Dalam dua bulan terakhir, kasus baru COVID-19 di Indonesia melonjak cukup signifikan. Setelah trennya terus menurun sampai menjelang akhir tahun kemarin dan hidup menjadi lebih "bebas", sebenarnya lonjakan ini bukanlah sesuatu yang mengagetkan apalagi dengan hadirnya varian Omicron yang telah lebih dulu sukses memporakporandakan negara-negara tetangga. Jika demikian, apa yang salah dalam mencegah hal serupa terjadi kepada kita?
Tahun ini menjadi tahun ketiga di mana kita harus berjibaku dengan segala ketidakpastian akibat pandemi. Rasa jenuh dan cemas membayangi hari-hari, kita bisa melihat berbagai konten di media sosial bahwa tertular virus ini menimbulkan stres karena harus diisolasi beberapa hari bahkan bisa saja dilarikan ke rumah sakit jika efek sampingnya berat. Meskipun demikian, ada pula yang merasa bahwa virus COVID-19 saat ini sudah jauh lebih jinak dengan kesembuhan lebih cepat dan gejala tidak lebih dari batuk pilek biasa.
Belajar dari pengalaman para survivor menjadi penting dalam mengurangi risiko penularan virus COVID-19. Di sisi lain, hidup memang harus terus berjalan dan kita perlu pandai-pandai menyiasati keadaan agar semuanya baik-baik saja.
Bersyukurlah dan berusaha bertahan jika mendapatkan rezeki untuk beraktivitas dari rumah
Beraktivitas dari rumah itu memang menantang. Koneksi internet yang seringkali naik turun kecepatannya, keterbatasan sarana untuk berdiskusi (apalagi tanpa digunakannya perangkat pintar dengan stylus pen), dan berbagai gangguan yang terjadi di rumah sedikit banyak membuat produktivitas diri terkompromi dan jam kerja menjadi lebih panjang. Belum lagi, duduk seharian di rumah dalam suasana sepi tanpa bertemu rekan-rekan secara fisik itu memang menimbulkan kejenuhan, apalagi jika suasana rumah sebenarnya memang kurang ideal (alias hanya cocok untuk beristirahat).
Anak usia sekolah memutuskan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka (PTM) ketika sekolah sebenarnya masih mengizinkan pembelajaran online, tentunya karena selama ini tidak memahami materi yang diajarkan. Sesampainya di sekolah, hampir seluruh teman-teman tetap di rumah dan guru memutuskan untuk menayangkan materi yang sudah dipersiapkan di laptop-nya (sekaligus membagikan kepada mereka yang di rumah), bukan menggunakan papan tulis. Ditambah lagi, keesokan harinya sesama siswa yang mengikuti PTM memberitahu bahwa dirinya tertular COVID-19. Pemahaman tidak membaik, malah risiko tertular virusnya meningkat kan?
Demikian pula dengan pekerja yang malah ingin WFO karena melihat "kenikmatan" teman-temannya di kantor lain. Sesampainya di kantor, sebagian besar orang yang biasa berhubungan dengannya tetap bekerja dari rumah sehingga ujung-ujungnya diskusi tetap berjalan online.
Kondisi saat ini yang belum menentu membuat kita lebih baik untuk bertahan sesulit apapun tantangan yang harus dilalui. Tentu harus bersyukur jika kita bisa beraktivitas sepenuhnya dari rumah dan lebih baik berjibaku dengan segala ketidaknyamannya dibandingkan terhadap tertular COVID-19. Mengeluarkan sedikit modal tambahan untuk meningkatkan kenyamanan dan produktivitas sah-sah saja selama mampu, lagipula kita juga sudah berhemat dari biaya transportasi dan makan di luar. Misalnya, jika tidak tahan dengan meeting seharian dan pekerjaan jadi terganggu, bisa membeli satu monitor tambahan kan khusus untuk melihat materi meeting dan monitor utama tetap digunakan untuk bekerja?
Ingatlah bahwa belanja online itu masih ada dan hindari COD
Meskipun sudah beraktivitas dari rumah, tidak sedikit di antara mereka yang tetap terinfeksi COVID-19. Setelah ditelusuri riwayat perjalanan dan kontaknya, ternyata mereka tertular karena berbelanja secara offline khususnya di pusat perbelanjaan yang ramai. Tak jarang barang yang dibeli itu bukan merupakan kebutuhan yang mendesak, melainkan keinginan yang sebenarnya membagongkan. Misalnya, ingin membeli pakaian kerja baru karena bosan dengan motif yang lama ketika perusahaan sebenarnya masih memberlakukan kerja dari rumah secara penuh, untuk apa ya?
Jadi, tentu lebih baik jika kita memprioritaskan terlebih dahulu untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan sebisa mungkin peroleh secara online untuk membatasi aktivitas di luar rumah. Hindari juga penggunaan metode pembayaran cash on delivery (COD) agar tidak terjadi kontak antara kurir dengan kita sebagai penerima. Barang yang masih berstatus "diinginkan" saja bisa dikesampingkan terlebih dahulu, apalagi jika terdapat hal-hal rinci yang perlu kita lihat secara fisik.
Khususnya untuk ibu-ibu, salah seorang rekan berpesan agar tidak perlu terlalu bawel dengan sayur dan buah-buahan yang dibeli. Selama masih layak untuk dikonsumsi, kejelekan minor seperti jeruk yang sedikit kurang manis atau pisang yang sedikit terlalu keras tidak perlu diperdebatkan alias jangan terlalu memilih. Serahkan saja kepercayaan kita kepada mereka yang mengurus pesanan kita sampai akhirnya tiba di rumah. Apalagi jika kita pergi ke pasar semata-mata karena ingin menawar harga, itu memang seru tetapi risiko saat ini kurang sebanding terhadap penghematan yang kita dapatkan.
Jika terpaksa keluar rumah, jangan berlama-lama dan patuhi protokol kesehatan
Mereka yang diharuskan WFO, berobat secara fisik karena tidak tertangani oleh telemedicine, memperbaiki barang yang rusak dan dibutuhkan mendesak, dan semua kebutuhan lain yang mau tidak mau keluar rumah itu sifatnya terpaksa. Jika bisa melindungi diri, tentu siapa juga yang mau mencari penyakit. Akan tetapi, keterpaksaan ini lama-lama menjadi kesombongan bagi sebagian orang ketika mereka tidak pernah terdeteksi positif COVID-19.
Mereka berani menghabiskan waktu lebih lama di luar rumah sekalipun tidak diperlukan. Pulang kerja masih menyempatkan diri untuk duduk-duduk di kafe, lampu di rumah mati tetapi ke mall sekalian lihat-lihat baju, sesampainya di rumah santai-santai langsung beraktivitas tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Ujung-ujungnya, sekalipun mereka adalah gelombang awal penerima vaksin booster, tidak terhindarkan pula dari infeksi COVID-19.
Dari sini, kita belajar untuk tidak berlama-lama di luar rumah dan seperlunya saja, apalagi kalau sudah berurusan dengan keramaian. Kita tidak perlu memiliki ketakutan yang berlebihan selama tetap menaati protokol kesehatan, senantiasa menjaga jarak, menggunakan masker, dan membawa hand sanitizer untuk membersihkan tangan setelah menyentuh barang yang bukan milik sendiri. Jika terpaksa makan di luar, habiskan dengan cepat, bukan santai-santai sambil mengobrol dengan melepas masker, dan sebenarnya akan lebih baik jika bisa delivery atau take away. Setelah pulang ke rumah, langsung bersihkan diri dan ganti pakaian.
Oh iya, hal ini juga berlaku ya untuk urusan berlibur ke luar kota dan luar negeri, tidak usah dulu dilakukan. Jangan mudah kepincut dengan tarif perjalanan dan penginapan yang lebih murah dibandingkan terhadap masa sebelum pandemi khususnya soal liburan ke luar negeri, ingatlah biaya yang harus dikeluarkan untuk karantina setelah pulang ke Tanah Air. Yang pasti, jangan sampai kita menjadi pembawa masuk virus dari tempat lain ke lingkungan di sekitar kita.
Bukannya sombong, tetapi silaturahmi fisik dengan keluarga dan teman-teman itu bisa dihindari dulu
Pengalaman menunjukkan bahwa kasus baru COVID-19 melonjak seiring momen yang identik dengan silaturahmi fisik, misalnya Tahun Baru Imlek dan Lebaran. Menjaga jarak sudah sulit dilakukan ketika sebuah keluarga besar berkumpul di rumah salah satu anggotanya, apalagi jika rumah tersebut ukurannya tidak terlalu besar. Risiko terbesar datang saat makan bersama karena tentunya kita akan melepas masker dan biasanya disertai dengan ngobrol santai.
Tidak harus menunggu momen besar seperti itu, silaturahmi fisik bisa terjadi ketika kita merindukan rekan kerja yang sudah lama tidak ditemui akibat WFH atau teman-teman seperjuangan selama menempuh pendidikan. Makan bersama sambil ngobrol sudah pasti terjadi, ditambah lagi dengan berfoto bersama sambil melepas masker. Apa yang hendak difoto kalau pada menggunakan masker?
Bayangkan jika suatu kelompok menjadi klaster penularan COVID, siapa yang hendak disalahkan sebagai biang keladi? Ditambah lagi, mereka yang menurut salah satu metode pengujian negatif COVID-19 sebenarnya bisa jadi positif karena kejadian false negative. Daripada jadi repot dengan harus menyerahkan hasil tes antigen dan PCR terlebih dahulu sebelum ikut silaturahmi fisik, juga menimbulkan rasa tidak enak ketika kita mengingatkan mereka yang kurang menaati protokol kesehatan, pindah dulu saja deh ke silaturahmi virtual via Zoom.
Hidup semandiri mungkin
Jika ingin benar-benar mengurangi risiko diri dari penularan virus COVID-19, tentu akan lebih baik jika kita hidup semandiri mungkin dan sebisa mungkin mengerjakan semuanya sendiri di rumah tanpa perlu meminta bantuan orang lain datang ke rumah, datang ke tempat lain, atau menerima barang jadinya secara fisik. Hal ini tentu menyedihkan ketika dalam perekonomian, tiga kegiatan tersebut mendatangkan pendapatan bagi banyak orang.
Jika kita tidak menuntut rumah kita sangat bersih dan sesekali bolong dalam membersihkannya pun tidak masalah selama tidak keluar rumah, mengurangi kebutuhan atas asisten rumah tangga bisa dilakukan. Ketika kita tetap membutuhkan jasa mereka dan ruang di rumah tersedia secara layak, mengajak mereka untuk tinggal bersama kita bisa dipertimbangkan untuk mengurangi risiko penularan jika dibandingkan terhadap membiarkan mereka pulang dan datang setiap harinya.
Para siswa tidak perlu menuntut nilai pelajaran yang tinggi selama masih berada di atas KKM dan intisari pelajaran masih terpahami dengan mengikuti kursus tatap muka. Tingkat pemahaman pembelajaran daring yang berada di bawah PTM sangat bisa terpahami dan teman-teman diharapkan bisa mengurangi gap tersebut dengan memberikan effort ekstra dalam meningkatkan intensitas belajar baik mandiri maupun berkelompok.
Sekian lima jurus yang terdengar sederhana tetapi sesungguhnya cukup ampuh dalam mengurangi risiko diri terinfeksi COVID-19. Selain itu, mempraktekkan gaya hidup sehat dan sesegera mungkin memperoleh dosis vaksin booster setelah diperbolehkan tentunya juga penting untuk dilakukan. Tidak perlu terlalu cemas melihat kurva kasus baru yang terus meningkat, kita bisa mengurangi risiko selama mematuhi protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H