Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

WFH tapi Penghematan Ongkos Tak Berbekas, Lari ke Mana?

30 Januari 2022   22:57 Diperbarui: 1 Februari 2022   11:00 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
strasi pekerja yang melakukan WFH (DOK. Shutterstock)

Di masa pandemi, banyak pelaku work from home berhasil berhemat cukup besar atas berkurangnya biaya transportasi dan makan sehari-hari. 

Kecuali jika kita tinggal dekat dengan kantor, transportasinya murah meriah atau boleh menumpang secara gratis, semua makanan yang kita makan di luar kantor adalah bekal dari rumah atau memang disediakan secara gratis oleh pemberi kerja, meningkatnya tagihan listrik dan munculnya biaya berlangganan internet seharusnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penghematan uang. Nah, sayangnya penghematan uang ini tidak berbekas bagi banyak orang. Kok bisa ya?

Meskipun kini ke luar rumah harus terus mengenakan masker yang tentunya membuat sebagian orang kurang nyaman dalam bernapas, juga menyembunyikan senyum semua orang (dan itu berarti semakin sulit mencari pria tampan serta wanita cantik dengan berkeliling ria), menerima kenyataan yang ada dan pandai-pandai beradaptasi tentunya sangat menguntungkan. 

Penghematan ini bisa dikonversi menjadi suatu aset, tidak harus aset berharga yang bernilai besar dan berwujud, atau melunasi utang.

Jika tidak percaya, saya punya beberapa rekan yang sehari-hari bekerja di kawasan elit ibu kota sebelum pandemi dan kini sampai saat ini masih WFH. 

Rekan pertama yang merupakan anak Sudirman berhasil mengecat tembok rumahnya yang sudah kusam, memperbaiki bocor yang sebelumnya dipasrahkan begitu saja karena kekurangan dana, membeli piano, membeli kasur baru yang lebih nyaman, dan tentunya televisi yang lebih besar. 

Rekan kedua yang merupakan anak PIK berhasil membeli MacBook Air M1 untuk menggantikan laptop pribadinya yang sudah tua dan sering eror serta kini sudah membantunya dalam menghasilkan uang. 

Rekan ketiga yang merupakan anak Depok memiliki uang untuk mengikuti kursus daring dari penyelenggara internasional dengan harga yang cukup mahal dan kini sudah membuahkan hasil berupa kenaikan jabatan.

Akan tetapi, banyak juga di antara mereka yang penghematannya tidak bersisa bahkan pengeluarannya justru semakin bengkak. 

Saking pesat kenaikannya, sampai-sampai layak dianggap mengkhawatirkan. Kok bisa ya? Uangnya lari ke mana?

Bukannya memperbaiki rumah sendiri, malah staycation dari hotel ke hotel

Harus diakui bahwa bekerja dan tidur di tempat yang sama itu membosankan bagi banyak orang, seakan hidup itu tidak ada sekatnya. 

Apalagi jika tampilan rumah tidak pernah mengalami penyegaran selama bertahun-tahun, bahkan furnitur yang sudah sebaiknya diganti dan kerusakan rumah lainnya tidak pernah diurus, bisa dibayangkan betapa pusingnya kepala. 

Jika masih bisa diperbaiki atau dipercantik, tentu hal ini lebih baik karena masa berlaku solusinya akan lebih panjang. Tetapi?

Karena tidak sabar menunggu perbaikan bagian rumah yang rusak dan tidak kreatif dalam memikirkan hal sederhana yang dapat mempercantik tampilan rumah, pemilik rumah memilih untuk menjalani staycation dari hotel ke hotel. 

Ditambah dengan tampilan kamar hotel yang berbeda-beda, mereka berharap hidup jadi tidak membosankan. 

Ya, mereka benar-benar hanya melirik bagus tidaknya kamar hotel itu tanpa menikmati fasilitas lain karena tetap harus bekerja. Padahal, semurah-murahnya tarif kamar hotel per malam, kalau sering menginap bisa jadi biayanya cukup untuk mempercantik rumah sendiri.

Makan sangat mewah dengan peningkatan yang drastis dari kehidupan sebelum pandemi

Jika biasanya tidak memasak sendiri, cukup wajar ketika di rumah pun tetap membeli makanan dari luar. Apalagi jika tidak bisa memasak atau pekerjaan banyak sepanjang hari, membeli makanan itu sih sudah pasti. 

Dengan tak lagi dikeluarkannya ongkos transportasi dan seringkali pembelian makanan secara online juga mendapatkan diskon yang tidak sedikit plus gratis ongkos kirim, tidak salah jika selama WFH kita bisa memilih makanan dengan gizi lebih lengkap dan seimbang.

Akan tetapi, pada kenyataannya banyak di antara mereka yang penghematannya tak bersisa itu menikmati peningkatan gaya hidup terkait makan dan minum yang luar biasa. 

Berkurangnya buka tutup mulut untuk bercengkerama dengan rekan kerja disiasati melalui membuka dan menutup mulut untuk menyantap berbagai "cemilan". Cemilannya tidak main-main, mulai dari pizza, pasta, donat, cake, sampai burger. Ya jelas tidak murah!

Ogah punya paket kuota cadangan, tetapi rela mengungsi ke cafe

Banyak perusahaan meminjamkan laptop sebagai perangkat dinas pegawai bukan tanpa alasan. Selain karena kemampuannya untuk dibawa-bawa dan pegawai dengan kondisi tempat tinggal bagaimanapun juga seharusnya tidak akan direpotkan dengan keberadaannya (alih-alih desktop), laptop tidak langsung mati ketika listrik mati selama baterai berfungsi baik dan pengguna tidak menghabiskan baterai laptop sampai kadar yang sekarat.

Nah, selama mati listriknya tidak terlalu lama sampai membuat badan menjadi gerah dan kebutuhan lainnya terganggu, sebenarnya kita masih bisa bertahan di rumah sendiri. 

Masalahnya, bagi yang menggunakan internet langganan, mati listrik berarti internet mati, kecuali cukup berduit untuk memiliki genset di rumah. 

Supaya tetap bisa bekerja, ada yang membagikan internet dari ponselnya alias tethering dengan konsekuensi lebih cepat menurunkan daya dan kesehatan baterai.

Sekalipun ponselnya iPhone 13 Pro Max, mereka rela melakukannya karena lebih baik battery health turun sedikit lebih cepat daripada pekerjaan melayang. Jika baterai ponsel habis, masih ada power bank asalkan baterai laptop belum habis.

Lain ceritanya dengan mereka yang sayang ponsel dan juga sayang uang. Merasa paket internet berlangganan tidak murah, mereka ogah menyiapkan cadangannya berupa kuota internet untuk bekerja. 

Anehnya, membeli kuota internet untuk bepergian rela ya? Tak sampai di situ, mereka juga tidak rela melihat battery health ponsel menurun.

Sekarang begini, sayangi pekerjaan Anda. Jika Anda sayang dengan baterai ponsel Anda, belilah perangkat MiFi atau ponsel lain dengan harga lebih murah dan sudah bisa tethering. 

Kontrol kartu SIM-nya melalui aplikasi milik operator di ponsel utama, isikan pulsa dan aktifkan paket ketika Anda benar-benar butuh. Apalagi bagi Anda yang internet berlangganannya juga sering mendadak lambat, ini jelas solusi yang lebih hemat dalam jangka panjang.

Sekian tiga alasan yang paling banyak dan paling signifikan saya temui di sekitar saya. 

Anda mungkin menemukan hal lain, tetapi yang pasti saya hanya ingin memastikan agar semua penghematan ini tidak disia-siakan.

Jika akhirnya kita kembali bekerja sepenuhnya dari kantor, kesempatan berhemat ini habis dan sulit terulang kembali terlebih kini pajak dan harga beberapa barang kebutuhan naik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun