Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Toyota Limo Eks-Taksi untuk Narik Online, Lebih Baik Kan dari LCGC?

7 April 2019   12:29 Diperbarui: 7 April 2019   12:36 1602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Otomotif. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Suatu siang yang panas dan membosankan di Jakarta, saya memutuskan jalan-jalan sendiri naik taksi konvensional. Tanpa menginginkan tujuan yang jelas, saya hanya ingin melihat dunia luar dan berinteraksi dengan sang supir taksi. Seperti biasa, sebagai reviewer, mobil yang digunakan selalu menjadi perhatian dan kali ini adalah Toyota Limo alias kembarannya Vios.

Taksi konvensional zaman sekarang lebih menyenangkan dibandingkan taksi online. Dipesan mepet waktu melalui aplikasi, bisa. Dipesan jauh-jauh hari via telepon untuk dijemput pada hari dan jam tertentu, bisa. Tentukan kapasitas mobil yang dibutuhkan, bisa. Minta struk tanpa perlu mencetak sendiri, bisa.

Berbeda dengan taksi sepuluh tahun lalu, taksi zaman sekarang sudah pakai head unit single DIN yang bisa memutar radio FM, CD, atau musik dari USB. Lebih baiknya, kita diberikan fasilitas charging ponsel dan tetap bisa menggunakannya berkat fasilitas kabel microUSB atau USB-C untuk smartphone Android dan iPad terbaru serta kabel Lightning atau 30-pin untuk iPhone dan versi lebih lawas dari iPad. Kita tak perlu lagi mengeluh kebosanan dan tidak nyaman seandainya perjalanan macet dan lama. AC-nya pun cukup dingin meski menggunakan pengatur analog konvensional dan blower hanya ada di depan, ya namanya juga mobil taksi Limo.

Soal mesin, jangan diragukan lagi keandalannya. Limo ini sudah diandalkan sebagai taksi sejak lama dengan mesin 1500cc, kubikasinya besar juga ya. Jadi, tidak ada masalah soal akselerasi yang cepat dan kemampuan menanjak. Pengereman pun juga baik.

Kami pun merenung sejenak. Ketika perusahaannya tak lagi mau menggunakan jasa si Limo dan dijual ke publik, mengapa para pengemudi taksi online bermodal kere-hore tak mau meminangnya? Berdasarkan diskusi dengan sang sopir yang juga pernah narik taksi online, berikut dugaannya.

Pertama, stigma sebagai kuda capek yang sakit-sakitan. Logikanya memang bisa dinalar, dengan jarak tempuh harian dan kumulatif yang tinggi (biasanya sekitar 300 ribuan km), mobil ini lelah dan banyak komponennya yang bermasalah sehingga harus diganti sedangkan perusahaan tak mau mengeluarkan uangnya sehingga dilempar bebannya ke pemilik berikutnya. Kenyataannya, perusahaan taksi selalu merawat kendaraannya dengan baik agar menjamin keamanan penumpang di jalan dan kendaraannya cenderung sehat.

Mengapa akhirnya dijual? Karena penumpang bisa membedakan usia mobil berdasarkan tampilan eksterior dan penunjuk habisnya masa berlaku plat nomor. Meski mobilnya sehat, mereka tetap saja merasa tak nyaman dengan armada lama dan minta diganti yang baru. Untuk menghadapi masalah pertama, belilah armada dari perusahaan yang bereputasi baik, misalnya saja burung biru atau si gesit. Rekam jejaknya tentu lebih jelas, baik, dan mudah ditelusuri mengingat standar keselamatan pengemudi serta perawatan kendaraan yang lebih jelas dibandingkan pengemudi biasa yang sesukanya, apalagi mobil rental pribadi.

Kedua, kapasitas mesin yang besar terkadang membuat modal bensin tekor. Jika lebih banyak berjibaku di jalan raya dengan trek datar dan kemacetan bertubi-tubi, konsumsi bahan bakar menjadi boros sampai-sampai sang pengemudi rugi meski sudah menggunakan bensin sekelas Premium atau Pertalite. Kecuali bicara di tol, mobil berkapasitas mesin lebih rendah akan menggunakan putaran mesin yang jauh lebih tinggi demi bisa melaju dalam batas minimum sehingga konsumsi mereka berdua kurang-lebih setara.

Pertanyaannya, penumpang lebih senang yang mana jika ditawari mobil taksi online dengan harga setara? Saya sendiri memilih Limo, dibandingkan menumpang Datsun Go+ bekas yang tergolong odong-odong, Daihatsu Xenia 1000cc yang digas dalam-dalam demi bisa melaju kencang, Daihatsu Ayla 1200cc dengan putaran mesin tinggi dan bunyinya luar biasa padahal baru dipacu di kecepatan 40 km/jam, atau Datsun Go 2014 yang tak kuat menanjak apalagi dalam posisi mundur dan harus parkir dengan kondisi demikian serta AC-nya panas. Ingat bahwa Permenhub No. 32 Tahun 2016 merekomendasikan penggunaan mesin berkapasitas minimal 1300 cc untuk kepentingan taksi online. Limo aja ya?

Oh iya, sopir juga menginformasikan bahwa sistem komputer Limo memberlakukan speed limiter di kecepatan 120 km/jam sehingga itu bagus ketika penumpang meminta untuk perjalanan terburu-buru dan mengebut melebihi batas kecepatan. Hal ini juga mencegah Anda untuk ugal-ugalan ketika ingin cepat pulang atau kosongan di jalan tanpa penumpang dari tempat yang sepi. Bagus dong untuk keamanan dan keselamatan?

Ketiga, kapasitas angkutnya minim dengan maksimal empat orang penumpang. Hal ini kurang bagus ketika datang pemesan berupa geng ramai yang berisi hingga tujuh orang dengan kebutuhan mobil yang lebih besar seperti Xenia, Avanza, Ertiga, Mobilio, atau Xpander. Ya, bagaimana ya? Sebenarnya sih, jarang lah penumpang taksi online bisa lebih dari empat orang. Lagipula, aplikasi sudah memberitahu jumlah maksimal tamu yang diterima kecuali GrabCar Plus khusus pengincar kapasitas lebih dengan tarif lebih sebagai konsekuensinya. Jadi, salah siapa? Lagipula, bagasi Limo lebih luas dan berada di kompartemen terpisah sehingga pengalaman memandang ke belakang tentu lebih nyaman dan bau barang bawaan tidak menyebar ke kabin penumpang. Siapa tahu kan tamu bawa buah durian?

Keempat, mobil bekas taksi Limo yang dijual saat ini minim fitur dan aksesoris. Mulai bahas dari yang terlihat deh. Di bagian luar, door handle masih berwarna hitam, defogger kaca jendela tidak ada, high mounted stop lamp dan lampu kabut juga tidak ada, velg masih kaleng lagi. Masuk ke dalam, dasbornya juga tak dibekali MID sehingga tampil agak kudet. Bahan joknya juga bukan fabric atau kulit sintetis yang terlihat mewah dan enak diduduki, tetapi vinyl berwarna hitam. Masih baik ada headrest baik bagian depan dan belakang, ya daripada Wuling Formo. Kaca belakang? Masih engkol pakai tangan. Atur spion? Manual pakai tangan! Namanya juga taksi, cari bahan murah seperlunya yang tak mudah rusak dan mudah dibersihkan baik interior maupun eksterior. Mau enak dan mewah? Ya, modifikasi saja sendiri. Lebih enak menambahkan yang belum ada dibandingkan menjadikan yang sudah ada sia-sia dan susah-susah mengganti, kan?

Melongok ke bagian-bagian yang tak terlihat terkait fitur keselamatan, Limo juga banyak minusnya dari Vios. Airbag tidak ada, rem ABS-EBD-BA juga tidak ada, ya hanya ada fitur keselamatan standar seperti sabuk pengaman. Namanya juga taksi online, semakin banyak fitur semakin mahal harganya dan semakin tinggi biaya perawatannya, kan? Sekadar informasi, selisih Limo dengan Vios varian terendah tahun yang sama bisa lebih dari Rp30 juta loh. Lagipula, dengan budget setara, mobil seperti apa yang bisa kita dapatkan dengan usia relatif muda, tenaga mesin besar alias non-LCGC, dan fitur melebihi Limo, terlebih lagi MPV? Paling ya varian standar dan maharnya pun lebih dari Rp100 juta. Limo untuk taksi online? Bisa ditebus sekitar Rp70-90 jutaan.

Kalau kurang, modifikasinya cukup mudah dengan membeli komponen aftermarket milik Vios dan bisa mengganti head unit double DIN dengan mudah. Tentu berbeda dengan Datsun Go 2014, datang hanya dengan head unit untuk FM Radio dan USB serta modifikasi bodi dan sistem kelistrikan cukup signifikan diperlukan untuk menambah fitur, bahkan termasuk hanya sekadar memasang DVD di head unit.

Kelima, kalau sudah begini, jadi malu sama tetangga. Bagaimanapun kita mengganti emblemnya, surat kendaraan dan bagian tertentu mobil jelas menunjukkan bahwa tetap saja dia adalah Limo, bukan Vios! Bukan lagi tak eksklusif, bekas taksi malah. Mengapa harus malu? Setidaknya kita punya mobil dan mobil itu benar-benar layak untuk narik, daripada menganggur atau bergantung pada rental sehingga uang habis untuk menyewa tanpa pernah memiliki, ya kan? Suku cadangnya juga relatif murah karena basis penggunanya banyak dan berbagi bersama Vios, mulai dari komponen resmi sampai KW. Yang penting enak pakai dan irit.

Keenam, sulit mencari usia yang sesuai untuk memenuhi aturan aplikator. Perusahaan taksi biasanya baru akan mulai menjual armada di usia lima sampai enam tahun, jumlahnya pun tidak terlalu banyak, sedangkan aplikator mengharuskan kendaraan yang mendaftar maksimal berusia lima tahun. Jadi, sulit juga mencari armada taksi yang mampu memenuhi ketentuan.

Ketujuh, peluang periklanan yang minim. Perusahaan iklan tentu lebih senang memasang konten di mobil MPV dengan ukuran jendela dan bodi yang lebih besar sehingga efektivitasnya lebih maksimal. Bagaimana bisa memuat banyak informasi di bodi mobil seperti Limo yang tidak terlalu besar dan meliuk-liuk? Tenang, zaman mulai beralih ke videotron yang bisa diletakkan di atap mobil menggantikan lampu taksi atau tablet IHOOQ untuk ditonton penumpang, bisa mendatangkan uang juga kan?

Kedelapan, tidak mampu melibas banjir. Urusan ini, saya harus jujur bahwa saya speechless dan tidak bisa berkata apa-apa mengingat ground clearance dan bodi yang pendek. Begitulah adanya, mau diapakan lagi? Inilah sedan, menawarkan kenyamanan dan kemudahan naik tanpa harus melangkahkan kaki terlalu tinggi serta merasa mabuk ketinggian di dalamnya seperti ketika saya menumpang Daihatsu Terios. Kalau Anda tak mau sedan karena alasan banjir, mengapa banyak orang Jakarta berani membeli sedan dan hatchback bahkan yang mewah sekalipun?

Kesembilan, resale value yang jatuh karena bekas armada taksi. Iya? Tidak juga jika Anda membeli dari perusahaan terpercaya dan kondisi mobilnya tetap baik selama berada dalam kepemilikan Anda. Akan tetapi, memang faktor tangan kedua, bukan pertama, tetap memberikan sedikit pengaruh.

Akhir kata, kecuali poin kedelapan yang memang tak ada solusinya, saya merekomendasikan Limo jika memungkinkan untuk dijadikan armada taksi online dibandingkan mobil MPV berkapasitas mesin rendah (1200 cc atau kurang) beserta hatchback LCGC. Usianya relatif muda, harganya murah, mudah perawatan dan modifikasinya, lebih layak dan nyaman pula untuk penumpang. Periksa baik-baik dengan tenaga ahli sebelum memilih dan membawa pulang unit dari perusahaan terpercaya sehingga tidak bermasalah di kemudian hari. Pilih mana, dicemooh tetangga atau diberi penilaian buruk oleh penumpang?

Berapa harga yang harus dibayar untuk memboyong pulang Limo demi taksi online? Berkisar antara Rp70 sampai 90 jutaan dengan angsuran mulai dari Rp79 ribu per hari, murah kan? Ingat, hanya ada varian transmisi manual. Selain lebih hemat konsumsi BBM-nya, pengemudi taksi online biasanya laki-laki dan gentleman use three pedals!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun