinya, apalagi di daerah dengan melimpahnya properti kosong.

Signifikannya keyakinan bahwa manusia bisa hidup lebih dari satu abad meningkatkan kesadaran atas dana pensiun. Ilustrasi: dokpri
Signifikannya keyakinan bahwa manusia bisa hidup lebih dari satu abad meningkatkan kesadaran atas dana pensiun. Ilustrasi: dokpri

Seorang sepuh bilang, seseorang baru bisa benar-benar sejahtera dan itupun masih dalam kesederhanaan jika gaji bersihnya mencapai Rp30 juta per bulan. Bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri dan membiayai orang tua, sekaligus menabung pensiun agar anaknya tidak kelak menjadi generasi sandwich. Selama gaji dan imbal hasil investasi bisa selalu mengikuti kenaikan biaya hidup, seseorang dengan gaji sebesar ini seharusnya bisa menabung biaya hidup setara berapa lama dia mendapatkannya. Jika beruntung langsung sejak lulus dan pensiun di usia 65 tahun, amanlah hidup sampai usia 107 tahun tetapi harus dengan perjuangan ekstra keras, jangan sampai hal tidak diinginkan terjadi, dan tetap sulit ketika hidup ternyata bertahan lebih dari umur tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun