Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Kerja 996 di Indonesia Demi Produktivitas Lebih Baik? No!

24 April 2019   16:04 Diperbarui: 24 April 2019   16:19 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepekan terakhir, dunia terus memberikan reaksi atas dukungan bos Alibaba yang juga salah satu orang terkaya di dunia, Jack Ma, terhadap sistem kerja 996 di Tiongkok. Sistem ini mengharuskan pegawai bekerja dari jam sembilan pagi sampai sembilan malam selama enam hari dan hal ini adalah anugerah bagi Jack Ma yang bisa membantu perusahaan menuju kesuksesan. Tentu saja hal ini menimbulkan pro dan kontra termasuk di masyarakat kita, khususnya mereka yang sudah nyaman bekerja di kantor selama delapan jam sehari dengan sistem 9-to-5, itu pun hari Sabtu libur atau paling lama bekerja selama setengah hari.

Kubu pro berharap bahwa perpanjangan jam kerja akan meningkatkan nilai take home pay. Bagi mereka, tentu lebih baik bekerja lebih lama di kantor dengan pendapatan yang lebih besar dan pasti dibandingkan pulang lebih cepat, tidak melakukan apa-apa di rumah (gabut), dan sulit mencari pekerjaan tambahan atau malah menghabis-habiskan uang di coffee shop. Kondisi ini ada benarnya bagi mereka yang belum berkeluarga dan tinggal di kamar kos atau apartemen tipe studio yang tidak membutuhkan waktu lama untuk bersih-bersih. 

Bagi mereka yang sudah berkeluarga dan belum memiliki anak pun, hal ini masuk akal di negara dengan gaji asisten rumah tangga yang relatif lebih murah dibandingkan harus mengorbankan peluang kerja untuk mengurus rumah. Inilah kondisi di Indonesia, tentu lain dengan negara tetangga kita, Singapura, di mana mereka yang pulang kerja larut malam pun harus mengurus rumahnya sendiri karena mahalnya gaji asisten rumah tangga.

Kubu kontra menganggap sistem ini hanya akan membuat mereka menjadi robot yang pastinya tidak diperlakukan secara manusiawi. Lama-kelamaan, keluarga mereka menjadi berantakan tak terurus dan satu persatu orang akan masuk rumah sakit dengan kumpulan penyakit berat. Argumen lain yang mereka kemukakan tidaklah salah, tetapi kemudian ada saja yang menganggap mereka sebagai kaum manja yang hanya tahu enaknya saja.

Jika ada kaum manja, tentu ada kaum yang kuat. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini antara lain pengemudi transportasi online dan pelajar serta mahasiswa di institusi pendidikan ternama. Bangun sebelum matahari terbit, berangkat ketika langit masih merah, bekerja tanpa henti dengan waktu istirahat yang minim, dan pulang ketika langit sudah gelap, bahkan seringkali lebih malam dari para pekerja kantoran. Demi bisa menutupi biaya operasional kendaraan dan kebutuhan keluarga, tak jarang pengemudi transportasi online harus berkelana di jalan paling tidak enam belas jam setiap harinya tanpa hari libur sama sekali dalam seminggu. 

Begitu juga pelajar dan mahasiswa yang setelah kelas selesai masih berkelana dari satu tempat kursus ke tempat kursus lainnya, satu kegiatan organisasi ke kegiatan organisasi lainnya, sampai-sampai di rumah pun masih harus menyelesaikan setumpuk pekerjaan dengan sisa waktu untuk belajar yang sangat terbatas. Jangan bicarakan jam tidur apalagi urusan melepas penat bagi mereka, sangat kurang.

Melihat kondisi seperti ini, kita perlu meninjau ulang durasi kerja seluruh kalangan. Dengan jam kerja yang panjang, akankah Indonesia akan menjadi negara yang lebih produktif dan maju? Apakah kenaikan produktivitas yang terjadi sebanding dengan perpanjangan jam kerja yang dilakukan? Perlu ada analisis mendalam dan perbandingan dengan negara lain terkait hal tersebut.

Pertama, bekerja secara terus-menerus akan menimbulkan kelelahan dan kejenuhan. Produktivitas kerja dari jam ke jam pun menurun sehingga efektivitas kerja di jam-jam terakhir sangat rendah. Berdasarkan pengalaman di kampus, biasanya produktivitas mulai melorot setelah jam makan siang dan kantuk mulai terasa setelah jam empat sore. Itu berarti, pekerjaan sudah kurang efektif jika dilanjutkan hingga jam lima sore, apalagi sampai jam sembilan malam? Perlahan-lahan, pekerja akan "menabung" stres yang tentunya tidak baik terhadap kesehatan jiwa mereka.

Kedua, pulang lebih malam menimbulkan sejumlah risiko khususnya bagi mereka yang bekerja di kota besar dan tinggal di daerah pinggiran kota. Dengan durasi perjalanan rata-rata dua sampai tiga jam, pekerja baru bisa tidur paling cepat jam dua belas malam. Sedangkan, praktisi kesehatan menyarankan tidur yang baik dimulai jam sepuluh malam dan lebih baik lagi jika bisa dimulai jam delapan malam. 

Belum lagi, perjalanan di malam hari menghadapi penerangan yang lebih minim dan risiko kecelakaan lebih besar akibat kelelahan dan mengantuk. Begitu juga keesokan paginya, risiko kecelakaan lagi-lagi naik mengingat jam tidur yang kurang, tenaga yang belum kembali sepenuhnya, dan rasa kantuk yang masih dimiliki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun