Di masa pandemi, banyak pelaku work from home berhasil berhemat cukup besar atas berkurangnya biaya transportasi dan makan sehari-hari.Â
Kecuali jika kita tinggal dekat dengan kantor, transportasinya murah meriah atau boleh menumpang secara gratis, semua makanan yang kita makan di luar kantor adalah bekal dari rumah atau memang disediakan secara gratis oleh pemberi kerja, meningkatnya tagihan listrik dan munculnya biaya berlangganan internet seharusnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penghematan uang. Nah, sayangnya penghematan uang ini tidak berbekas bagi banyak orang. Kok bisa ya?
Meskipun kini ke luar rumah harus terus mengenakan masker yang tentunya membuat sebagian orang kurang nyaman dalam bernapas, juga menyembunyikan senyum semua orang (dan itu berarti semakin sulit mencari pria tampan serta wanita cantik dengan berkeliling ria), menerima kenyataan yang ada dan pandai-pandai beradaptasi tentunya sangat menguntungkan.Â
Penghematan ini bisa dikonversi menjadi suatu aset, tidak harus aset berharga yang bernilai besar dan berwujud, atau melunasi utang.
Jika tidak percaya, saya punya beberapa rekan yang sehari-hari bekerja di kawasan elit ibu kota sebelum pandemi dan kini sampai saat ini masih WFH.Â
Rekan pertama yang merupakan anak Sudirman berhasil mengecat tembok rumahnya yang sudah kusam, memperbaiki bocor yang sebelumnya dipasrahkan begitu saja karena kekurangan dana, membeli piano, membeli kasur baru yang lebih nyaman, dan tentunya televisi yang lebih besar.Â
Rekan kedua yang merupakan anak PIK berhasil membeli MacBook Air M1 untuk menggantikan laptop pribadinya yang sudah tua dan sering eror serta kini sudah membantunya dalam menghasilkan uang.Â
Rekan ketiga yang merupakan anak Depok memiliki uang untuk mengikuti kursus daring dari penyelenggara internasional dengan harga yang cukup mahal dan kini sudah membuahkan hasil berupa kenaikan jabatan.
Akan tetapi, banyak juga di antara mereka yang penghematannya tidak bersisa bahkan pengeluarannya justru semakin bengkak.Â
Saking pesat kenaikannya, sampai-sampai layak dianggap mengkhawatirkan. Kok bisa ya? Uangnya lari ke mana?