Mohon tunggu...
Cesillia Ida
Cesillia Ida Mohon Tunggu... -

Pasal 28F UUD 1945: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia."

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Biyukukung

21 Juni 2011   18:04 Diperbarui: 23 Juni 2017   00:17 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kala Semesta Buntingkan Rahim Padi"

Sepasang kaki dengan betis kokoh dari petani tua itu menyetubuhi sawah, mengaduk-aduk agar gembur tanpa rekah. Dia tengah mengolah tanah garapan tanpa alat bajak berbantu kerbau ataupun mesin diesel. 

Pada tiap jengkal tanah diselusuri dengan teliti, tiap ada rerumputan pengganggu padi dibersihkan agar kelak sawah jadi rumah tumbuh batang-batang penuh bulir kelak."Kapan pertanian Indonesia bisa maju kalau begini caranya?" tanya diri ini, setiap kali pergi ke Ubud Bali pada pagi hari, akan bertemu petani olah sawah bagai persetubuhan insan dan tanah asalnya.Sementara nun jauh di Amerika dan Eropa hampir seluruh sawah dirajam bajak besi berbantu mesin. 

Bagai langit dan bumi petani tua di Ubud olah tanah dengan cara serupa nenek-moyangnya. Menyimak gerak lembut kaki-kaki kokoh susuri lumpur seolah jadi saksi laku kultur kuno, bersanding dengan lahan Silicon Valley.  "Apakah ini ironi?"Pikir dan benak tersentak saat bertemu kosa kata petani Ubud : 'Biyukukung'. Paparan kata Biyukukung makin jelas saat pandangi papan nama sebuah Hotel di jalan Sugriwa Ubud. 

Tergerak oleh rasa penasaran sebuah pertanyaan diberikan pada petugas pelayan tamu Hotel tersebut : "Gek (panggilan khas Bali untuk perempuan) Biyukukung artinya apa?" "Biyukukung itu nama satu laku upacara warga ubud untuk menghormati laku semesta saat bulir padi bunting," jawab petugas Hotel itu.Awalnya geli dapat penjelasan makna, Biyukukung selanjutnya makin penasaran. Apa sebab sang Padi begitu dihormati petani Ubud, hingga saat jelang bunting perlu upacara khusus? Apakah ini hubungan intim antara petani dan semesta?Konsep padi bunting terus usik pikiran. Berikutnya riset sederhana pun bergerak cari penjelasan. 

Dalam sebuah jurnal tentang sistem Subak (Irigasi persawahan), bagai terhanyut hingga tercengang, tergelar begitu sakralnya sistem pertanian tradisional Bali.Subak bukan semata-mata mekanisme irigasi, bukan sekadar alat tekno-sosial, melainkan pemahaman dasar para petani Bali bahwa pertanian merupakan satu entitas tersendiri yang terajut dengan ekosistem dan spiritualitas. 

Petani di daerah tertentu akan menyesuaikan perilaku bertaninya dan bukan hanya berdasarkan kondisi tanah serta air di tempat itu saja, tapi dengan seluruh elemen alam, termasuk nilai religi masyarakat setempat dengan para Dewa.Ada sekitar 27 nama upacara yang dilakukan petani Bali, dari mulai untuk penyemaian benih, menyiangi, pengangkutan, penyimpanan, sampai pengeringan. 

Setiap upacara petani lakukan korespondensi dengan Dewa tertentu sesuai tujuan dan harapannya. Ini dilakukan fase demi fase penuh telaten.Pada fase Biyukukung, para petani berdoa kepada Bhatara Surya untuk restu dan perlindungan. Pada fase pengeringan, atau Nedunang Pari, mereka minta restu pada Bhatari Sri untuk proses akhir dari padi mereka.Sebelum petani kenal pestisida dan insektisida, hama diusir hanya dengan mantra dan sesajen. Setiap hama memiliki mantra dan sesajennya sendiri; mantra penanganan hama tikus lain dengan mantra mengusir monyet, dan seterusnya.

Penjelasan tentang Subak membuat evaluasi ulang tentang simpulan awal atas petani tua di sawah pagi itu. Selama ini beberapa petani di negeri ini begitu mengagungkan pertanian modern (berbantu mesin) dengan orientasi singkat waktu dan keberlimpahannya hasil untuk kebutuhan manusia.Namun dalam percepatan itu, putus hubungan sakral petani dengan semesta. 

Tanah hanya tanah, Bibit cuma bibit, Padi hanya padi. Semuanya dijadikan alat guna melayani kebutuhan manusia, lalu serta merta pakai mesin teknis merajam semuanya.Saat negeri ini membahas intensifikasi pertanian, selalu ada pembicaraan seberapa besar lahan gambut yang bisa disulap jadi subur, seberapa besar volume panen bisa digenjot, seberapa banyak padi bisa ditimbun. 

Hingga saat proses terjadi, entah berapa juta ton racun tumpah merasuk ke tanah, dari mulai pupuk kimia hingga pestisida, atas nama kemakmuran umat manusia.Saat pertanian menjadi soal mekanis, seolah lupa bersimpuh pada alam yang melimpahkan begitu banyak secara cuma-cuma. Tak ada lagi kultur memaknai makanan di piring sebagai wujud karya persetubuhan matahari dan air, saat benih bersemayam dalam rahim tanah, tumbuh dan mengandung, untuk kelak kembali ke tanah, menunggu persetubuhan berikutnya antara matahari dan air. 

Apakah ada yang lupa bahwa padi pun “hamil/bunting"?.Suku Indian di Benua Amerika sangat sohor karena hubungan mereka yang luar biasa dengan alam. Mereka begitu peka, tak cuma pada binatang, tapi juga tumbuhan. Seorang shaman akan pergi hutan untuk mencari obat. Ia tak tahu persis tanaman mana yang bisa berguna untuk kebutuhannya.Ia hanya menunggu tanaman tertentu “berbicara” padanya. Dan sebelum ia petik tanaman tersebut, ia masih menunggu tanaman itu memberi tanda terlebih dulu, mengungkapkan kesiapannya untuk dicabut. 

Dan sesudah itu, ia berterima kasih pada roh yang bersemayam dalam tanaman itu atas kerelaannya menolong manusia.Cerita-cerita semacam itu menjadi dongeng bagi manusia modern. Termasuk 27 upacara pengolahan padi oleh petani Ubud Bali. Kini petani semi modern di Bali sudah tidak lagi mengandalkan mantra dan sesajen secara eksklusif untuk mengusir hama, mereka sudah mencampurnya dengan obat-obatan kimia.Apalagi mereka yang bukan petani, tak tahu betapa beras merupakan bahan makanan pokok yang paling repot untuk diproduksi. 

Lihat saja di pasar, melihat berkarung-karung beras siap ditimbang dan dibawa pulang. Saat ditanak, melihat nasi putih panas yang masih mengepul dalam dandang… saat dimakan, mencampurkan nasi dengan berbagai macam lauk, semua itu jadi adegan-adegan biasa setiap harinya tanpa pernah ingat perjalanan tumbuh Sang Padi.Apakah intensifikasi pertanian satu-satunya jawaban dari kemelut pangan? Apakah ada yang hilang dalam relasi manusia dengan alam? Bagaimana pulihkan harmoni itu, apa hidup ini sudah sama sekali berbeda? 

Pikir ulang sekian kali sebelum membuang nasi, sebelum makan berlebihan, sebelum makan demi pemuasan dan bukan lagi kebutuhan laku hidup sederhana.Tidak semua warga tahu dan mau tahu soal mantra dan sesajen. Namun boleh percaya, semesta punya intelijensi luar biasa yang mampu pahami niat dan isi hati penghuninya tanpa batasan bahasa dan cara.Cobalah, untuk mensyukuri berkah yang selalu dilupakan ini, bukan dengan doa yang diucap sembarang karena refleks, tapi dengan setiap kata yang dihayati? 

Memandang nasi pada piring makan hari ini bak kumpulan mutiara putih, dan berharga. Memandang mereka sebagai anak-anak hasil perkawinan alam yang telah dilimpahkan pada piring kita, sehingga menjadi gugus-gugus yang membangun tubuh dan jiwa kita.Dan sejak itu setiap  saya kembali ke Ubud Bali dan melihat sawah-sawah dengan pandangan yang berbeda. 

Dengan kata dan cara benak sendiri, sempatkan berdoa sederhana: untuk semua bulir padi yang telah hamil demi dimakan manusia, sejak manusia di kandungan hingga kelak kembali menjadi debu, saya ucapkan terima kasih.Kalian telah menjadi bagian hidup saya, sebagaimana saya pun bagian dari kalian. Maafkan jika saya sering lupa kebenaran itu. Tapi saya yakin, dengan kata dan cara kalian sendiri, kalian tak pernah lelah mengingatkan saya.[CC]11062019:33

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun