Mohon tunggu...
Christian Evan Chandra
Christian Evan Chandra Mohon Tunggu... Penulis - Narablog

Memiliki kegemaran seputar dunia kuliner, pariwisata, teknologi, motorsport, dan kepenulisan. Saat ini menulis di Kompasiana, Mojok, dan officialcevanideas.wordpress.com. IG: @cevan_321 / Twitter: @official_cevan

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Tidak Apa-apa Negara dan Bank Pusing, Sing Penting Pemilik Kendaraan Pribadi Bahagia

22 Februari 2019   17:47 Diperbarui: 22 Februari 2019   18:20 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Selamat datang para Kompasianers. Berikut adalah sebuah tulisan yang coba saya ajukan pada 17 Januari lalu tetapi tidak lolos di berbagai media. Idenya masih cukup relevan dengan kondisi hari ini, tetapi mungkin gaya bahasanya seharusnya agak saya sesuaikan. Karena saya tidak sempat, saya mohon maaf, selamat membaca, dan semoga bermanfaat.

***

Akhir-akhir ini, mata dan telinga kita dipenuhi oleh pemberitaan terkait kampanye dan debat Pilpres, pro dan kontra terkait posisi KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu, serta ancaman teror ke rumah para pimpinan KPK. Jika bukan, pastilah itu berita prostitusi online yang heboh karena lagi-lagi melibatkan artis ibu kota. Akan tetapi, apakah perdebatan kita cukup sampai di situ?

Setelah lama tidak menonton acara berita di televisi, hari Rabu seminggu lalu saya disuguhkan dengan sebuah talkshow yang lagi-lagi mendatangkan tim sukses dari kedua kubu peserta Pilpres 2019. Salah satu topik bahasannya sangat menarik, yaitu dominasi pengerjaan konstruksi proyek infrastruktur komersil berupa jalan tol oleh BUMN karena tidak laku untuk ditawarkan kepada pihak swasta. Kubu petahana mengklaim hal ini terjadi karena masyarakat belum menyadari efisiensi yang bisa dilakukan dengan memanfaatkan infrastruktur tersebut dan terlalu berfokus pada harga yang harus dibayar, sedangkan kubu penantang lebih memerhatikan jumlah utang negara dan BUMN yang terus menggunung akibat proyek-proyek seperti ini.

Pemerintahan Pak Jokowi kali ini menurut saya rasanya menjadi periode dengan peresmian ruas jalan tol terbanyak sepanjang sejarah. Meskipun beberapa di antaranya sudah direncanakan di masa pemerintahan sebelumnya, hambatan terkait satu dan lain hal menyebabkan proyek-proyek tersebut baru selesai sekarang dengan sebagian besar di antaranya memang dibangun dan kini dikelola oleh BUMN.

Untuk bisa menyelesaikan semuanya, Pemerintah menggelontorkan dana yang tidak main-main dan rela menambah tumpukan utang negara dengan menerbitkan surat utang bersama para BUMN baik untuk dijual kepada investor domestik maupun mancanegara. Bahkan, surat utang teranyar yaitu SBR005 dijual dengan kupon yang tak main-main, minimal 8.15% per tahun. Hal ini tentu mengundang konsekuensi yaitu semakin besarnya pokok dan bunga utang yang ditanggung oleh Pemerintah dan BUMN, belum lagi rasio utang yang semakin besar dan membuat keuangan mereka semakin tidak sehat. Akan tetapi, mau dikatakan apa lagi, jumlah kendaraan yang terus bertambah dan kebutuhan akan waktu tempuh yang semakin cepat terpaksa membuat infrastruktur ini harus dibuat sebelum kemacetan yang terlalu parah terjadi dan merugikan masyarakat itu sendiri.

Belum selesai bicara soal jalan tol, kita dihadapkan kepada realita yang lain yaitu impor bahan bakar minyak (BBM) yang semakin hari semakin bertambah. Suka tidak suka, hal ini tentu berkontribusi negatif terhadap kondisi neraca perdagangan dan pembayaran, cadangan devisa negara, serta nilai tukar Rupiah yang cenderung melemah terhadap Dollar Amerika dari waktu ke waktu. Kita bersyukur saat ini Rupiah menguat dari posisi tertingginya di Rp15 ribuan ke teritori Rp14 ribuan, tetapi apakah tren ini akan terus berlanjut dan bisa bertahan lama?

Pemerintah pusat pusing, begitu juga dengan pemerintah daerah khususnya di ibu kota Jakarta. Ruas jalan yang terbatas, kesempatan yang terbatas pula untuk menambah luasnya, terus bertambahnya jumlah kendaraan yang melaluinya, dan kemacetan yang semakin hari semakin menjadi membuat otak para pejabat di sini harus berputar keras. Ide-ide pun muncul dengan berita terakhir yang saya dengar adalah wacana kenaikan tarif parkir hingga Rp50 ribu per jam dan penerapan ERP dengan tarif dinamis berdasarkan kondisi lalu lintas di seluruh jalan raya. Belum selesai bicara kajian terkait teknis penerapannya, masyarakat sudah memunculkan pro dan kontra terkait dua wacana ini.

Begitu banyak uang digelontorkan untuk membuat infrastruktur dan menyediakan kebutuhan bahan bakar kepada para pengguna kendaraan pribadi ketika di saat yang sama BPJS Kesehatan harus berutang ke fasilitas kesehatan dan mengurangi cakupan pertanggungan karena defisit yang terus menghantui dan kurangnya suntikan dana dari Pemerintah. Siapa yang dirugikan? Tentunya masyarakat kecil yang tak mampu berobat dengan dana sendiri ke rumah sakit untuk mengobati penyakitnya yang tergolong berat.

Ketika sedang berpikir keras sambil memahami dan menikmati perdebatan para narasumber, tiba-tiba teks di bagian bawah stasiun televisi tersebut memberitahukan bahwa OJK menurunkan uang muka minimum untuk membeli motor dan mobil menjadi nol persen sehingga saya semakin bingung, prihatin, dan khawatir. Dengan uang muka sebelumnya saja, pertambahan jumlah kendaraan sudah begitu menggila, biaya yang dikeluarkan untuk mereka tergolong luar biasa, dan kredit macet karena tak sanggup melunasinya terus bertambah sehingga likuiditas perbankan semakin hari semakin ketat, apalagi kalau uang muka nol persen alias tanpa DP? Aduh, sungguh kebijakan ini bertolak belakang dengan usaha mengurangi laju pertumbuhan kepemilikan kendaraan.

Memaksa para pengguna kendaraan pribadi beralih ke transportasi publik dengan cara menaikkan tarif jalan tol, tarif parkir, dan menerapkan ERP saat ini memang bukan jalan yang bijaksana. Pelayanan yang mampu diberikan saat ini masih jauh dari kata memadai dengan jumlah perjalanan yang kurang, cakupan area yang dijangkau masih kurang, waktu tempuh yang secara signifikan lebih lama, dan jaminan keamanan serta kenyamanan yang juga masih kurang. Oleh karena itu, banyak di antara masyarakat kita yang masih sangat membutuhkan kehadiran kendaraan pribadi untuk mendukung mobilitas mereka. Tidak mungkin kan, di zaman yang sekeren sekarang, tiba-tiba kita naik becak, sepeda, atau mungkin kuda?

Akan tetapi, bukan berarti kita justru memberikan jalan untuk mempermudah pembelian kendaraan pribadi baru. Bukannya memotong kewajiban uang muka, justru kita perlu "investasi" uang yang lebih besar di depan untuk memastikan kemampuan mereka membeli kendaraan dan mengurangi laju pembelian kendaraan baru. Pakai DP saja masih banyak kredit macet, apalagi tidak pakai DP yang berarti cicilannya semakin mahal dan belum yang lain-lain, duh.

Pertama, seseorang boleh membeli kendaraan jika sanggup untuk mengasuransikan baik diri maupun kendaraannya. Oleh karena itu, mereka harus menunjukkan bukti kepesertaan pada program proteksi jiwa, kecelakaan, dan kesehatan yang masih aktif. Kendaraan yang dibeli pun harus langsung diasuransikan lengkap dengan tanggungan pihak ketiga jika memenuhi kriteria underwriting, khusus untuk mobil berusia tiga tahun atau kurang wajib menggunakan asuransi komprehensif (all risk). Jangan sampai, bisa beli kendaraan tetapi tidak siap hilang, memperbaikinya ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, dan memberi tanggung jawab kepada korban ketika menyebabkan mereka celaka.

Kedua, subsidi pajak untuk mobil berjenis LCGC haruslah tepat sasaran, yaitu kepada individu yang saat melakukan pembelian tidak memiliki mobil lain. Jika sudah memiliki mobil dan/atau ingin menggunakan nomor polisi custom, individu boleh saja membeli mobil tersebut tetapi tidak diberikan subsidi pajak. Orang mampu mau diberi subsidi pajak, seharusnya malu dong?

Ketiga, ketika membeli kendaraan, individu harus melampirkan nomor rekening perbankan yang sudah aktif sebelumnya dan biasa digunakan untuk bertransaksi. Hal ini dilakukan sebagai sumber autodebet jika nantinya individu lalai melakukan pembayaran pajak kendaraan dan/atau lupa memperpanjang asuransi kendaraannya. Bisa beli kendaraan tetapi tidak bayar pajak, apa kata dunia?

Keempat, penerapan pajak progresif saat pembelian kendaraan dan pembayaran pajak tahunan harus terus dilakukan, bahkan dengan meningkatkan tarif pajak untuk pembelian kendaraan ketiga dan seterusnya. Jadi, kalau tidak siap bayar pajaknya, jangan beli kendaraan banyak-banyak ya.

Kelima, kendaraan yang memiliki kapasitas mesin di atas kebutuhan haruslah dikenakan pajak tambahan. Misalnya, sepeda motor di atas 150cc, mobil berkapasitas dua orang di atas 660cc, mobil hatchback dan sedan di atas 1200cc, juga mobil MPV dan SUV di atas 1500cc (bensin) atau 2500cc (diesel). Belum tentu juga tenaganya terpakai, untuk apa beli kendaraan dengan kapasitas mesin yang besar? Menang gengsi, BBM-nya boros, hanya menambah berat beban impor negara.

Keenam, kendaraan dengan konsumsi luasan ruas jalan di atas kebutuhan rata-rata juga haruslah dikenakan pajak tambahan. Misalnya, motor gede (moge) atau mobil sport berkapasitas dua orang, yang punya pasti orang kaya kan?

Ketujuh, jika perlu, individu yang ingin membeli kendaraan mewah diwajibkan untuk mengikuti program BPJS Kesehatan kelas I dan membeli sejumlah saham BUMN terkait infrastruktur yang tidak bisa dijual selama kendaraan tersebut masih dimilikinya. Jangan hanya mau menikmati ruas jalan yang mulus dan lancar, tetapi juga harus berkontribusi terhadap permodalan mereka yang membangunnya dan membantu masyarakat yang berkesulitan.

Kedelapan, jika perlu pula, setiap pemilik kendaraan diharuskan menunjukkan kartu e-money khusus dengan saldo yang cukup untuk mendanai kebutuhan bahan bakar, parkir, dan biaya jalan tol kendaraannya selama setahun setiap kali membayar pajak tahunan. Adapun besaran yang bisa ditetapkan paling tidak Rp1 juta untuk sepeda motor atau Rp5 juta untuk mobil. Jangan sampai, hanya sanggup membeli kendaraan saja tetapi ujung-ujungnya dibungkus di rumah karena tak sanggup membiayai operasionalnya.

Usaha-usaha untuk membatasi kepemilikan kendaraan pribadi memang selalu menimbulkan pro dan kontra, khususnya terkait nasib investasi pengusaha otomotif dan mata pencaharian para pekerjanya. Akan tetapi, jika hal ini tidak dilakukan, masalah kemacetan dan tingginya kebutuhan infrastruktur seperti ini tidak akan terselesaikan.

Sampai kapanpun, akan sulit mengalihkan masyarakat ke transportasi publik dan mengurangi kebutuhan untuk membangun ruas jalan baru. Hal terpenting yang pada akhirnya harus dicapai adalah penggunaan uang untuk hal-hal yang benar perlu, menyasar masyarakat kelas bawah, dan mengurangi kebutuhan utang baru. Jangan sampai, pemilik kendaraan pribadi berbahagia di atas kepusingan negara, BUMN, dan dunia perbankan.

Christian Evan Chandra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun