Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pandemi Sudah Berakhir, Ekonomi Semakin Sulit, Saatnya Susun Siasat

11 November 2023   13:30 Diperbarui: 12 November 2023   20:54 1065
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi COVID-19 berakhir, pembatasan sosial berakhir, hidup kembali seperti semula. Diawali dengan segenap harapan akan bangkit menjadi lebih baik dari sesaat sebelum pandemi, kini justru malah semakin menjerit. Jeritan ini tidak lagi sebatas kata-kata, tetapi mulai terlihat secara jelas dalam kehidupan sehari-hari.

Media massa beberapa kali mencatat bahwa pejabat negeri ini merasa dunia sedang tidak baik-baik saja. Perlambatan ekonomi global dengan beberapa negara sudah menyentuh titik krisis memang terjadi. Ketidakharmonisan antarnegara tertentu, fluktuasi harga bahan bakar minyak, perubahan iklim yang mengganggu produksi beberapa komoditas pertanian dan perkebunan, semakin kuatnya mata uang Dolar Amerika, sampai persaingan yang semakin ketat serta semakin keras membuat hidup terasa lebih sulit. Akan tetapi, selama ini kita selalu merasa bahwa Tanah Air kita lebih kuat dan tidak perlu terlalu khawatir.

Semakin ke sini, akhirnya kita harus mengakui bahwa dampak perlambatan itu sudah terasa dalam kehidupan kita sekarang. Tidak hanya di satu tempat dan menurut satu orang, tetapi perlambatan itu dirasakan banyak orang khususnya selama dua bulan terakhir. Jalan utama tetap padat seperti biasanya dipenuhi kendaraan yang mengantar para pekerja dan anak sekolah pergi dan pulang, tetapi selebihnya menyepi.

Di akhir pekan, kemacetan semakin hari semakin berkurang. Bukan karena transportasi publik atau manajemen lalu lintas yang membaik, melainkan memang pusat perbelanjaan dan kuliner menyepi tanpa mengenal tanggal muda maupun tua. Berbagai jurus promosi dan diskon sudah dilancarkan, kemudahan terkait pesan antar juga difasilitasi. Akan tetapi, tetap saja permintaan sulit didongkrak dan memberatkan para pengusaha di belakangnya.

Jika kita mengira bahwa menggilanya polusi udara menjadi biang keladi, bukan berarti masyarakat serta merta beralih ke dunia online. E-commerce sampai layanan food delivery jor-joran menggelontorkan kupon diskon dan gratis ongkos kirim untuk menarik minat konsumen. Tanpa ini semua, konsumen akan merasa bahwa segala yang dijual, belum lagi biaya terkait, adalah mahal dan sulit dijangkau.

Saya berpikir bahwa segmen yang selama ini mendambakan hal-hal nyaman nan elit akhirnya mau memijakkan kaki di pasar tradisional dan warteg, ya demi menghemat pengeluaran. Kekagetan terjadi ketika melihat pasar pun sepi sampai beberapa kios memilih tutup karena pendapatan tidak lagi memadai untuk menghadapi biaya operasional.

Kios lain yang masih buka harus menatap begitu banyaknya barang dagangan yang tidak laku dan akhirnya rusak, padahal intensitas berbelanja dari pasar induk sudah dikurangi dan barang yang distok juga dikurangi. Demikian pula dengan warteg, pedagang harus pandai menyiasati menu dan porsi yang disajikan agar sesuai dengan kantong konsumen dan tidak berujung tidak laku.

Pedagang pun pusing bagaimana menutupi biaya hidup sehari-hari dan akhirnya harga barang terpaksa dikatrol secara signifikan. Jelas, kondisi ini tidak terefleksikan sepenuhnya dalam perhitungan inflasi oleh Pemerintah. Dan yang lebih bingungnya lagi, bagaimana masyarakat memenuhi kebutuhan hidup terutama soal pangan yang menjadi kebutuhan pokok?

Ada beberapa fakta menarik yang kami temukan. Pertama, bahan baku pangan yang tahan lama dan murah menjadi incaran sehingga pengeluaran tetap terkendali dan tidak perlu sering berbelanja. Misalnya, konsumsi mie instan dan telur ditingkatkan. Agar tidak bosan, dilakukanlah kreasi pada nasi, mie instan, dan telur itu. Misalnya, nasi putih, nasi uduk, nasi kuning, nasi goreng, telur dadar, telur ceplok, telur rebus, mie goreng biasa, mie goreng rasa rendang, mie kuah rasa soto, ya begitulah.

Kedua, pola hidup diperbaiki ketika ada diskon besar-besaran. Diskon pesan antar makanan yang sangat besar tidak akan disia-siakan untuk beralih ke makanan yang bergizi, meskipun itu hanya sesekali. Demikian pula dengan diskon besar belanjaan, saat itulah kebutuhan akan dibeli. Selebihnya, hidup berusaha dipertahankan meskipun dengan kebutuhan yang tidak tercukupi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun