Tahun baru Imlek salah satu menjadi perayaan yang membahagiakan bagi masyarakat etnis Tionghoa, khususnya sebelum pandemi COVID-19 melanda. Intinya tentu terletak pada semangat dan harapan untuk hidup yang lebih baik diperbarui kembali, terdengar sama saja dengan tahun baru Gregorian yang kita rayakan setiap tanggal 1 Januari. Akan tetapi, budaya terkait cara merayakannya itulah yang membuatnya terasa lebih seru.
Merayakan Imlek sebelum kedatangan pandemi COVID-19
Satu hal yang sangat erat dengan perayaan tahun baru Imlek adalah silaturahmi keluarga. Sesibuk apapun rutinitas sehari-hari dan sejauh apapun tempat tinggalnya dari keluarga lainnya, selagi bisa tentu waktu akan diluangkan untuk berkumpul bersama dalam suasana bahagia. Tempat berkumpulnya pada umumnya adalah rumah di mana orang tua tinggal, atau jika keduanya sudah meninggal biasanya digantikan oleh rumah tempat tinggal kakak tertua.
Jika rumah tersebut kurang memadai, umum juga digantikan oleh rumah anggota keluarga yang lebih mampu dan lebih luas. Mereka ini open house tidak hanya untuk kumpul keluarga, tetapi jika teman, rekan bisnis, dan pegawai mau datang tentu disambut dengan senang hati. Berbagi kebahagiaan dan rezeki seperti ini tentunya menjadi suatu hal yang baik ya.
Sebelum hari Imlek tiba, baju baru menjadi barang yang pasti dicari oleh semua yang merayakannya. Tampil dalam kondisi terbaik di hari-H tentu jadi tujuan, tetapi mereka yang mempercayai ramalan shio akan memiliki kriteria lebih spesifik terkait pemilihan warna untuk mendukung keberuntungan.Â
Mereka yang sudah menikah juga akan mencari kertas angpao plus tukaran uang baru pecahan kecil untuk dibagikan kepada anak-anak. Rumah-rumah didekorasi dengan pernak-pernik khas Imlek dan salah satu yang umum digunakan tentu saja lampion.
Imlek tidak lepas dari "ritual" makan enak, sehingga kelengkapan sajian tidak boleh dilupakan. Sekalipun di hari-H akan datang berkumpul ke rumah anggota lain alias tidak menerima tamu, yang namanya sajian khas Imlek beserta kue dan buah-buahan itu tidak boleh absen.Â
Keluarga kecil yang tidak open house umumnya lebih memilih untuk membelinya dari para penjual sehingga tidak perlu repot, toh menyantapnya juga sedikit dan selebihnya dilakukan di rumah saudara.Â
Lain halnya dengan mereka yang open house, capek dan repot membuat semuanya sendiri tentu worth it demi memastikan rasa yang lezat, kecukupan porsi, dan mengendalikan pengeluaran.