Mohon tunggu...
Meta Maftuhah
Meta Maftuhah Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan UMKM dan survey sosial ekonomi yang senang menulis blog.

Visit my blog : http://www.ceumeta.com Contact : meta.maftuhah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Mimpi Kaya dari Berkebun Sayur," Harapan Petani Kota Kelas Mikro

22 Mei 2019   20:41 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:09 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu saya menatap 0,5 ha tanah  sewa yang masih kosong. Baru sepekan kami melakukan pengolahan lahan. Sebagian sudah kami tanami tomat dan kol, sebagian lagi masih menunggu informasi pasar membaik. Harapan saya semoga lahan yang saya tanami memberikan hasil yang baik, tidak seperti kebun cabe 7 tahun yang lalu."

Sejak tahun 2012, saya yang sama sekali tidak punya pengetahuan budidaya pertanian tercemplung di dunia pertanian. Walau pernah kuliah di Fakultas Pertanian, tapi berhubung mengambil jurusan Teknologi Pertanian, pengetahuan budidaya pertanian bisa dibilang nol. Repotnya, banyak orang yang mengira bahwa semua lulusan Fakultas Pertanian bisa bertani, dan itu tidak tepat. Pengalaman bertani tahun 2012 bisa dibilang tidak mulus, tetapi membuat saya tidak kapok bertani. Kegiatan satu ini terus terang dapat membuat anda ketagihan. Tidak percaya, silakan dicoba. 

Belajar Jadi Petani, Tidak Semudah Membuat Kue

Bermula dari ajakan seorang teman, senior yang merupakan pengusaha  pertanian. Dia membutuhkan supervisor untuk mengawasi unit usaha budidaya yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan pengolahan saos yang terkenal. Penasaran karena belum pernah terjun di dunia pertanian membuat saya menyanggupi. "Toh, hanya mengawasi pengadaan kebun. Untuk supervisor di lapangan sudah ada mandor yang menyiapkan." Pikiran sederhana saya saat itu. Dan satu hal, masuk di dunia pertanian tidak seperti sektor lainnya. Yang dihadapi adalah mahluk hidup dengan segala problematikanya. Berbeda dengan usaha makanan yang saya jalani sebelumnya. Semua serba terukur, bisa diatur sesuai maunya kita. Mengurus tanaman, apalagi sayuran, ibarat mengurusi bayi yang baru lahir. Begitulah yang saya rasakan saat itu.

Sebagai sebuah sistem yang kompleks, sub sistem di sektor pertanian sangat berhubungan satu dengan yang lain. Mulai dari budidaya, pasca panen, distribusi, hingga pemasaran. Salah satu, bisa fatal. Terlewat satu tahap, kita bisa kehilangan uang seharga satu buah rumah tipe 200 di daerah perkotaan Bandung. Produk pertanian dikenal perishable yang artinya sangat mudah rusak. Salah penanganan, hasil panen yang indah akan menjadi busuk. Harganya mahal Ferguso, jangan main-main dengan bisnis pertanian. Sehingga saya sering tidak habis pikir dengan para petani yang walaupun gagal panen berkali-kali tapi masih dengan setia tidak berpindah profesi. Sehingga salah seorang teman pernah berkata, kalau petani itu adalah pejudi yang paling handal. "Kalau tidak kena harga murah, ya kena hama. Dan hebatnya petani itu tidak pernah kapok."

Jangan tanya business plan atau laporan keuangan, seperti berbagai teori bisnis yang saya tekuni sekarang. "Yang penting, pinjaman ke toko tani bisa dibayar. kalau tidak terbayar, ya pinjam lagi." Begitulah kondisi sektor pertanian saat itu, dan hingga hari ini. Sehingga beberapa teman yang bekerja sebagai account officer (AO) atau mantri kalau di bank pemerintah yang merakyat, sudah punya daftar mana daerah hijau dan mana daerah hitam Pokoknya kalau masuk daerah hitam, jangan sampai terjebak, karena pinjaman banyak yang tidak kembali. Apakah karena petaninya nakal? banyak faktor mulai dari gagal panen, hingga kebiasaan yang sering menghabiskan uang saat panen dan tidak mengelola keuangan. Sehingga pinjaman justru tidak terbayar. 

Berbeda dengan pelaku usaha sektor lain, diantaranya pembuat kue yang sedang menjamur di bulan Ramadan. Semua punya rencana, berapa modal yang akan dikeluarkan, berapa produksi yang akan dihasilkan. Sehingga di akhir bulan Ramadan, di rekening akan tersimpan sejumlah uang hasil penjualan kue. Yang membuat para emak keranjingan berjualan kue di bulan Ramadan, walaupun sehari-hari bukanlah bakul kue.

dok.pribadi
dok.pribadi

Mengulas Sistem Pertanian yang Kompleks

Seperti saya tulis sebelumnya, kalau sub sistem pertaniat terhubung satu sama lain. Satu terputus, pasti akan terjadi masalah. Kondisi ini sudah seak lama menjadi perhatian banyak pihak. Tetapi, hingga hari ini, manajemen rantai pasok sektor pertanian masih belum selesai dibahas. Secara umum, terdapat 4 sub sistem, di sektor pertanian, yaitu on farm dan off farm, yang terdiri dari : 1. Budidaya, 2. Pasca Panen, 3. Distribusi dan 4.pemasaran Beberapa pihak ada yang memisahkan distribusi dan pemasaran, dalam beberapa jenis komoditi dapat terpisah, tetapi umumnya menjadi satu rangkaian.  Kondisi masing-masing sub sistem adalah sebagai berikut :

dok.pribadi
dok.pribadi

1. On Farm (sub sistem budidaya)

Di bandingkan sub sistem lainnya, budidaya merupakan sub sistem yang cukup kompleks. Budidaya yang dikenal sebagai on farm, dapat dibagi dalam 4 tahapan, yaitu persiapan lahan, pembibitan, pemeliharaan dan panen. Di tahap ini, semua saling berkaitan. Mulai dari persiapan lahan, saat ini beberapa wilayah sudah menggunakan alat mesin pertanian, tetapi di beberapa daerah masih memerlukan tenaga manusia. Penyebabnya adalah lahan yang terasering. Walaupun menurut sertifikasi yang disusun Kementan yang dikenal dengan istilah PRIMA, ada aturan dalam penggunaan lahan, ya, di lapangan ceritanya lain. Persiapan lahan merupakan tahap yang membutuhkan biaya lumayan besar. Mulai membuka lahan, membalik, hingga memberikan pupuk dasar, bisa 1/3 dari modal digunakan untuk tahapan ini. Persiapan lahan yang baik menjadi kunci awal kesuksesan bertani. Sekarang banyak dilakukan treatment untuk membuat tanah menjadi gembur, banyak humus. Kalau tanah tidak gembur, bagaiman tanaman akan tumbuh subur?

Pembibitan juga menjadi kunci sukses kedua. Kalau manusia, tahap pembibitan ibarat bayi baru lahir. Harus disimpan di ruangan khusus dengan treatment khusus. Petani sudah sangat "jagoan" membuat bibit yang baik. Bibit yang baik, berasal dari benih yang baik. Urusan benih, ternyata masih jadi masalah. Saat ini, mudah mencari benih, ada di supermarket dengan harga setara semangkuk mie ayam. Sayangnya bukan petani yang membuat, karena banyak perijinan yang harus disiapkan.

Pemeliharaan tanaman, perlu juga pengetahuan yang cukup. Saat ini petani memiliki masalah yang pelik berkaitan pemeliharaan tanaman. Untuk menggunakan teknologi budidaya, investasi dibutuhkan cukup besar. Bertani di lahan, tentunya punya resiko, hama dan penyakit. Memerlukan berbagai sentuhan supaya tanaman selamat sampai panen.  Saat ini,  bertani cabe seluas 5000 m2, saya harus merogoh kocek 5-8 juta rupiah membeli pestisida, baik dipakai atau tidak. Siap-siap kalau tanaman terkena hama atau penyakit. Biaya bertani sayuran lain bisa lebih murah, termasuk bertani padi. Tetapi, perubahan iklim membuat hama dan penyakit semakin meningkat.

Baru pekan lalu saya mendapat info dari seorang teman, bahwa di IPB telah diciptakan alat untuk mengetahui kebutuhan pupuk dan obat untuk tanaman. Alat ini menggunakan teknologi IOT (Internet Of Thing). IOT digunakan untuk mengetahui akurasi dosis pupuk maupun pestisida. Teknologi yang canggih sudah banyak digunakan, sayang belum masif. Di satu sisi, banyak petani senior yang tidak mudah untuk dikenalkan kepada teknologi baru. "Abah mah lihat contoh, kalau hasilnya bagus, Abah ikut." Ungkap Abah yang mengolah lahan di kebun.

Terakhir adalah panen. Berubahnya struktur penduduk di desa membuat panen saat ini butuh biaya tinggi. Banyaknya kaum perempuan yan gbekerja di pabrik, mengakibatkan tenaga panen menjadi berkurang. Belum lagi harga tanaman yang fluktuatif. Pernah kami mencoba menggagas harga flat untuk sayuran. Saat kontrak dengan pabrik, harga bisa flat. Tapi kalau jual ke pasar, harga fluktuatif seperti naik roller coaster. Kadang sangat tinggi, kadang turun, bergantung pada supply dan demand di pasar.  Menjual langsung ke konsumen, adalah upaya untuk tetap mendapat harga tinggi.

dok.pribadi
dok.pribadi

2. Off Farm (Pasca Panen, Distribusi, Pemasaran)

Di off farm, walau tidak sepelik on farm juga masih banyak PR yang belum selesai. Pasca panen, masih banyak petani yang menghasilkan limbah cukup besar. Untuk petani yang rajin, limbah sayuran dapat diolah menjadi pupuk, sehingga mengirit biaya. Tapi, sebagian petani sudah habis waktunya di kebun. Tidak punya cukup waktu lagi untuk mengolah limbah.

Distribusi, kalau di sentra pertanian tidak usah khawatir. Banyak pengusaha angkutan yang siap mengirimkan barang hingga ke konsumen yang umumnya pasar induk. Kalau sulit, simpan saja hasil panen di pinggir jalan, nanti juga ada yang mengangkut. Saat saya berkebun cabe, cukup tiditip ke supir elf, cabe sampai dengan selamat ke pasar induk, mudah kan. 

Pemasaran sebagai sub sektor yang marjinal, tapi penting, termasuk sektor pertanian. Petani umumnya menanam dulu baru mencari pasar.  Jarang yang dapat pasar dulu baru menanam. Ya, tinggal bilang sama pengepul, urusan selesai. Tapi, harga ya jangan ditanya. Kalau bagus, bisa beli satu mobil, tapi kalau lagi jelek, ongkos panen bisa lebih mahal dari harga jual. "Kawan, saya tahu rasa itu, berat, biar saya saja."

dok.inilahkoran
dok.inilahkoran

Prospek Pertanian di Era Digital

Di era digital, semakin banyak yang melirik sektor pertanian. Baru hari senin kemarin saya diminta sharing di soft launching sebuah e-commerce produk pertanian. Belum lagi adik-adik kelas saya yang semakin keren, berjualan sayur lewat internet. Apakah itu cukup, ternyata belum. Hari ini, beberapa teman masih kebingungan menjual panen bawang merah yang terlalu banyak, di daerah lain para emak mengeluh harga bawang merah yang mahal. Semua karena afirmasi informasi. Kita belum pernah punya data akurat tentang areal produksi pertanian di satu daerah. Problemnya adalah database. Bulan lalu, seorang Kasi di Dinas Pertanian Kabupaten Bandung membuat aplikasi pendataan, tapi belum semua terdata. 

Untuk membuat pertanian menjadi tuan rumah di negeri sendiri, perlu sebuah grand disain yang melibatkan pentahelix : akademisi, pebisnis, petani, pemerintah dan penyuluh. Semua tersistematisasi hulu hingga hilir. Rantai pasok tercatat baik, pelaku terdata, luasan jelas, pasar sudah terencana. Semua dikerjakan sebagai sebuah sistem, bukan proyek tahunan yang tahun ini berjalan, tahun depan selesai. Semua butuh komitment atas dasar kecintaan pada Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 260 juta, pangan masih menjadi primadona. Sehingga malu rasanya kalau melihat petani miskin. Toh pasarnya jelas, komoditinya jelas, tapi mengapa jarang melihat petani kaya?  Walau pernah gagal bertani, saya tidak kapok bertani.

Saya Alumni Fakultas Pertanian, Saya Bangga Bertani

Bandung, 22 Mei 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun