Pandemi COVID-19 adalah musibah bagi kita semua. Berawal dari Wuhan pada Desember lalu, kini sudah lebih dari 1.000.000 kasus terkonfirmasi dengan lebih dari 50.000 kematian di seluruh dunia. Imbasnya, warga dunia diimbau beraktivitas dari rumah (WFH).
Indonesia sendiri per 4 April mencatatkan 2.092 kasus terkonfirmasi dan 25.408 pekerja ibu kota terkena PHK kerja. Tak ada kepastian sampai kapan ini berlangsung, hanya ada imbauan WFH yang diperpanjang per dua pekan. Reuters mencatat bahwa masa inkubasi dapat mencapai 27 hari dan New York Post mencatat bahwa virus dapat bertahan hingga 35 hari. Harga kebutuhan naik, semua dibeli lebih banyak, pendapatan tetap atau malah berkurang. Bagaimana caranya agar keuangan sendiri dan negara sama-sama stabil?
Jangan panik dan termakan berita hoaks
Hidup harus realistis dan siap menghadapi kondisi terburuk, tetapi bukan berarti panik sampai mudah termakan berita hoaks. Pastikan berita yang diperoleh berasal dari sumber terpercaya, seperti rilis Pemerintah, media massa bereputasi baik, dan jurnal akademik berkualitas.
Tidak perlu menarik uang besar-besaran
Sebelum imbauan bekerja dari rumah, saya diajak menguras tabungan perbankan. Setelah mendengar arahan Presiden untuk menunda pembayaran pokok dan bunga hingga setahun, ajakan ini semakin banyak saya terima.
Di tengah pandemi, menghindari uang tunai adalah salah satu cara mencegah transmisi wabah. Pembelian daring pasti menggunakan pembayaran nontunai, ketika penjual air galon dan gas elpiji ke rumah pun banyak mendukung e-wallet seperti GoPay dan Ovo. Mengisi saldonya tentu membutuhkan saldo perbankan, bukan?
Soal penundaan kredit, ini hanya berlaku untuk sebagian kelompok, masa pemberlakuannya juga terus ditinjau berdasarkan perkembangan kondisi, dan tidak signifikan terhadap kesehatan permodalan perbankan. Bank Indonesia senantiasa memerintahkan pencadangan dan penguatan modal serta membatasi dana pihak ketiga yang boleh dipinjamkan sehingga likuiditas tetap sehat. Jadi, tak perlu panik industri perbankan kolaps sampai menarik uang besar-besaran karena justru inilah yang bisa menciptakan money rush. Likuiditas berkurang, suku bunga simpanan harus dinaikkan, benar-benar kolaps sang bank bukan karena pandemi melainkan oleh ulah panik nasabahnya.