#BangunJakarta
Jakarta adalah ibu kota negara, kota dengan kehidupan begitu padat dan aktif setiap harinya selama 24 jam penuh. Pria dan wanita beraktivitas di sini, tua muda beraktivitas di sini, cari makan cari ilmu di sini, semuanya berlangsung di sini. Jakarta adalah potret negeri ini, potret yang patut kita jaga citranya di mata diri kita sendiri dan masyarakat global. Tidak hanya sekadar citra, kenyamanan menjadi faktor yang lebih penting dan sudah sepatutnya dipikirkan dengan seksama.
Akan tetapi, apa jadinya jika Jakarta tampil sebagai kota yang kotor dan penuh dengan sampah? Air sungai tampak berwarna hitam, sulit mengalir, dan tak jarang bau, kedalaman sungai terus mendangkal dan berkontribusi terhadap banjir yang melumpuhkan berbagai aktivitas. Jalanan umum tak luput dari sampah yang dibuang oleh para pengguna jalan. Tumpukan sampah tak jarang ditemukan tak jauh dari permukiman warga atau bahkan pusat keramaian. Masuk ke dalam pusat perbelanjaan, sampah itu pun masih mudah sekali dilihat. Ya, sampah makanan sisa dari apa yang tidak dihabiskan oleh para pengunjungnya.Â
Lingkungan yang kotor akan memberikan citra kepada penghuninya sebagai pribadi-pribadi yang tidak bersih dan tidak sehat, bukan? Itu semua adalah bagian dari masa lalu yang tak perlu lagi kita lihat karena Jakarta terus membangun diri menjadi lebih baik lagi, termasuk dalam menangani sampah. Jakarta terus berkembang dalam menangani sampah yang dihasilkan mencapai tujuh ribu ton per harinya berdasarkan pernyataan di Beritasatu pada Januari 2016 lalu, tentu jumlahnya hari ini akan lebih besar. Sampah apa saja itu? Sampah makanan, sampah kertas, sampah plastik, sampah elektronik, bermacam-macam tentunya.
Pertama, Jakarta membangun infrastruktur untuk mengolah sampah bernama Intermediate Treatment Facility alias ITF. Bersama investor dari Finlandia, Pemprov DKI Jakarta akan membangun ITF pertama di Jakarta yang sempat tertunda pada 2013. Dengan gelontoran dana sebesar USD 250 juta, diharapkan sampah akan berubah menjadi sumber energi ramah lingkungan di masa yang akan datang. Simpelnya, ITF berbasis incinerator ini akan menjadikan Jakarta salah satu pilot project dari tujuh kota di Indonesia yang memiliki pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) dan berkapasitas 40 MW. Sampah yang diolah tidak akan dibawa dulu ke tempat pengolahan sampah, melainkan langsung ke fasilitas ITF.
Kedua, Jakarta terus membersihkan dan mengangkut sampah yang ada. Sampah di sungai, pintu air, saluran air, dan fasilitas-fasilitas umum segera dibersihkan, termasuk setelah penyelenggaraan suatu acara tertentu. Sampah-sampah tersebut diangkut dengan gerobak sampah, perahu lintas, truk sampah, dan motor pengangkut sampah. Ke mana? Bisa ke tempat penampungan sampah, tempat pembuangan sampah, atau dibawa untuk dimusnahkan dengan mesin seperti yang dilakukan di Kepulauan Seribu. Lalu, petugasnya siapa? Inilah yang kita kenal sebagai PPSU berpakaian oranye atau sering disebut pasukan oranye. Sistem dibangun sedemikian rupa dan gaji diberikan dengan layak sehingga kinerja membersihkan sampah bisa optimal. Ingin tahu bagaimana truk sampah dan para pekerja dalam menjalankan misi mereka? Sudah bisa dipantau melalui portal cerdas Jakarta Smart City. Jika sampah tidak terangkut dan menimbulkan ketidaknyamanan, hal ini bisa diadukan melalui aplikasi Qlue.
Ketiga, Jakarta mendukung keberadaan bank sampah di tingkat RT/RW. Sampah dipilah terlebih dahulu, mana yang mungkin didaur ulang dan mana yang memang harus dibuang, sebelum yang masih bisa didaur ulang dibawa ke bank sampah. Untung sama untung, terciptalah lapangan kerja baru. Nah, ke depannya transaksi bank ini akan menggunakan sistem non tunai. Bank ini bukan hanya sekadar wacana, melainkan sudah terlaksana, salah satunya di Rumah Susun Pesakih, Cengkareng.
Keempat, Jakarta memperbaiki lingkungan yang selama ini mengalami degradasi kualitas karena pengaruh sampah dan pengangkutannya. Misalnya saja di TPST Bantar Gebang, perbaikan dan pelebaran jalan akan dilakukan ketika bantuan juga akan diberikan untuk memperbaiki lingkungan. Di salah satu tempat lainnya di Jakarta Pusat, saya pernah melihatnya di televisi tetapi saya tidak ingat lokasi persisnya, ada sistem pengolahan air yang memungkinkan air sungai menjadi bersih meskipun sebelumnya sempat tercemar oleh sampah.
Kelima, Jakarta berusaha menekan produksi sampah itu sendiri dan mencegahnya jatuh di tempat yang salah dengan membangun pemikiran warga Jakarta. Bagaimana menekan produksi sampahnya? Tentu memanfaatkan ilmu pengetahuan, tepatnya cacing untuk memakan sampah-sampah organik di tempat penampungan sampah sehingga jumlah yang diangkut ke tempat pembuangan akhir berkurang. Sisanya? Ya tetap harus dibuang ke tempat yang tepat, bukan dibuang sembarangan. Peraturan dibentuk dan penindakan tegas dilakukan kepada para pelanggar.
Kita harapkan Jakarta bisa lebih baik dari sekarang. Jika sekarang Jakarta tampak bersih dan indah, harapan ke depannya Jakarta bisa bebas sampah seperti yang diharapkan Pemprov terjadi pada tahun 2020, lebih cepat lebih baik. Berpartisipasilah, kurangi penggunaan bahan sekali pakai, buang sampah pada tempatnya, daur ulang sampah yang masih bisa diubah bentuknya atau serahkan kepada pihak yang bisa melakukannya, dan bayarlah pajak sehingga investasi pembangunan infrastruktur bisa berjalan lancar.
2017 - Christian Evan Chandra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H