Solusinya ada dua. Pertama, jika jarak dari rumah ke tempat beraktivitas membuat saya cukup mengisi baterai mobil seminggu sekali, saya akan mengisinya di hari libur. Kedua, jika saya kepepet waktu, saya akan mengandalkan SPKLU, SPBU ala mobil listrik yang sekarang ketersediaannya masih terbatas. Nissan LEAF bisa menikmati daya hingga 50 kW, alias bisa memanfaatkan SPKLU medium charging dan fast charging.Â
Akan tetapi, waktu mengecas pun tetap lama, satu jam di SPKLU versus mobil bahan bakar fosil yang hanya butuh waktu beberapa menit. Nissan LEAF tidak bisa menikmati ultra fast charging berdaya 150 kW, kalah dari mobil-mobil besutan Tesla yang memang lebih mahal.
Terakhir, mobil dengan ground clearance 15 cm ini kurang tangguh untuk menghadapi banjir. Beberapa referensi menyarankan mobil listrik hanya melahap genangan air dengan tinggi maksimum 20 cm dan kecepatan kurang dari 5 km per jam. Sayangnya, pengguna mobil di Indonesia, sekalipun hatchback, masih butuh mobil yang bisa melibas genangan hingga ketinggian 50 cm dengan kecepatan 10 km per jam.
Itulah ulasan saya mengenai Nissan LEAF, mobil listrik baru dari produsen asal Jepang yang pernah menjadi runner-up ajang balap mobil listrik yang seharusnya datang ke Jakarta tahun lalu kalau tidak ada pandemi COVID-19.Â
Performanya menjanjikan, bebas ganjil-genap itu menarik, fitur keamanannya lengkap, dan elegan juga mobilnya, itu poin positif yang saya tangkap. Akan tetapi, sisi minus dari posisinya sebagai mobil listrik itu yang membuat kita harus pikir-pikir ulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI