Mohon tunggu...
Inovasi

Berita Hoax dalam Media Online, Bagaimana Nasibnya?

1 April 2017   04:16 Diperbarui: 1 April 2017   04:28 2265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Dengan 6 karakteristik ini internet semakinberkembang dan juga tidak menutup memungkinan media-media konvensional juga ikut berkembang dan muncullah istilah jurnalisme online. Jurnalisme online singkatnya merupakan kegiatan mengumpukan menulis mengedit dan menerbitkan berita dan disebarkan ke publik melalui internet atau secara online dengan fitur-fitur multimedia yang berbasis digital.

Idealnya media dalam bentuk apapun memberitakann atau memberikan informasi secara akurat, objektif dan sesuai dengan fakta yang ada. Namun akhir-akhir ini tidak jarang juga kita mendengar istilah ‘berita hoax’ atau berita palsu. Berita-berita palsu ini tidak jarang muncul di media terutama di media sosial yang akhirnya akan dimuat dalam media konvensional versi online (portal media online) dan akhirnya orang-orang akan mempercayainya sebagai suatu kejadian yang memang benar adanya terjadi.Tetapi sebelum masuk kepada salah satu kasus berita hoax, sebaiknya kita harus mengerti asal usul dari kata hoax itu sendiri. Bagaimana ia muncul, kapan dan siapa yang memunculkannya pertama kali dan mengapa berita hoax bisa muncul.

Istilah hoax, kabar bohong, menurut Lynda Walsh dalam buku "Sins Against Science", merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri, diperkirakan pertama kali muncul pada 1808. Asal kata "hoax" diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni "hocus" dari mantra "hocus pocus", frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa "sim salabim". [1]  Hoax pertama kali dipublikasikan adalah almanak (penanggalan) palsu yang di buat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan swift pada tahun 1709. Saat itu infomasi yang tersebar adalah kematian astroloh John partridge. Agar meyakinkan ia bahkan membuat obituari palsu tentang partidge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.

Singkatnya, Hoax merupakan istilah dari bahasa inggris yang diyakini artinya sebagai berita palsu. Lalu mengapa hoax muncul kembali dan menyebar? Dalam antaranews.com dijelaskan bahwa Direktur Institute of  Vultural Capital di University of Liverpool ,Imeon Yates dalam Tulisannya “Fake News’-People Believe It dan What Can Be Done to Counter It” yang dimuat di world.edu menyebutkan terdapat fenomena gelembung (bubbles) dalam penggunaan media sosial.

Dikatakan bahwa pengguna media sosial cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung media sosial tersebut mencerminkan gelembung “offline” sehari-hari.para pengguna media sosial kembali ke sistem “jarum suntik” pada media konvensional bahwa berita bohong apa saja yang diberitakan dan di bagikan oleh salah satu akun milik orang-orang penting atau situs-situs besar akan menjadi besar.

Lalu apa mengapa menyebarkan berita Hoax? Menurut dr Andri SpKJ, FAPM dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera[2] terdapat setidaknya 4 alasan mengapa orang-orang mau menyebarkan berita hoax. Yang pertama adalah agar menjadi yang terupdate. Maksudnya adalah ketika  seseorang atau sekumpulan orang menyebarkan berita hoax yang sama sekali belum ada di media manapun, tentu akan semakin menimbulkan opini bahwa orang tersebut atau mereka merupakan yang paling terupdate. Yang kedua adalah provokasi. Seorang atau sekelompok orang menyebarkan berita hoax biasanya hanya untuk memprovokasi orang-orang disekitar dengan isu-isu (yang biasanya) sensitif untuk memancing timbulnya opini publik. Yang ketiga adalah kecemasan. Berita hoax disebarkan biasanya karena ada faktor kecemasan dari si penyebar yang pasti merasa cemas akan isi konten hoax dan menyebarkannya kembali untuk mendapatkan kebenaran apakah berita itu hoax atau benar-benar ada dan yang terakhir adalah karena keseringan memegang gadget. Pemicu utamanya adalah gadget, ketika mendapatkan informasi dari sumber yang tidak jelas dan menurutnya merupakan informasi baru maka seseorang cenderung akan langsung menyebarkan berita tersebut tanpa ada verifikasi atau crosscheck.

Tentu saja berita hoax meresahkan dan bahkan sampai merugikan masyarakat. Hal ini menjadi salah satu permasalahn yang seharusnya di perhatikan lebih oleh pemerintah dan Dewan Pers tentunya mengingat bahwa tidak hanya media sosial saja tetapi  juga portal berita online.Salah satu kasus berita hoax yang sampai merugikan adalah kasus berita Hoax penculikan anak di Kalimantan Barat. Akibat berita hoax kasus penculikan anak tersebut seorang kakek bernama Maman Budiman yang hendak mengunjungi cucunya meninggal dunia karena di keroyok oleh massal. Hal tersebut terjadi karena warga setempat mencurigai gelagat Maman yang kebingungan mencari alamat rumah  anaknya yang tinggal di Desa Amawang, Kecamatan Sadaniang, Kabupaten Mempawah Kalimantan Barat tersebut[3]. Karena kecurigaan dan asumsi warga tersebut Maman akhirnya di keroyok sekitar 800 warga setempat sampai akhirnya meninggal saat di bawa ke RS.

Tidak hanya Maman, bahkan seorang perempuan yang dianggap kurang sehat kejiwaannya pun hampir menjadi bahan amukan massa di Surabaya. Tingkahnya yang tak jelas membuat warga mencurigainya sebagai penculik anak. Namun, ia keburu diamankan aparat Polsek Gubeng Surabaya sebelum dihakimi warga. Saat masih berada di SDN 1 Mojo hingga diamankan di Polsek Gubeng, pembicaraan perempuan yang diketahui bernama Solehah tidak jelas.[4]

Kedua berita tersebut sudah jelas menyatakan bahwa berita hoax tidak hanya merugikan dari segi pengetahuan namun juga bisa merugikan dari segi fisik maupun keselamatan. Hanya karena berita hoax, sesorang dapat kehilangan nyawanya. Ini menjadi sebuat pertanyaan bagi implikasi dari UU ITE yang dimiliki? Bagaimana jika berita hoax di sebarkan oleh perusahaan media dalam hal ini yang tentunya online?

Dikatakan bahwa penambahan ayat baru dalam Pasal 40 dalam revisi UU ITE beberapa bulan yang lalu bahwa pada ayat tersebut, pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi yang melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya.Jika situs yang menyediakan informasi melanggar undang-undang merupakan perusahaan media, maka akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.[5]

Namun apakah ‘hukuman’ yang akan didapatkan oleh perusahaan media tersebut seimbang dengan akibat yang telah terjadi? Apakah akan menimbulkan efek jera? Belum tentu menurut saya. Mengapa? Bahkan sekarang masih ada media-media yang menyebarkan berita hoax, terutama dalam media online. Padahal hakikatnya sama, bahwa media terutama dalam hal ini produk jurnalistik adalah sebagai salah satu sarana terpenting dalam masyarakat tidak peduli online atau konvensional seharusnya tetap menjalankan fungsinya yaitu untuk menginformasikan demi keberlanjutan kehidupan masyarakat.Idealnya, tapi penerapan elemen jurnalistik dalam media online dalam hal ini portal media online masih belum cukup. Berita hoax masih menjadi hantu bagi masyarakat yang notabene adalah penikmat informasi dari media online. Apakah itu karena kurangnya verifikasi atau karena karakteristik dari media online itu sendiri yang lebih mengutamakan kecepatan dari pada kedalaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun