Di beberapa sosial media pekan ini, cukup ramai diskusi mengenai kegiatan mahasiswa. Ada yang mencela BEM, ada yang membela. Ada yang melarang anak nya ikut organisasi mahasiswa, ada juga yang membela. Bagi orang tua yang punya tabungan banyak, pemilik perusahaan atau pejabat di suatu instansi, mungkin tidak sulit. Tapi bagi mahasiswa yang orang tuanya bukan siapa-siapa, kuliah asal-asalan, pulang kuliah nongkrong di cafe sambil menghisap shisha sampai pagi, atau menghabiskan kuota untuk main game online, mau bagaimana?Â
Gerakan mahasiswa sekarang menurut beberapa aktivis mulai berada di titik nadir. Perjuangan hari ini pastinya berbeda dengan masa lalu. Saat ini dengan jumlah SKS 140, batas perkuliahan 8 semester, dan biaya yang juga tidak sedikit, maka mahasiswa dituntut lulus tepat waktu.
Tetapi di sisi lain, masalah negara ini juga masih banyak. Kemiskinan belum teratasi, pertumbuhan ekonomi yang ternyata stagnan, pengangguran masih tinggi, pendidikan mahal dan sebagainya. Itu memang tugas negara, tetapi, mahasiswa pun dapat bergerak untuk memberi dukungan. Selain belajar berorganisasi, juga dapat mengasah empati. Bagaimana dengan demo? Akan ada pro kontra untuk aksi yang satu ini, karena sekarang ini adalah era digital, demo tidak harus fisik seperti dulu. Beberapa aksi simpatik akan dapat jadi alternatif, walau resikonya mahasiswa dianggap tidak punya nyali. Mungkin sesekali perlu, asalkan tidak anarkis.Â
Apa yang dilakukan Zaadit mungkin kurang ajar, tapi saya angkat jempol untuk nyalinya. Butuh keberanian besar, mengangkat kartu kuning sembari meniup peluit dengan berbagai pilihan resiko. Saat ini saja LBH ILUNI menyatakan akan membantu Zaadit jika kelak terkena sanksi.
Saya yakin, di tengah keberaniannya, jantung Zaadit berdegup kencang, napas tersengal. Kalau saya, mungkin sudah pingsan duluan. Keberanian Zaadit tidak lebih heroik dari seorang Heriyaldi Bahtiar yang melepas pekerjaan di Bank untuk mengabdikan diri sebagai pengajar bahasa inggris tanpa bayaran. Juga tidak sehebat Gamal Albinsaid yang membuat klinik dengan bayaran sampah  untuk masyarakat miskin. Tapi, keberanian Zaadit adalah buah untuk keberaniannya memperjuangkan Indonesia kelak. Feeling saya Zaadit akan jadi orang besar, tapi, nanti kalau jadi pejabat jangan sampai korupsi, dan tetap kritis walau sudah bergelimang kemudahan.Â
Kita masih butuh anak muda yang punya nyali, ketimbang anak muda yang suka nampang  dengan harta orang tuanya. Adalah pilihan kita, untuk mendorong seperti apa anak-anak kita ke depan. Yang pasti Indonesia masa depan ada di tangan mereka, bukan di tangan kita yang sudah hampir mencapai separuh abad.
Jika memang ada hal yang kurang tepat, maka tugas kita meluruskan, bukan memberi cacian, apalagi jika kita juga belum bisa berbuat apa-apa untuk Indonesia. Bisa jadi, Zaadit kelak akan lebih hebat dari kita, karena dia punya nyali, sedangkan kita hanya sanggup bertahan hidup dengan semua kenyamanan yang saat ini dimiliki, dan kemudian tercerabut saat renta nanti.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H