Mohon tunggu...
Moersalin M
Moersalin M Mohon Tunggu... -

Hanya Pengembara yang terlalu cinta dengan negerinya.\r\n\r\nhttp://moersalins.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Fakta Lain Kesehatan Indonesia

21 Juni 2012   12:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:42 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin ada diantara kita yang rada cuek dengan permasalahan
kesehatan di Indonesia. Kita merasa tidak tahu atau malah tidak mau
tahu dengan peliknya sistem yang kita punya. Sering kita lepaskan
saja problema tersebut ke pihak pemerintah untuk menjalankannya. Kita
tinggal menunggu mereka untuk melakukannya untuk kita, passively.
Memang permasalahnnya tak serumit yang dialami negara lain, tapi
jika dibiarkan, ibarat bisul di pantat yang menunggu waktu pecah,
tidak terlihat tapi susah untuk duduk, terasa hangat namun perih.
Permasalah yang ibarat penyakit kronis yang terus menggerogoti
penduduk bangsa, permasalahan yang seringkali di alamatkan ke mereka
yang ber jas putih. Walau sebenarnya semua orang berhak untuk
berkontribusi, berhak untuk menyuarakan solusi.
Kenapa ini penting?
Pertama sering kita dengar istilah “orang miskin di larang
sakit”. Kalimat ini berkonotasi banyak, tidak hanya si miskin yang dilarang sakit semata, tapi banyak alasan kenapa mereka tidak
diizinkan untuk sakit. Pertama mungkin karena jika si miskin sakit,
maka ia tak punya uang untuk berobat. Jika pun punya, pelayanan yang
dia dapatkan jauh berbeda dengan sikaya. Jika uangnya habis saat
sedang berobat, ia harus pulang ke rumah dengan penyakit di tubuhnya.
Terus menderita, bahkan banyak yang pasrah dan menunggu malaikat
pencabut nyawa untuk menghentikan bebannya.
Kedua, jika si miskin sakit, berarti seluruh keluarganya sakit,
mereka ikut menagungg beban, mencoba merawatnya, parahnya lagi jika
yang sakit adalah pencari kerja utama dalam keluarga, sang ayah
misalnya.
Ketiga, kalaupun si miskin sakit, hal itu tidak memberi manfaat
yang lebih buat swasta yang memiliki rumah sakit, toh si miskin ini
tak akan berobat kesana dan tak akan mampu membayar sesuai dengan
standar mereka. Dalam kata lain, orang miskin sakit tidak akan
memberikan keuntungan ekonomis bagi sebagian penguasa ekonomi
negara.Beda ceritanya jika ada orang kaya yang sakit, mereka akan
jor-joran mengeluarkan uangnya, dirawat di rumah sakit internasional
di ruangan VVVIP, semua pemerikasaan yang kadang gak penting dengan
keadaan si sakit ikut dilakukan, obat yang paling mahal juga
diberikan, ahli-ahli super spesialis berkumpul untuk hanya satu orang, pokoknya wah lah. Pihak rumah sakit senang, dokter dan
perawatpun ikut kenyang. Ekonomi negara juga berputar jika orang kaya
yang sakit.
Pertanyaan selanjutnya, apakah ini adil?
Sesungguhnya kesempatan untuk berobat dan mendapatkan pelayanan
yang layak adalah hak asasi manusia, namun hal ini sangat jarang kita
sadari. Kita sudah terlanjut beranggapan bahwa kesehatan adalah
masalah pribadi, kalau sakit ya berobat sendiri, beli obat sendiri,
dan sebagainya. Padahal ini adalah tanggung jawab negara untuk
mengaturnya, tanggung jawab seluruh warga untuk memastikan semua
orang lain sesama warga negara untuk hidup layak dan sehat.
Sistem kelas (atau membedakan qualitas pelayanan
berdasarkan kesanggpan untuk membayar) yang masih eksis di rumah
sakit saat ini sangat bertentangan dengan hak asasi manusia.

Karena sebenarnya setiap orang yang sakit, apapun penyakitkan, apapun
status sosialnya, berapapun kekayaannya, maka mereka harus memperoleh
standar pelayanan yang mereka butuhkan, tidak boleh lebih, tidak
boleh kurang. Sekali lagi, hal ini sangat jarang di ketahui warga
negara kita. Padahal hal ini sudah menjadi semacam kepercayaan bagi
penduduk negara-negara lain yang sudah duluan maju dari kita; bahwa
akses yang sama untuk pelayanan kesehatan adalah hak bagi seluruh
warganya.
Nah, jika orang miskin yang tidak punya uang, tidak punya
pekerjaan tetap, dan tidak mampu membayar kalau sakit, siapa yang
harus menanggung sebenarnya?
Jawaban umumnya adalah warga lain yang sehat, mempunyai pekerjaan
dan mempunyai kelebihan finansial dari yang dia butuhkan. Sistem ini
telah lama dipakai di negara maju, sehingga sangat wajar jika kita
melihat warganya bertahan hidup lama dalam keadaan sehat walafiat. Jerman misalnya, telah memperkenalkan sistem ini lebih dari seratus
tahun yang lalu, jauh sebelum perang dunia pecah. Begitu juga
Inggris, dengan sistem pajaknya yang ketat, akhirnya bisa memastikan
sistem kesehatan mereka salah satu yang terbaik di dunia.
Dan dalam hal ini, janganlah kita contoh sistem Amerika Serikat.
Sampai saat ini, biaya kesehatan mereka adalah yang terboros dan
sistem kesehatan mereka adalah salah satu yang terjelek untuk ukuran
negara maju. Hal ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang
mereka pakai dalam sistem kesehatan. Dulu Bill clinton pernah
memperjuangkan hal ini, tapi kandas di tangan penguasa asuransi, kini
obama juga berjuang untuk hal ini, tapi belum ada tanda-tanda akan
berhasil, penguasa kapital lebih kuat disana.
Kembali ke negara kita!Sistem pembayaran “out of pocket”
atau bayar sendiri setiap kali berobat, sudah menjadi tradisi dalam
sistem kesehatan kita. Tidak ada yang salah dengan sistem ini memang,
selama si sakit sanggup membayar untuk biayanya, dan si dokter mau
jujur untuk memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Namun
kenyataannya tidak seperti itu, sering sekali pihak pasien, yang
dalam hal ini adalah pihak yang kurang tahu tentang permasalahannya
sendiri, tidak tahu sakitnya apa, bagaimana engobatannya, butuh
biaya berapa dan sebagainya, menjadi pihak yang dirugikan. Kurang
pengetahuan tersebut menjadi kunci inggris yang menjadikan pihak
dokter, rumah sakit atau pemberi pelayanan menjadi penguasa. Sering
kita dengar ada orang biasa yang awalnya cukup mampü untuk
menghidupi diri dan keluarganya dari pekerjaan serabutan, akhirnya
jatuh sakit dan menjadi miskin karena seluruh hartanya habis untuk
biaya berobat. Sakitnya kemudian tidak sembuh sembuh, malah bertambah
parah, utang disana sini, tidak bisa bekerja, dan terus sengsara.
Ánehnya lagi, dari seluruh uang yang dia keluarkan, seluruh rumah
sakit yang ia kunjungi, ia tidak pernah tahu apa diagnosa yang
ditegakkan untuk dia. Sudah jatuh ketimpa tangga, terus tangganya
rusak dan harus ganti karena tangganya milik tetangga, sedangkan
dianya harus berobat pula.
Kalau sudah begini, siapa yang salah?
Seperti saya sebutkan tadi, dalam kontek ini tidak ada yang salah,
karena sistem ini kita sendiri yang membuatnya. Yang salah adalah
ketika kita tidak mau merubahnya kearah yang lebih baik. Pemerintah
(dan para wakil rakyat) dalam hal ini bak supir bus, yang kita pilih
untuk membawa kita ke arah yang kita inginkan. Adalah hak kita untuk
menegur sang supir supaya memilih jalan yang lebih bijak, sehingga
kita penumpang bisa mencapai tujuan yang kita inginkan, dalam keadaan
sehat walafiat tentunya.Sekian
dulu
moersalin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun