Seringkali ketika kita melihat dari kejauhan, kehilangan akan detil adalah timpal yang sepadan. Dan keterjebakan dalam hal seperti itu tak terlalu terasa. Beberapa orang bahkan merasa nyaman dan cukup untuk melihat dari kejauhan. Sedang bagi sebagian kecil orang, hal itu tak dapat ditolerir.
Mendekat, masuk dan mengalami pasang surut adalah cara untuk melihat seberapa dominan ego kita berkuasa. Menyentuh lalu terlibat dalam jalinan emosi justru menghadirkan sensasi rasa yang lebih dari sekedar kita berada di kejauhan jarak dan menjustifikasi sesuatu.
Pembukaan ini adalah sebuah contoh. Betapa kadang merumitkan persoalan yang gampang dan melakukan sebaliknya terhadap persoalan yang pelik menjadi kebiasaan umum banyak individu. Apalagi jika label “intelektual kalangan atas” mengharuskan kita mempunyai strata berpikir di tingkat tertentu dan tak ingin jika derajat itu direndahkan.
Apakah ini bisa dikategorikan “feodalistik”? Itu semua belum ditambah dengan kebiasaan pendidikan kita yang membuat orang-orang diharuskan objektif seobjektif mungkin. Sebisa mungkin melihat dari “berbagai sisi” dan mengeliminasi cara pandang subjektif yang telah divonis “tak objektif”. Ini adalah sistem jagal yang dicipta dengan sengaja yang menurut saya membuat invidu kehilangan “identitas”nya.
Meleburkan diri hingga tak tersisa kentalnya yang membuat kita hidup dan memberikan sumbangsih maksimal menurut kemampuan masing-masing di tengah-tengah perbedaan yang telah menjadi kodrat dalam kehidupan umat manusia. Saya sering menyebut hal ini dengan sepotong kata HOMOGENISASI.
Tradisi berpikir yang telah diwariskan dan dijaga kelangsungan hidupnya oleh sebuah struktur kekuasaan besar yang juga saya namakan dengan NEGARA dan AGAMA.
Dan keterkejutan saya bertambah ketika beberapa kawan yang selalu berslogan "Nasionalis Indonesia" bertanya kepadaku asli mana? saya menjawab asli Indonesia, bersuku Indonesia, dan bernegara Indonesia, dan "menumpang" lahir di sukarnapura" ( Hindia Belanda lalu Irian Jaya, sekarang Papua* Irian itu bukan artinya = Ikut Indonesia Anti Nederland catat itu!) mereka memandang dengan heran, tak segera puas dengan jawaban saya, " maksudmu orang Irian? kog tidak keriting? " masih saja memaksa. Selalu ada ketidak puasan dari pertanyaan orang di negeri ini bila saya tidak pernah mengatakan suku bangsa.
Apakah itu penting? sedang lihat saja "Slogan Nasionalisme Indonesia" di teriakkan dari mulai Bintang lima sd Kaki lima, tetapi apa maknanya? hanya sekedar slogan? atau sekedar rasa-rasa nya Nasionalis? ataukah "rasa Nasionalisme kebingungan"?
Wajar menurut saya jika kaget menjadi yang pertama. Sebab selain saya bukanlah orang Irian secara darah dan runut riwayat, adalah sebuah keanehan yang “maha” jika seorang yang selalu berslogan "Nasionalis Indonesia" masih bertanya tentang nilai ke-suku-an kepada “orang yang sudah jelas mengaku asli Indonesia”.
Saya kemudian teringat dengan sebuah jawaban seorang kawan yang tinggal di negeri seberang yang selalu kemana mana tidak pernah mengatakan dirinya dari suku aslinya meski dia berasal dari runut dan riwayat darah suku yang sama dia katakan: “Indonesia tidak dapat mengakui anda. Justru sebaliknya. Anda yang harus mengakui Indonesia.” Tapi semua tak serta merta selesai. Pertanyaan kawan saya tersebut di atas adalah wakil dari mayoritas pola berpikir orang-orang yang berada di sekitar geliat Nasionalisme Indonesia . “Kenapa menggunakan Indonesia? Kenapa tak menggunakan kata lain?” “Indonesia adalah gerakan budaya Indonesia . Untuk apa orang-orang non-Indonesia terlibat di dalamnya?” “Apa maksud kalian dengan identitas?” “Merauke sampai dengan Sabang, Indonesia itu apa?”
“Benarkah Nasionalis adalah gerakan rasis penaklukan?”(Penaklukan terhadap siapa?) "Siapa orang asli Indonesia?" “Siapa pucuk pimpinan adat, suku Indonesia?” "Sejauh mana diri sendiri memaknai sebagai Orang Indonesia yang lahir dari pelbagai suku bangsa yang mengalir dalam tubuh?" "sejauh mana sebagai orang Indonesia mengenal suku bangsa apa saja yang ada di tanah Indonesia ini? dengan perilaku adat dan istiadat sangat berbeda latar belakangnya, dengan tidak saling menjelekkan satu lainnya apalagi dengan merasa lebih dan kurang?"