Belum lama ini, kita baru bangga bahwa sistem pembayaran QRIS bisa digunakan bersama di beberapa negara ASEAN. Emirates si maskapai mewah juga untuk pertama kalinya mendaratkan pesawat penumpang terbesar di dunia (A380) secara komersil di Tanah Air, tepatnya di Pulau Dewata di Bali. Sekarang, kita malah menghapus ketentuan bebas visa ke hampir semua negara di dunia?
Dari daftar lebih dari seratus negara yang dicabut privilege bebas visanya, tersemat beberapa negara maju di dalamnya dan jika dilihat-lihat kini kita memberikan bebas visa hanya ke tetangga di ASEAN. Warganet yang tidak mempelajari situasi ini secara detail terbagi ke dalam kubu pro dan kontra. Pro, bagi mereka yang melihat "bule-bule kere" dengan masalah sosial dan kriminalitas yang tumbuh di Tanah Air. Kontra, bagi mereka yang mengkhawatirkan semakin sulitnya pemberian visa bagi WNI mengunjungi negara-negara elit sekaligus turunnya potensi pariwisata Indonesia.
Setelah dibaca kembali, sesungguhnya kita hanya mewajibkan mereka untuk mengurus Visa on Arrival (VoA) seharga Rp500 ribu. Selama memiliki tiket untuk pulang atau meneruskan perjalanan ke negara lain, pokoknya keluar dari Indonesia, seharusnya tidak ada masalah untuk mendapatkannya dan visa ini bisa diurus setelah tiba di Tanah Air alias tidak perlu diurus jauh hari. Menteri Pariwisata Pak Sandi berpikir untuk menaikkan tarifnya hingga tiga kali lipat demi memastikan wisatawan yang datang ke sini berkualitas, ya paling tidak bukan malah membuat masalah di sini.
Salah satu versi VoA, yaitu e-VoA membebankan syarat yang sedikit lebih detail. Paspor masih aktif dengan durasi lebih dari enam bulan, kepemilikan pas foto digital, kartu kredit berjaringan internasional yang aktif, dan alamat email aktif, menjadi modal mendapatkan izin tinggal selama 30 hari yang masih bisa diperpanjang sebanyak satu kali. Jika dipikir-pikir, syarat seperti ini masih terasa kurang adil ketika dibandingkan terhadap masyakarat kita yang hendak melancong.
Mengutip dari VFS Global, pengguna paspor biasa yang hendak berkunjung ke negeri Doraemon perlu mengirimkan mutasi rekening bank selama tiga bulan terakhir dan itinerary lengkap sebagai panduan berlibur yang jelas. Berlibur ke daerah tertentu malah mewajibkan wisatawan untuk memiliki konfirmasi pemesanan kamar hotel jika bermalam. Biaya visanya kurang lebih sama dengan VoA Indonesia dan malah bisa berlibur di sana hingga 90 hari.
Berkunjung ke Jerman dan negara Schengen lainnya lebih merepotkan. Kita juga harus memiliki asuransi perjalanan dari perusahaan yang disetujui dengan limit cukup besar, bukti status pekerjaan dengan informasi pendapatan, sampai surat persetujuan cuti jika kita adalah karyawan. Beberapa negara lainnya malah mungkin meminta kita untuk melakukan medical check up sebagai salah satu syarat pengajuan visa.
Intinya, negara-negara tetangga yang memberlakukan syarat visa punya misi sama, memastikan wisatawan berkualitas yang tidak malah menjadi beban di negaranya. Mereka punya syarat yang lebih jelas dan konkret, meskipun tidak menjamin tidak ada wisatawan yang malah bekerja secara ilegal atau lebih buruknya lagi jadi gelandangan. Sangat berbeda dengan syarat yang kita terapkan, terkesan lebih leluasa dan menyediakan banyak celah.
Saldo tabungan dan analisis transaksi keuangan mungkin memang tergolong privasi, tetapi ini lebih menjamin kemampuan finansial wisatawan dibandingkan terhadap kartu "utang" yang tidak diketahui berapa batasannya. Kewajiban memiliki itinerary dan kamar penginapan yang sudah tersewa juga terkesan kurang fleksibel bagi backpackers dengan gaya wisata impromtu, tetapi memastikan mereka bisa membayar biaya berobat dan paling buruknya evakuasi medis ke negara asal ketika sakit itu penting dengan proteksi asuransi wisata.
Kita mengerti bahwa kunjungan wisatawan yang berlebihan dapat menyebabkan overeksploitasi destinasi wisatawan dan berujung pada rusaknya alam kita sendiri. Kita juga tentu lebih memilih pendapatan negara naik dari uang wisatawan asing daripada pajak dinaikkan di sana-sini. Masalahnya, ketika visa kita menjadi terlalu mahal dibandingkan terhadap negara yang lebih maju dan menarik, kerugian akan datang dengan menurunnya pendapatan warga lokal di destinasi wisata.