Suatu siang yang panas dan membosankan di Jakarta, saya memutuskan jalan-jalan sendiri naik taksi konvensional. Tanpa menginginkan tujuan yang jelas, saya hanya ingin melihat dunia luar dan berinteraksi dengan sang supir taksi. Seperti biasa, sebagai reviewer, mobil yang digunakan selalu menjadi perhatian dan kali ini adalah Toyota Limo alias kembarannya Vios.
Taksi konvensional zaman sekarang lebih menyenangkan dibandingkan taksi online. Dipesan mepet waktu melalui aplikasi, bisa. Dipesan jauh-jauh hari via telepon untuk dijemput pada hari dan jam tertentu, bisa. Tentukan kapasitas mobil yang dibutuhkan, bisa. Minta struk tanpa perlu mencetak sendiri, bisa.
Berbeda dengan taksi sepuluh tahun lalu, taksi zaman sekarang sudah pakai head unit single DIN yang bisa memutar radio FM, CD, atau musik dari USB. Lebih baiknya, kita diberikan fasilitas charging ponsel dan tetap bisa menggunakannya berkat fasilitas kabel microUSB atau USB-C untuk smartphone Android dan iPad terbaru serta kabel Lightning atau 30-pin untuk iPhone dan versi lebih lawas dari iPad. Kita tak perlu lagi mengeluh kebosanan dan tidak nyaman seandainya perjalanan macet dan lama. AC-nya pun cukup dingin meski menggunakan pengatur analog konvensional dan blower hanya ada di depan, ya namanya juga mobil taksi Limo.
Soal mesin, jangan diragukan lagi keandalannya. Limo ini sudah diandalkan sebagai taksi sejak lama dengan mesin 1500cc, kubikasinya besar juga ya. Jadi, tidak ada masalah soal akselerasi yang cepat dan kemampuan menanjak. Pengereman pun juga baik.
Kami pun merenung sejenak. Ketika perusahaannya tak lagi mau menggunakan jasa si Limo dan dijual ke publik, mengapa para pengemudi taksi online bermodal kere-hore tak mau meminangnya? Berdasarkan diskusi dengan sang sopir yang juga pernah narik taksi online, berikut dugaannya.
Pertama, stigma sebagai kuda capek yang sakit-sakitan. Logikanya memang bisa dinalar, dengan jarak tempuh harian dan kumulatif yang tinggi (biasanya sekitar 300 ribuan km), mobil ini lelah dan banyak komponennya yang bermasalah sehingga harus diganti sedangkan perusahaan tak mau mengeluarkan uangnya sehingga dilempar bebannya ke pemilik berikutnya. Kenyataannya, perusahaan taksi selalu merawat kendaraannya dengan baik agar menjamin keamanan penumpang di jalan dan kendaraannya cenderung sehat.
Mengapa akhirnya dijual? Karena penumpang bisa membedakan usia mobil berdasarkan tampilan eksterior dan penunjuk habisnya masa berlaku plat nomor. Meski mobilnya sehat, mereka tetap saja merasa tak nyaman dengan armada lama dan minta diganti yang baru. Untuk menghadapi masalah pertama, belilah armada dari perusahaan yang bereputasi baik, misalnya saja burung biru atau si gesit. Rekam jejaknya tentu lebih jelas, baik, dan mudah ditelusuri mengingat standar keselamatan pengemudi serta perawatan kendaraan yang lebih jelas dibandingkan pengemudi biasa yang sesukanya, apalagi mobil rental pribadi.
Kedua, kapasitas mesin yang besar terkadang membuat modal bensin tekor. Jika lebih banyak berjibaku di jalan raya dengan trek datar dan kemacetan bertubi-tubi, konsumsi bahan bakar menjadi boros sampai-sampai sang pengemudi rugi meski sudah menggunakan bensin sekelas Premium atau Pertalite. Kecuali bicara di tol, mobil berkapasitas mesin lebih rendah akan menggunakan putaran mesin yang jauh lebih tinggi demi bisa melaju dalam batas minimum sehingga konsumsi mereka berdua kurang-lebih setara.
Pertanyaannya, penumpang lebih senang yang mana jika ditawari mobil taksi online dengan harga setara? Saya sendiri memilih Limo, dibandingkan menumpang Datsun Go+ bekas yang tergolong odong-odong, Daihatsu Xenia 1000cc yang digas dalam-dalam demi bisa melaju kencang, Daihatsu Ayla 1200cc dengan putaran mesin tinggi dan bunyinya luar biasa padahal baru dipacu di kecepatan 40 km/jam, atau Datsun Go 2014 yang tak kuat menanjak apalagi dalam posisi mundur dan harus parkir dengan kondisi demikian serta AC-nya panas. Ingat bahwa Permenhub No. 32 Tahun 2016 merekomendasikan penggunaan mesin berkapasitas minimal 1300 cc untuk kepentingan taksi online. Limo aja ya?
Oh iya, sopir juga menginformasikan bahwa sistem komputer Limo memberlakukan speed limiter di kecepatan 120 km/jam sehingga itu bagus ketika penumpang meminta untuk perjalanan terburu-buru dan mengebut melebihi batas kecepatan. Hal ini juga mencegah Anda untuk ugal-ugalan ketika ingin cepat pulang atau kosongan di jalan tanpa penumpang dari tempat yang sepi. Bagus dong untuk keamanan dan keselamatan?
Ketiga, kapasitas angkutnya minim dengan maksimal empat orang penumpang. Hal ini kurang bagus ketika datang pemesan berupa geng ramai yang berisi hingga tujuh orang dengan kebutuhan mobil yang lebih besar seperti Xenia, Avanza, Ertiga, Mobilio, atau Xpander. Ya, bagaimana ya? Sebenarnya sih, jarang lah penumpang taksi online bisa lebih dari empat orang. Lagipula, aplikasi sudah memberitahu jumlah maksimal tamu yang diterima kecuali GrabCar Plus khusus pengincar kapasitas lebih dengan tarif lebih sebagai konsekuensinya. Jadi, salah siapa? Lagipula, bagasi Limo lebih luas dan berada di kompartemen terpisah sehingga pengalaman memandang ke belakang tentu lebih nyaman dan bau barang bawaan tidak menyebar ke kabin penumpang. Siapa tahu kan tamu bawa buah durian?