Kehidupan sehari-hari senantiasa erat dengan keberadaan berita. Sebagai makhluk sosial yang hidup di era globalisasi dengan modernnya teknologi informasi, hal sekecil apapun dalam hidup kita seringkali berhubungan erat dengan apa yang terjadi terhadap orang lain. Berita membuat kita bisa menilai dampak kejadian tersebut dan memiliki waktu untuk berpikir dengan bijak sebelum mengambil tindakan.
Sekalipun suatu kejadian tidak memiliki dampak dalam hidup kita saat ini pemberitaannya tetap penting sebagai bahan pembelajaran. Kita jadi tahu apa yang harus dan tidak boleh dilakukan ketika suatu saat kejadian yang serupa terulang dan kali itu berdampak pada hidup kita.Â
Oleh karena itu, sejak kecil kita belajar di sekolah tentang bagaimana cara memahami berita dan ilmu tersebut terus digunakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun bekerja dan berwirausaha.
Mendapatkan berita bisa dilakukan dengan berbagai cara. Dulu kita banyak membaca koran setiap pagi ditemani secangkir kopi, kemudian kita mengenal radio dan televisi yang memungkinkan kita mendapatkan berita sambil mengerjakan hal lainnya.Â
Keterbatasan ruang membuat berita yang muncul seringkali menghadapi jeda waktu dan cenderung sedikit karena perlu dipilih skala prioritasnya oleh redaksi.
Kemajuan internet yang sedemikian pesat membuat sekian banyak berita tersebar dengan cepatnya dan bisa diakses dengan mudah termasuk melalui media sosial.Â
Sumber berita yang sebelumnya berasal dari hasil kerja jurnalis media massa dan kabar masyarakat yang dibagikan oleh media massa kini bertambah dengan keberadaan kabar masyarakat yang langsung dibagikan sendiri.Â
Tidaklah mengherankan jika kecepatan transmisi berita melalui kanal yang bernama citizen journalism ini membuat masyarakat kita lebih suka mengakses berita melalui media sosial.
Di Tanah Air, 68 persen masyarakat mengakses berita melalui media sosial berdasarkan survei Reuters dan menjadikannya sebagai sumber berita terfavorit.Â
WhatsApp menjadi media dengan pengguna terbanyak yaitu 54 persen masyarakat dan hal ini tidaklah mengherankan mengingat 83 persen masyarakat mengakses berita dengan smartphone. Hal ini cukup sejalan terhadap tren global di mana 57 persen masyarakat dunia memanfaatkan media sosial untuk mengakses berita dan 72 persen masyarakat memilih ponsel sebagai perangkat untuk melakukan akses.
Akan tetapi, keberadaan media sosial sebagai sumber berita bukannya tidak memiliki kelemahan. Ketika media massa harus mengikuti etika jurnalistik dan hukum pers sedemikian rupa melalui proses kurasi yang teliti, unggahan media sosial bisa langsung tayang begitu saja dan pengawasan baru dilakukan setelahnya, termasuk verifikasi independen dan pemberian label hoaks. Hal ini membuka peluang untuk kemunculan hoaks alias berita palsu.
Hoaks bisa disebarkan oleh individu atas idealismenya sendiri, bisa juga oleh kelompok pencari uang atas pesanan pihak lain. Motifnya beragam dan salah satu topik yang cukup dominan adalah politik. Manusia dan robot menyebarkan hoaks tersebut dalam balutan yang menarik perhatian dan mengundang pihak lain untuk menyebarluaskannya, termasuk kaum idealis.
Penting bagi kita untuk mencari berita dari sumber yang terpercaya, yaitu media massa yang mengikuti hukum pers. Media massa tersebut haruslah berimbang dan objektif sehingga berita yang ditulis benar-benar berdasarkan data dan fakta.Â
Detil publikasi harus sesuai dan media harus yakin sehingga tidak menggantinya setelah berita tayang. Akan lebih baik jika media massa tidak hanya menerbitkan berita sebatas informasi, tetapi juga menggunakan konsep jurnalisme solusi dengan tidak memperkeruh suasana dan justru memberikan kritik yang membangun. Hal inilah yang dianut oleh Inilah.com ketika reborn setahun lalu.
Jangan mudah menyebarkan suatu berita, apalagi jika berasal dari sumber yang kurang terpercaya dan kita juga tidak meyakini kebenarannya. Lebih baik lagi jika sekalipun berita tersebut berasal dari media massa, kita tetap melakukan verifikasi atas kebenaran kejadian yang diberitakan.Â
Menyebarkan berita palsu adalah tindakan melanggar hukum dan jika kita tidak sengaja melakukannya, kita tetap harus bertanggung jawab. Kita bukan lari dengan menghapusnya, tetapi meminta maaf, melakukan klarifikasi, dan menghubungi orang yang turut menyebarkannya.Â
Sebaliknya, kita tidak perlu ragu untuk membantu mencerdaskan masyarakat dengan berani menyuarakan temuan kita terhadap suatu berita yang sudah kita verifikasi bahwa itu adalah palsu. Ketika kita mengalami masalah dengan pihak lain, selesaikanlah baik-baik antarpihak. Jangan sampai kekesalan kita memicu tindakan untuk menjatuhkannya dengan menyebarkan berita palsu.
Mari kita berjuang untuk merdeka dari berita palsu. Dengan demikian, kualitas informasi akan membaik sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap akurasi dan independensi informasi bisa meningkat.Â
Akhirnya tujuan mulia dari berita untuk memberi manfaat dalam bentuk edukasi tercipta, bukan justru menimbulkan kesesatan dan kekeliruan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H