Masalah utama anemia ini adalah asupan makanan. Diet yang tidak seimbang dengan dominasi sumber gizi nabati membuat asupan energi dan protein rendah sehingga terjadi defisit atas energi, protein, dan mikronutrien. Sudah demikian, asupan makanan cenderung tidak bervariasi dan kurang memerhatikan unsur kesehatan sehingga konsumsi zat besi (terutama heme) dan vitamin C rendah.
Belum lagi kegemaran masyarakat zaman sekarang terhadap teh, kopi, dan produk berbasis kacang-kacangan tentunya akan meningkatkan konsumsi fitat dan tanin yang menghambat penyerapan zat besi itu sendiri.
Sebenarnya, kebutuhan zat besi dapat dengan mudah dan mencukupi untuk dipenuhi jika kita mau mengonsumsi hati ayam setiap harinya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa tidak semua orang menyukainya, bahkan saya sendiri pun lari jika disodorkan. Hal ini tentu masih bisa ditoleransi jika sumber zat besi nabati yang lain dikonsumsi, misalnya bayam.
Akan tetapi, penyerapannya membutuhkan bantuan asam askorbat dan asam sitrat alias Vitamin C, vitamin yang banyak berperan dalam memertahankan daya tahan tubuh, berperan di sana.
Lagi-lagi, untuk bisa mendapatkan asumsi vitamin C, kita tidak perlu mengonsumsi suplemen yang mahal apalagi sampai harus membeli produk impor dari luar negeri.
Dengan mengonsumsi buah-buahan, kita juga bisa mendapatkan asupan vitamin C bahkan dengan biaya yang lebih terjangkau. Masalahnya, tidak semua orang mau makan buah kan? Padahal, bisa dijus juga buah tersebut dan kemudian diminum, sedap.
Anemia sebagai bagian kecil dari masalah kekurangan gizi
Jika ditinjau kembali, anemia ini merupakan bagian dari masalah yang lebih besar, yaitu kekurangan dan ketidakseimbangan asupan gizi. Masalah ini bukanlah masalah sepele dan sebenarnya sudah pernah coba diselesaikan di Tanah Air dengan mengampanyekan pola makan empat sehat lima sempurna. Kita semua pun rasanya tidak asing dengan kampanye ini, tetapi tetap saja tidak sedikit yang terjun ke dalam masalah.
Masalah stunting di Indonesia tidak bisa disepelekan, di mana mereka yang tergolong sangat pendek dan pendek selalu memiliki proporsi di atas tiga puluh persen secara berturut-turut di Riskesdas 2007, 2013, dan 2018.