Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Terbang Cerdas dan Worry-Free Selama Pandemi

1 Februari 2022   08:29 Diperbarui: 1 Februari 2022   08:35 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Beberapa waktu lalu, saya pernah menuliskan pengalaman dan pandangan seputar duduk di kelas ekonomi penerbangan Garuda Indonesia. Ya, tulisan itu memang bukan ditulis di Kompasiana, melainkan di media tetangga (baca: Mojok). Seorang kerabat yang kebetulan membaca artikel tersebut merespon dengan ceritanya yang sebenarnya worry terhadap kapasitas seratus persen pesawat, terlebih lagi banyaknya kasus COVID-19 yang mulai naik lagi tetapi pekerjaannya memang membutuhkan beliau untuk terbang dan terbang lagi. Adakah solusi untuk terbang yang lebih aman selama pandemi?

Kita tahu bahwa sesempit-sempitnya penerbangan kelas ekonomi Garuda Indonesia, legroom yang diberikan sedikit lebih besar alias jumlah kursinya pasti lebih sedikit dibandingkan terhadap maskapai low-cost. Permasalahan muncul ketika kita duduk diapit oleh satu orang di sebelah kiri dan satunya lagi di sebelah kanan kita. Nah, adakah solusi yang lebih baik? Atau sebaliknya ketika tiket kelas ekonomi Garuda terlalu mahal untuk kita?

#1 Jika tidak ingin naik kelas ekonomi Garuda, Anda tidak harus langsung naik kelas ke kelas bisnis Garuda atau langsung turun kelas ke kelas ekonomi maskapai budget

Kelas bisnis Garuda Indonesia bukanlah tiket murah, kelas ekonominya saja yang sebenarnya tidak istimewa itu sudah cukup menguras kantong. Jika penerbangan yang ditumpangi cukup jauh dan Anda naik pesawat yang kursi kelas bisnisnya bisa disulap bak kasur dengan desain kabin yang lebih privat, tentu ini sangat worth it. Masalahnya, itu bisa Anda nikmati jika naik pesawat wide body seperti Airbus A330 atau Boeing 777. Kalau penerbangannya pendek dan menggunakan armada Boeing 737, ya Anda tidak akan merasakannya. Untuk penerbangan domestik, saya menyarankan Anda untuk melirik dua solusi berikut.

Kelas Royal Green dari Citilink (A320)

Sebenarnya kelas Royal Green ini boleh dibilang sederhananya adalah kelas Premium Economy. Kursinya sama dengan kursi kelas ekonomi biasa dari sebuah Airbus A320, alias ruang untuk memposisikan diri tidak lebih lebar dan juga legroom boleh dibilang pas-pasan. Akan tetapi, hal yang cukup menarik adalah kita tidak akan menemui orang yang tepat duduk di sebelah kita tanpa jarak karena kursi tengah di setiap kolom dikosongkan. Menurut informasi yang beredar, kelas ini tersedia dari baris satu sampai empat belas alias hampir setengah banyaknya baris dalam satu pesawat.

Dalam satu penerbangan, kita hanya akan terbang bersama 151 penumpang lainnya sekalipun pesawat penuh. Ini lebih sedikit dibandingkan kapasitas penuh pesawat Garuda di 162 atau 174 penumpang tergantung pada konfigurasi alias lebih sedikit orang yang berpotensi menularkan virus. Tidak sampai di situ, kita juga mendapatkan makanan yang dinamai "Royal Menu". Akses gratis ke Executive Lounge juga diberikan sehingga tidak perlu mengantri beramai-ramai bersama penumpang kelas ekonomi biasa, alias menang dari kursi kelas ekonomi di Garuda.

Untuk menikmatinya, anda harus mengeluarkan budget sekitar 70% lebih tinggi dibandingkan kursi kelas ekonomi biasa di Citilink. Akan tetapi, ini juga masih lebih murah sekitar 20% dari kursi kelas ekonomi di Garuda.

