Mohon tunggu...
Moersalin M
Moersalin M Mohon Tunggu... -

Hanya Pengembara yang terlalu cinta dengan negerinya.\r\n\r\nhttp://moersalins.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Haruskah Kenaikan BBM di Demo (Dengan Anarkis?)

28 Maret 2012   12:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Haruskah kenaikan BBM kita demo rame-rame?

“Harus dong, yang sengsara kan rakyat kecil kalo BBM nya naik”, itu jawaban yang pernah kuteriakkan, ketika statusku masih mahasiswa sebuah universitas negeri yang tidak begitu terkenal, ketika ikut-ikutan demo saat BBM naik beberapa tahun yang lalu.

Dan sekarang kejadian yang sama terulang lagi, tapi semua aksi demo hanya bisa kutahu lewat layar TV, maklum aku sedang terusir keluar negeri. Terasa sedih ketika melihat kawan-kawan mahasiswa yang kadang “sedikit” anarkis dalam berdemostrasi, merusak fasiltas bahkan sampai harus berdarah-darah. Haruskah ini terjadi untuk menyelamatkan negeri? Tak adakah cara lain yang lebih bijak?

Well, aku yang menulis ini bukan ahli ekonomi, bukan pula ahli politik, bahkan aku selalu golput dan hanya akan memilih di pemilu suatu hari nanti, disaat anggota dewannya tidak lagi digaji seperti di norway saat ini.

Aku juga tak paham dengan permasalahan BBM, apalagi mengerti masalah energi, tapi sebagai manusia yang masih punya akal dan jari, aku coba mengetik.

Kemarin aku sempat menjadi “penerjemah” seorang pejabat daerah yang melakukan meeting dengan seorang profesor di sebuah universitas yang terkenal dengan technology geothermal di Jerman. Intinya mereka membahas tentang rencana training peralatan explorasi di beberapa titik di bumi pertiwi, walau Indonesia punya cukup sumberdaya manusia untuk hal ini, tapi butuh beberapa alih teknologi yang memang (hanya) dipunyai instasi si profesor ini. Dari kerjasama ini, keduanya akan saling menguntungkan, begitulah kesimpulannya.

Yang menarik adalah ketika kadang-kadang aku tidak tahu maksud istilah-istilah yang mereka gunakan dalam diskusi, tapi sebagai orang sombong, keterjemahkan saja apa adanya, toh mereka saling mengerti. Meeting pun selesai, kedua belah pihakpun senang.

Selesai meeting, aku menjumpai seorang kawan yang sedang PhD geothermal di kampus itu, dia asli indonesia, dosen sebuah kampus yang  juga tidak terkenal,  dan juga ikut dalam rapat tadi. Dia tahu bahwa aku tak tahu sama sekali dengan subjek pembicaraan, sehingga padanya aku meminta untuk dijelaskan kembali, tentang apa sebenarnya yang terjadi, berapa besar sumber daya energi yang kita punyai!.

Dia memulai dengan sebuah kalimat panjang dan wangi bak terasi. “tau gak kamu kalau 60% lebih sumber daya energy terbarukan ada di Indonesia? Kita punya persentase geothermal terbanyak di dunia, matahari yang selalu ada, anginnya kencang luar biasa? Ombak laut juga tidak kalah banyaknya? Kalau salah satu saja di gunakan, geothermal misalnya, 26 jam listrik gak akan mati-mati", sebut dia sedikit berhiperbola.

Aku menelan ludah, senyap, dan meminta di jelaskan lagi.

“kita punya kekayaan alam lebih dari apa yang kita butuhkan, sedang jerman cuma punya ini (menunjuk ke kepala), nah, kalo saja dari dulu ini (geothermal) kita garap, gak akan ada demon-terasi kayak di TV, memang biaya awal sedikit mahal, tapi entar kan bisa murah, gak perlu cari BBM lagi, mobil bisa pakai listrik, motor, kereta, tinggal cas waktu malam saja, bisa kan?” jelasnya lagi.

Kali ini aku tidak berkomentar, tapi mencoba mencerna informasi baru yang belum pernah aku tahu. Ya, benar-benar baru, cara berfikir juga baru.

Sampai dirumah, aku masih penasaran dengan penjelasan kawan tadi. Kucoba berselancar di dunia maya, mencoba mendapatkan jawaban sendiri, membaca apa saja yang layak di baca dan memberi informasi tanpa yang netral tanpa menjohok dan memojokkan orang itu dan ini.

Lewat catatan manufakturing hopenya dahlan iskan, aku temukan jawaban, bahwa masalah listrik sudah kronis sejak zaman republik ini berdiri, berimbas pada masalah pangan, ekonomi dan edukasi. Dari tulisan2 lain aku jadi tahu masalah BBM juga dijadikan kendaraan politik oleh penguasa2 negeri. Tapi untuk ini aku tidak mau menyambung bacaan, toh aku tidak akan memilih siapapun dalam pemilu kali ini.

Selanjutnya, lewat chatting, aku coba diskusi dengan kawan yang ahli akutansi dan keuangan dalam negeri, dan darinya kutahu memang keadaan dunia global yang memang membuat penguasa harus menaikkan BBM, toh di eropa ini BBM tidak (lagi-sepernuhnya) di subsidi.

“BBM naik itu penting untuk mempertahankan ekonomi bangsa, biar gak sekarat kayak di yunani, begitu kata seorang kawan yang memang “ngikut” dengan perkembangan masalah ini. Dia mencontohkan betapa banyak PNS yg gajinya harus dipotong kalo BBM tetap di harga yang sama, petani juga akan kena imbasnya, dan bisa bisa terancam resesi ekonomi”....wah...bahasanya udah mulai tinggi...gk ngerti!

Dan, terakhir kuminta pendapat dia, kalau memang BBM naik itu penting untuk mempertahankan ekonomi, kenapa banyak orang yang demo di sana sini? “ lha itu kan di bayar, demo itu kan juga profesi?” jawabnya bak seorang politisi kelas teri.

“Trus kalo mahasiswanya yang demo?” Tanyaku lagi.

“Alaah, itu kan kayak kau dulu yang malas masuk kuliah, demo sana sini dengan alasan sebagai penyambung lidah rakyat, padahal kau tahupun gak apa yang kau demo tiap hari......” jawaban yang membuatku KO dan mati suri.

Well, mencoba berkesimpulan, seharusnya kita coba cermati dengan hati nurani, apakah memang perlu BBM itu dilambungkan lagi? Kalau perlu, apakan pemerintah bisa menjamin agar produksi petani bisa terbeli (bulog misalnya?) sehingga perputaran uang tetap sehat dan terjadi? Kalau memang bisa, kenapa tidak kita terima dengan senang hati, sambil terus bekerja dan terus mencoba menggunakan energi alternativ yang kaya di perut bumi?

Bagaimana dengan tawaran pak iskan agar kita sama-sama memusuhi BBM dan menggunakan energi listrik yang bisa terbarui? aku sangat setuju. Kalau nanti ada sepeda listrik buatan dalam negeri walau tak sekencang ferari, akan kujual kambing kakekku dan beli itu sepeda, biar hemat energi dan BBM bukan masalah lagi.

Sudah saatnya kita beralih ke energi yang lebih mumpuni. Sudah saatnya kita tinggalkan anarkisme dan kembali belajar, bekerja dengan semangat dan terus mengasah kreativitas diri. Sudah saatnya kita berdemonstrasi dengan pikiran dan hati nurani!

Berlin. 28 marz 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun