Dari sini saya belajar, hidup itu harus selow. Kata Eko Kuntadhi, lemesin aja. Selama kita percaya terhadap diri sendiri dan rekan-rekan kerja, segala masalah pasti ada solusinya dan bisa terselesaikan tepat pada waktunya.
Mengkhawatirkan lonjakan biaya yang ternyata tidak terjadi
Ketika kami melihat kebutuhan alat pelindung diri di Wuhan, terbayanglah berapa biaya tambahan yang harus digelontorkan untuk memiliki alat pelindung diri dalam beraktivitas di luar rumah. Begitu kasus pertama akhirnya harus terjadi dan diumumkan, harga masker, hand sanitizer, dan kebutuhan pokok langsung melonjak dengan ketersediaan yang menipis. Selain harus bersiap-siap menambah pengeluaran, uang kas yang dimiliki haruslah bernilai lebih besar untuk bisa membeli barang dalam jumlah yang lebih banyak.
Belum lagi kebutuhan internet yang lebih besar di rumah. Sehari-hari, saya hanya membeli kuota data untuk komunikasi dan sedikit hiburan. Butuh referensi dalam mengerjakan tugas? Datang lebih pagi ke kampus dan gunakan fasilitas WiFi gratis yang ada untuk mengunduh semuanya. Di awal masa-masa belajar dari rumah, hal yang dilakukan adalah mencari pendapatan tambahan dengan tulis-menulis di internet. Paling tidak, saya bisa memenuhi lonjakan kebutuhan kuota data karena live streaming perkuliahan dan mengikuti beberapa kursus online. Menjelang mengikuti magang online, saya semakin khawatir kalau kebutuhan kuota melonjak. Maklum, berlangganan layanan internet berbasis serat optik di lokasi saya memberikan performa kurang optimal dan terpaksa harus menggunakan operator seluler.
Hasilnya, ternyata operator yang saya gunakan menawarkan paket internet dengan kuota lebih besar dan tarif lebih murah. Lonjakan biaya terkait listrik dan kuota data itu memang ada, tetapi saya lupa bahwa kini saya tidak perlu lagi membayar ongkos transportasi sehingga ujungnya tetap saja berhemat.
Bandingkan terhadap apa yang saya lakukan di masa awal pandemi, sampai-sampai saya melakukan perhitungan matematis di sana-sini untuk memperkirakan apa yang akan terjadi berikutnya dan ditulis di artikel ini. Kata seorang dosen, memanfaatkan ilmu matematika yang dipelajari itu tidak salah, tetapi masalah kehidupan sehari-hari jangan semuanya dihitung juga dong! Hidup jadi tidak seru lagi, nerd malah.
Oh iya, saya juga berusaha mendapatkan stok masker dengan harga normal sebelum pandemi di hari kasus pertama diumumkan. Ketika saya menyadari bahwa sisa stok tinggal sedikit, langsung kacar-kacir di platform e-commerce. Pesanan sudah dibayar, tetapi tidak dikirimkan oleh penjual karena beliau tergiur memberikannya kepada mereka yang berani membayar lebih tinggi. Saya menangis kencang ketika harga masker terus meroket hingga ratusan ribu Rupiah per kotaknya. Untung saja tidak ikut membeli, sekarang ketersediaannya sudah cukup banyak dan harganya terjun cukup dalam. Mengingat aktivitas masih dilakukan di dalam rumah, stok masker yang lama masih tersisa bahkan sampai setelah saya membeli stok tambahan. Andaikan panik di awal, bisa dibayangkan tekor bandar-nya!
Jawaban untuk semua cerita di atas, lagi-lagi lemesin aja. Realistis dan reaktif terhadap keadaan itu tidak salah, tetapi kalau menjadi panik sampai kehilangan akal sehat juga itu salah. Berpikir dengan matang dari segala aspek itu penting agar keputusan yang diambil tepat. Lagipula, hidup itu seharusnya mengalir seperti air kan?
Selama kita hidup dengan bijak dan bekerja keras, kesusahan hari ini hanya berlangsung untuk hari ini. Cukup lakukan yang terbaik dan serahkan hari esok kepada Sang Pencipta. Pemerintah tentunya juga tidak akan membiarkan rakyatnya menderita kan?