Business class Batik Air

Jika Anda tidak mendapatkan kursi Royal Green dari Citilink untuk rute yang hendak Anda tempuh dan masih punya budget lebih besar sekitar 50% dibandingkan tiket kelas ekonomi Garuda, bolehlah melirik kursi kelas bisnis dari Batik Air. Satu barisnya sudah dipastikan hanya terdiri dari dua kursi per kolom dan ini bukan kursi tengah yang dikosongkan, tetapi memang hanya ada dua kursi dengan ukuran yang lebih lebar dan legroom yang juga lebih lebar. Tidak sampai di situ, harga tiketnya juga 60% lebih murah dibandingkan tiket kelas bisnis di Garuda.

Bagaimana dengan penerbangan internasional? Anda tentu tahu bahwa persaingan di pasar lebih sengit dengan lebih banyaknya maskapai bersaing untuk menawarkan kursi, termasuk maskapai asing dengan tingkat kemewahan yang tidak kalah dengan Garuda.

Cari solusi yang lebih murah di maskapai lain dengan kualitas setara Garuda

Misalnya saja, Singapore Airlines bisa menawarkan harga lebih murah sekitar 40 persen dibandingkan terhadap Garuda Indonesia untuk kelas ekonomi serta 15 persen lebih murah untuk kelas bisnis. Ya, ini untuk penerbangan ke Singapura. Jika Anda merasa kurang nyaman di kelas ekonomi, setidaknya ada solusi kelas bisnis yang lebih murah dari Garuda. Jika budget tidak mencukupi untuk duduk di kelas ekonomi Garuda sekalipun, setidaknya tidak turun kelas ke kursi ekonomi maskapai budget yang tentunya berjarak lebih sempit dan kapasitas penumpangnya lebih banyak lagi.

Terbang jauh? Siapa tahu di rute Anda ada kelas premium economy

Jika Anda terbang ke Tokyo misalnya, di antara kelas ekonomi dan kelas bisnis malah Singapore Airlines bisa menawarkan kursi kelas premium economy dengan seat pitch yang lebih besar sekitar 6 inch. Jika di kelas ekonominya tersedia sembilan kursi per baris, setidaknya di kelas premium economy berkurang satu menjadi delapan. Penghematan yang bisa dilakukan sekitar 27 persen dari tiket kelas bisnis Singapore Airlines yang lagi-lagi lebih murah dari tiket kelas bisnis Garuda sekitar 20 persen.

#2 Jangan mudah ikut serta dalam hype mencoba pesawat wide body

Pesawat berbodi lebar umumnya digunakan untuk penerbangan jarak menengah-jauh ke luar negeri, kecuali ketika peak season penerbangan domestik terjadi. Sejak pandemi melanda, permintaan terhadap kursi penerbangan internasional menurun dan warga kita memilih untuk terbang ke destinasi yang dekat-dekat saja, misalnya ke Yogyakarta, Surabaya, atau Bali. Maskapai yang punya pesawat wide body tentu tidak mau pesawatnya menganggur, harus bisa jadi duit dong. Jadi, dibukalah penerbangan jarak dekat dengan pesawat berbadan lebar ini dan banyak orang mengantre untuk mencobanya sebelum pandemi berakhir sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman itu.

Padahal, jika kalian duduknya di kelas ekonomi, cerita tidak akan jauh berbeda. Kursi kalian tidak menjadi lebih besar dan lapang ketika duduk di armada A330 atau B777 milik Garuda dibandingkan terhadap armada B737-nya, kelas bisnis sih lain cerita ya. Sekalipun bisa menjajal kursi yang bisa direbahkan menjadi kasur itu, tidur selama kurang dari dua jam juga terasa kurang nyaman bagi orang-orang yang sejak kecil tidak terbiasa tidur siang (seperti saya) apalagi jika waktu penerbangannya juga tidak tepat. Sayang uanglah, segalanya masih tidak pasti terlebih harga barang kebutuhan juga sebagian besar naik di mana-mana.

Ditambah lagi, kapasitas pesawat ini lebih banyak dan jika penuh bisa dibayangkan berapa penumpang yang ada di dalamnya, lebih dari tiga ratus orang. Ketika kursi yang didapat terletak di baris paling belakang dan kita harus masuk dari pintu depan, kita perlu menempuh jarak sampai lebih dari lima puluh baris kursi kelas ekonomi maskapai budget. Bisa dibayangkan risiko penularan yang tentu lebih tinggi jika naik pesawat seperti ini.

#3 Jangan membawa bagasi terdaftar, kalau bisa

Pada masa sebelum pandemi, mereka yang pergi hanya dalam satu atau dua hari dengan barang bawaan yang sedikit umumnya memasukkannya ke tas punggung alias backpack dan membawanya ke dalam kabin. Tujuannya jelas, tidak perlu menunggu lama sampai bagasi terdaftar keluar dari pesawat dan dibagikan di terminal. Demikian pula ketika kita hendak berangkat, bisa memanfaatkan fitur web check-in karena tidak perlu mendaftarkan bagasi di konter.

Hal ini jelas berlaku di masa pandemi, sangat disarankan malah. Mengurangi waktu yang dihabiskan di terminal bandara tentu mengurangi risiko penularan virus, bukan?

#4 Jadilah kaum mepeters

Umumnya, sebelum pandemi kita memilih untuk datang jauh lebih awal ke bandara demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan selama proses check-in. Jika kita akan berangkat sekitar jam makan siang atau makan malam, kita akan berusaha untuk menyelesaikan proses check-in itu dan kemudian makan seadanya di bandara asal tidak tertinggal pesawat. Sekarang, prosedurnya bertambah pula dengan kebutuhan untuk menunjukkan hasil tes COVID, sekalipun sudah vaksin dosis lengkap pun tetap perlu antigen.

Pertama, jika destinasi yang Anda tuju dijangkau oleh sedikit penerbangan dan cuaca di sana terkenal kurang menentu, lebih baik antigen mepet waktu selama memungkinkan. Misalnya, antigen di pagi hari ketika kita akan berangkat di sore harinya dibandingkan terhadap antigen semalam sebelumnya. Seorang rekan belum lama ini menghadapi kondisi seperti ini di mana destinasi yang dituju hanya dijangkau oleh satu penerbangan per hari. Beliau sudah terlanjur antigen ketika beberapa jam kemudian maskapai mengumumkan bahwa penerbangan ditunda satu hari akibat cuaca buruk. Maskapai pun menolak untuk memberikan kompensasi biaya antigen dan tetap mengharuskan tes tersebut diulang.

Kedua, makanlah dengan kenyang sebelum datang ke bandara. Sekalipun kita makan di luar, kita tentu bisa memilih tempat makan yang lebih sepi dibandingkan terhadap sebuah bandara. Demikian pula kita tidak perlu menikmati fasilitas lounge yang disediakan, sekalipun fasilitas tersebut tersedia dan gratis. Ini membuat kita tidak perlu datang terlalu awal kan?

Ketiga, berusahalah untuk masuk terakhir dan keluar pertama dari pesawat. Baik menggunakan garbarata maupun tangga konvensional, penumpang di baris yang lebih depan selalu memiliki kesempatan untuk masuk terakhir dan keluar lebih awal. Ini mengurangi waktu yang dihabiskan di dalam pesawat. Nah, agar selama penerbangan tidak terus dilewati mereka yang hendak pergi ke kamar kecil, dapatkanlah kursi di samping jendela alias window seat.

#5 Minimalkan penggunaan barang di pesawat

Pesawat Garuda atau pesawat mewah sejenisnya umumnya menyediakan inflight entertainment. Untuk menggunakannya, tentu kita perlu menyentuh layar yang ada dan menggunakan headset pinjaman (jika tidak membawanya sendiri). Saran saya sih, supaya tidak repot mencuci tangan sehabis menyentuh layar, bukankah lebih baik kita tidak usah pakai IFE tersebut? Beristirahat menjadi pilihan terbaik atau gunakan perangkat milik sendiri yang sudah diunduhkan film, games, atau musik untuk hiburan, asalkan jangan sampai baterainya habis ya.

Sekian tips yang saya bagikan kali ini. Saran saya, tidak perlu terbang-terbang jika tidak mendesak. Tunda liburan jauh kita dan lebih baik bahagia di rumah saja atau mengunjungi tempat-tempat yang dekat untuk mencegah penularan virus. Akan tetapi, jika harus terbang, terbang aman dan cerdas penting untuk mengurangi risiko. Ya kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun