Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Sekolah Abadiku dengan Segalanya yang Serba Pertama

28 November 2020   18:51 Diperbarui: 28 November 2020   18:59 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu sebagai sekolah pertama yang memberikan pendidikan terlengkap untuk anaknya (Foto: Pixabay/marvelmozhko)

Sekolah formal pun tidak akan mengajari anak secara khusus mengenai kedisiplinan, strategi, dan cara bertahan hidup. Guru akan mendidik dengan cara dan capaian yang sama kepada semua siswanya. Peraturan dibuat untuk disepakati bersama dan kurikulum yang sebagian berisi teori menjadi kompetensi yang harus diajarkan.

Siswa harus bekerja keras demi mendapatkan nilai yang baik atau berisiko tinggal kelas. Di sisi lain, life skills diserahkan kepada siswa untuk dipelajari sendiri. Jadinya, ibu sayalah yang mengajarkan saya mengenai work-study-life balance.

  • Disiplin waktu dan kerja keras untuk memahami materi di sekolah secara mandiri itu penting, tetapi tetap memiliki waktu untuk memperjuangkan kebahagiaan diri, mempelajari berbagai keterampilan dan mengembangkan karakter positif, serta menjelajahi dunia luar juga penting.
  • Menaati peraturan yang ada itu penting, tetapi bersikap kritis terhadap peraturan yang tidak tepat atau bersifat mengekang pengembangan diri juga diperlukan.
  • Berusaha untuk memberikan yang terbaik itu penting, tetapi juga perlu memerhatikan keseimbangan hasil terhadap waktu yang dan sumber daya yang dikorbankan.
  • Hasil yang baik itu penting, tetapi proses yang benar dan dilakukan dengan karakter diri yang positif juga penting.
  • Menguasai berbagai hal itu penting, tetapi memfokuskan diri pada hal-hal yang disukai tentu memberikan ketenteraman hati dan menjauhkan diri dari rasa keterpaksaan.
  • Menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan konflik dengan pihak lain itu penting, tetapi memastikan diri sendiri cukup nyaman dengan cara yang dilakukan juga penting agar tidak menyiksa kesehatan mental.

Pertama kali memberanikan kita "naik kelas"

Guru yang memposisikan diri seakan menjadi rekan seusia siswa yang nyaman diajak berdiskusi baik soal materi maupun masalah pribadi itu jarang ditemukan. Sepanjang sekolah, saya memahami bahwa perjuangan guru untuk menyampaikan materi sesuai kurikulum dan memastikan siswanya berperforma optimal saat ujian sudah tergolong sulit.

Alhasil, ketika siswa merasa ada sesuatu yang janggal atau justru dapat dikembangkan dari materi, apalagi ingin tahu bagaimana materi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, ada saja guru yang justru akan merasa jengkel dan meminta si siswa untuk seakan berusaha tidak melampaui dirinya.

Apalagi untuk mendiskusikan permasalahan pribadi, guru pun perlu memeriksa penugasan, mengerjakan pekerjaan administrasi, mempersiapkan materi, dan mengurus kehidupannya sendiri.

Lagi-lagi ibulah yang pertama kali mengajarkan seorang anak untuk "naik kelas" dan memenuhi rasa keingintahuannya. Dibandingkan terhadap seorang guru yang banyak ditargetkan mengenai nilai ujian dan prestasi sekolah serta pendidikan bertahap sesuai usianya, ibu lebih memikirkan masa depan anak yang lebih panjang dan bagaimana anak bertumbuh sesuai kemampuannya. Ibu melakukan semuanya agar anak mendapatkan jawaban yang tepat, bukan justru dijerumuskan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kepolosannya.

Ibu juga tidak mengajarkan anaknya untuk naik kelas secara teoritis, tetapi langsung dalam kondisi nyata. Misalnya, dalam mengenalkan transportasi publik, ibu saya langsung mengajak saya naik angkot, bus kota, atau kereta tanpa menjelaskannya terlebih dahulu di rumah. Mengajarkan pengelolaan keuangan juga tidak dilakukan secara teori, tetapi langsung melibatkan saya dalam analisis keuangan rumah tangga, mencari produk asuransi dan perbankan yang tepat untuk keluarga, serta masih banyak lagi. Belajar berkomunikasi dan berdebat juga dilakukan dengan topik-topik kekinian, jika memungkinkan juga didampingi oleh orang dewasa lainnya. "Supaya tidak kikuk ketika saatnya tiba," begitu kata ibu saya.

Ketika saya harus "turun gunung" sendiri dan menghadapi orang penting, ibu tidak mengambil posisi sebagai orang yang mengintervensi, apalagi secara langsung. Ibu lebih memilih memerhatikan dari jauh, atau bahkan menunggu laporan hasilnya saja. Tanggapan dan saran akan diberikan jika ada hal yang perlu diperbaiki dalam cara saya menyelesaikan masalah tersebut. Bagi ibu, menghadapi orang besar yang lebih tua dengan jabatan yang lebih tinggi, kekayaan yang lebih banyak, dan reputasi yang banyak dikenal orang harus diberanikan sejak kecil dan bisa melakukannya tanpa intervensi memberikan nilai tambah terkait kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan saya.

Pertama kali membekali terkait hubungan karir dan asmara

Hubungan pertemanan mungkin bukan sesuatu yang istimewa. Sekalipun ada persaingan di antara pelajar, pada akhirnya mereka akan tetap berteman akur karena nilai bukanlah segalanya dan kebersamaan sangatlah penting dalam belajar. Kondisi menjadi berbeda ketika mereka terjun ke dunia nyata, memperjuangkan pekerjaan dan jabatan untuk meraup pendapatan, juga untuk meraih pasangan yang terbaik. Seringkali satu hal yang sama hanya bisa dimiliki oleh satu orang saja. Selain persaingan, masih ada hal-hal lain yang jauh lebih kompleks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun