Mohon tunggu...
Yohanes w Petege
Yohanes w Petege Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu perpustakaan

Yohanes w Petege adalah anak suku bangsa mee Papua Indonesia yang memiliki bakat baca tulis literasi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Konseptual Budaya Mee Secara Umum

12 Agustus 2024   03:29 Diperbarui: 12 Agustus 2024   04:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

KONSEPTUAL BUDAYA MEE SECARA UMUM

Penulis, Yohanes W. Petege, S.Ptk. 

  • Konsep Budaya Mee ?

            Manusia Suku Mee adalah Manusia yang berasal dari wilaya wisellmeren yang meliputi kawasan Dadau Paniai, Danau Tigi, Danau Tage, Lemba Kamuu, bahkan Pengunungan Mapia sehingga sampai dengan upaya di Nabire. Kehidupan suku Mee beradah pada kawasan pengunungan Tengah, yaitu suku Moni di Timur dan, suku komoro di selatan dan suku pantai utara bagian pesisir Nabire di bagian utara dan barat.

Polah hidup masyarakat dari suku masih tetap  melestarikan dengan perkumpulan atau yang biasa di sebut dengan hidup secara berkelompok, kemudian; manusia suku Mee masih bergantungan hidup dengan alam sekitarnya dengan pola mengambil kebutuhan hidupnya dari alam dan dengan cara untuk bercocok tanam sebagaimana di kemukakan oleh seorang Pailot bernama Frits Wissel tahun 1933. Ia melaporkan saat ia terbang melihat tiga danau besar sebagimana di kenal dengan WiselImerren. Pada ketiga danau itu terlihat banyak perahu yang berlayar kemudian pada di sekitarnya, aktivitas manusia yang sedang bercocok tanam mngunakan alat kayu dan, runing dan mencari ikan dengan kulit kayu. (Suroto: jubi.co.id).

Letak Geogerafis suku mee adalah suku yang mendiami pengunungan di Papua bagian Tengah. Mayoritas penduduk berada bagian Paniai dan Deiyai bahkan di lembaga Kamuu dan Pengunungan Mapia kemudian. Suku Mee Mayoritas bergam kristen dan sebagaian musliman yang berada di bagian pesisir Pantai Nabire Barat.

E. ETNOGRAFI ORANG MEE

  • Bahasa

Masyarakat Mee pada umumnya memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Mee "Mee mana". Mee Mana sebagai alat komunikasi antar orang Mee. Mee Mana sangat penting  dalam kehidupan sehari-hari orang Mee, karena bahasa Mee adalah warisan dari nenek moyang untuk anak cucu kedepan sebagai bahasa persatuan untuk keseharian masyarakat suku Mee.

Bahasa Mee terbagi atas tiga di alek yakni di alek Mapia, Kamu-Tigi-Paniai dan Mapia selatan. Perbedaan itu akan nampak seketika mengucapkan dalam sapaan kata salam sebagai berikut. Orang Mapia menyebut koha, orang Kamu, Tigi, Paniyai menyebut koyaoo, dan Orang Mapia Selatan menyebut kosaa. Sebagai orang Mee, menggunakan bahasa Ibu merupakan suatu kebutuhan dasar. Karena bahasa Ibu adalah sarana persatuan sebagai warisan nenek moyang tanpa memperkenalkan bahasa lain dan, setiap aktivitas selalu menggunakan bahasa Mee.

Selain bahasa Mee, masyarakat suku Mee mulai membiasakan diri untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan sesama. Bahasa Indonesia juga menjadi suatu bahasa untuk berkomunikasi dengan orang-orang dari luar sukunya, karena bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan Nasional.

  • Sistem Teknologi

Orang Mee juga memiliki kekhasan dalam hal, menciptakan hasil karya sendiri untuk keperluan sendiri. Masa lalu hingga saat ini, pada umumnya menggunakan alat-alat dari hasil ciptaan sendiri oleh orang Mee (alat-alat Tradisional) misalnya (1) Perlengkapam hidup seperti: Pakaian (Moo, Paute, koteka, dugaa moge dan dane moge), Perumahan (hamewa, hagamowa), alat-alat untuk rumah tangga: Obe (gepe-gepe) untuk mengangkat jenis makan dari tungku api, Uwo awi domo( bambu: alat untuk tempat isi air minum), nuta kigitai ute (alat untuk membersikan petatas), Uno umi akage ( tikar: untuk alas lantai saat tidur), Akage (alat untuk melindungi diri dari hujan), Uka mapega (Busur dan anak panah: alat untuk berburu dan berperang), Alat untuk berkebun Maumi (Kapak batu alat untuk menebang pohon, membuat pagar, dan membuat rumah) dan Emu kopa ( kayu runcing: alat untuk menanam tanaman dikebun). Alat produksi (Wediye, Patau, ebau), dan Uwouda koma(perahu).

lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat. Koteka dikenal sebagai symbol budaya masyarakat asli Pegunungan Tengah Papua sebagai pakaian adat untuk menutupi aurat laki-laki, pada masyarakat yang hidup di wilayah Mee Pago (suku Mee dan Moni) dan juga La Pago (suku Lani, Dani, Yali, Katengban, dan Ngalum). Suku-suku ini bermukimandi wilayah Pegunungan Tengah Papua (terbentang dari danau Paniai, lembah Baliem dan Pegunungan Jayawijaya). Koteka terbuat dari kulit buah Labu Air.

Moge merupakan pakaian tradisional bagi kaum wanita sebagai pakaian untuk menutup aurat wanita. Pakaian tradisional bagi kaun wanita, membuatnya dengan kulit kayu yang bagian dalam, kulit yang bagian luar dikeluarkan, kemudian dihaluskan dengan menggunkanan habo atau upa ( pisau tradisional) dan dijemur di matahari tunggu hingga kering setelah kering di bagi-bagi menjadi kecil, kemudian dililit menjadi sejumlah tali seperti benang wol. 

Jika sudah buat banyak tali wol maka mereka pun mulai menganyamnya sampai dibuat menjadi moge (cawat) yang layak dipakai. Sedangkan Koteka  yang merupakan pakaian adat tradisional bagi kaum pria. Mereka membuatnya dari sejenis selongsong kulit labu kering yang berbentuk panjang dan kecil. Bagi mereka, koteka dibuat secara demikian rupa sehingga dapat menutupi aurat pria. Ini jelas bahwa karya lokal yang jenius dari nenek moyang secara turung temurung. Karena memiliki kreativitas dalam menciptakan maka, pada saat ini pun orang Mee terus berfikir untuk menciptakan hal-hal yang memiliki nilai sains dipasaran dunia.

  • Sistema Mata Pencaharian
  • Mata pencaharian orang Mee identik dengan berkebun (Bugi Tai) dan peternak babi (Ekina Muni). Kenyataannya masing-masing keluarga memiliki kebun, memiliki ternak babi meskipun tidak semuanya perkebun dan beternak yang besar. Pada umumnya, manusia Mee melakukan dua kegiatan yaitu beternak dan berkebun. 
  • Kedua kegiatan atau profesi ini ditemukan dalam setiap pribadi orang Mee, sebab mereka menghayati kedua kegiatan ini dalam kehidupan sehari-hari. Ketika hidup ini terus berjalan dan pelan-pelan menelusuri untuk menemukan makna hidup secara radikal melalui berkebun dan beternak. Maka teramat dipahami hanya jika setiap hari masyaraka Suku Mee di Kampung Timeepa berada di kebun maupun di kandang ternak.
  • Selain dua kegiatan diatas, pada umumnya orang Mee dan pada khususnya di Kampung Timeepa juga mengenal kegiatan lain seperti berburu (geka nawi) dan berdagang (edepede). Menangkap berudu dan udang (Toba, udi ubai) beserta hewan-hewan lainya di danau, kali, dan sungai menjadi kegiatan sampingan para wanita dan anak-anak. Berburu menjadi kegiatan sampingan yang dilakukan para pria. Ketika ada sesama pria lain hadir dan berjalan secara kelompok, maka itu tandanya bahwa pergi berburu. Kegiatan ini tidak hanya menjadi kewajiban. Jika tidak ada kesibukan atau kegiatan lain maka mereka akan bergabung pada kelompok berburu. Kebanyakan waktu menghabiskan dalam melakukan kegiatan berkebun dan beternak.
  • Banyak waktu yang digunakan untuk berkebun dan ternak mengindikasikan atau memberi syarat bahwa pentingnya kedua kegiatan tersebut sungguh sangat penting untuk mempertahankan kehidupan mereka. Dikatakan penting bahkan hal yang teramat mendasar, karena mereka adalah Makluk yang bekerja, saling diperlukan sebagai sang pekerja sejati untuk kehidupan. Mereka berada dan hidup untuk kerja. Jika ada orang Mee tidak bekerja, maka ia bukan orang Mee. Ia sudah harus hidup justru karena hasil kerjanya sendiri, tetapi tidak mengharapkan akan hasil seperti apa jika sudah memulai bekerja. 
  • Jika masyarakat bertekun dalam bekerja, maka dari dua kegiatan yang sudah di sebut dan dijelaskan diatas sangat penting dan mendasar bagi Orang Mee. Pada umumnya, orang berfikir bahwa tujuan dari suatu pekerjaan selalu mengarah pada kebutuhan, konsumsi sebagai kebutuhan fundamental bagi setiap insani.

  • Organisasi Sosial
  • 1. Kelompok Kerabat
  • Kekerabatan merupakan jalan kesadaran bersama untuk dapat menbangun relasi secara lebih luas. Pola hubungan kekerabatan Suku Mee di ketahui melalui garis keturunannya melalui ayah (patrilineal). Dan juga hubungan kekerabatannya bisa di ketahui melalui pola perkampungan, klen (tuma), dan fratri (epa). Ketika pola kekerabatan ini di hayati secara sedemikian rupa sehingga lerasi kekerabatannya tidak dapat reduksi dan tetap dan  eksis dalam kehidupan suku bangsa Mee hingga kini.
  • Orang Mee menganut sistem patrilineal (keturunan ayah) dan perempuan (istri) biasanya di pandang sebagai penyubur keturunan suami dan kehidupan bersama. Mereka yang merasa se-asal dari leluhur yang sama merupakan kelompok kerabat yang di sebut klen (tuma). Orang Mee terdiri dari banyak klen yang tersebar di empat kabupaten, yakni Kabupaten Nabire, Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai dan Kabuten Dogiyai. Setiap klen mempunyai nama keramat (totem). Mereka juga mempunyai tantangan membunuh atau tidak makan daging binatang tertentu, misalnya klen Madai dilarang makan daging anjing. Hal serupa itu, dapat dikenal dalam klen tertentu, tergantung pantang tumbuhan atau hewan, hal ini di buat hanya untuk mempertahankan kesuburan klen dan lingkungan hidup setempat.
  • Selain itu, setiap anggota laki-laki dari setiap klen harus mencari pasangan atau calon istri dari klen lain. Klen lain pun yang tidak bisa masuk dalam kelompok wihe (pamali), artinya karena nenek moyong orang Mee memiliki cerita turun temurun hingga saat ini, mengenai setiap klen di Meeuwodide (sebutan untuk menunjukan daerah warisan leluhur nenek moyang orang Mee). Antar sesama klen selalu mengadakan larangan melakukan kawin mengawin bahkan buang air satu tempat dan saling berbagi ubi (nuta) satu buah saja sangat di larang. Mereka tidak di perkenangkan untuk saling kawin dengan klen pamali (wihe). Misalnya Wakei dengan Iyai, Petege dengan Kayame dan lain-lain. Jika terjadi perkawinan antar klen-klen yang sebagaimana sudah disebutkan diatas terjadi perkawinan, maka mendapatkan resikonya atau efek dari perkewinan yang terlarang antara lain terjadi kekacauan dalam hidup keluarga, anggota keluarganya meninggal satu demi satu dan tidak mendapatkan keturunan sama sekali.

  • 5. Pola Perkampungan 
  • Pola-pola perkampungan, masyarakat Mee mengenal relasi kekerabatan dalam keluarga bati (ayah, ibu, dan anak) dan juga relasinya terhadap saudara-saudari, hubungan antar klen, kerabat lama atau baru; juga hubungan lama atau baru yang terjadi karena pernikahan, relasi ekonomi, peran politik, dan karena relasi keselematan dari peristiwa peperangan. Pola perkampungan ini dipertahankan sebagai basis berakarnya relasi kekerabatan. Jika tidak berada kerabat di setiap Kampung, maka relasinya pun tidak tersambung. Relasi justru ditemukan dan ditumbuh dan dikembangkan dari kampung dimana para kerabat hidup, berkarya dan menerjemahkan makna relasi kepada sesama. Maka, Kampung adalah awal bertumbuhnya sejarah dan dunia kekerabatan sejati.
  • Kampung adalah tempat mereka tinggal dan hidup, dianggap berharga, teramat dan bernilai, karena merupakan hasil usaha bersama dari relasi kekerabatan mereka. Kampung itu dibangun oleh mereka sendiri ketika relasi kekerabatan mulai dilangsungkan dan dibangun secara giat. Mereka menghayati relasinya secara semakin lebih hidup, berdayaguna, damai, bahagia, dan harmonis melalui pola perkampungan. Melalui pola kampung, mereka juga semakin lebih dekat dan intim dalam menata makna hidup bersama bagi mereka untuk tetap akan mengkontruksikan relasi kekerabatan dalam segala aspek baik itu pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, dan sosial budaya serta lingkungan hidup (Penkeskonpolsosbudling).

  •  
  • 6. Kepemimpinan 
  • Berbicara menyangkut kepemimpinan, maka berbicara soal kepemimpinan dalam suatu organisasi atau komunitas. Kata kepemimpinan sudah tidak asing lagi didengar oleh semua kalangan baik itu pelajar, mahasiswa, intelektual, maupun masyarakat. Sistem kepemimpinan melekat pada setiap manusia sejak manusia itu dilahirkan. Manusia lahir dan hadir dalam suatu komunitas atau organisasi. Kehadiran kehidupan baru dalam kumunitas keluarga secara otomatis hadir pula dalam kepemimpinan bapaknya sebagai pemimpin dalam keluarga.
  • Kepemimpinan yang sudah melekat pada setiap orang itu akan dipakai sesuai dengan sistem kepemimpinan yang diyakini dan disepakati oleh seluruh masyarakat setempat, misalnya sistem kepemimpinan Republik dan Kerajaan. Kemudian sistem kepemimpinan itu terus dianut oleh masyarakat setempat atau komunitas, maka sistem kepemimpinan tersebut akan menjadi sistema kepemimpinan suatu suku bangsa.
  • Orang Mee memiliki sistem kepemimpinan tradisional pria berwibawa atau bigman. Orang Mee menyebutnya dengan nama tonowi. Seorang akan menjadi tonowi ketika orang tersebut memiliki syarat-syarat tertentu yang berlaku dalam kehidupan komunitas orang Mee. Syarat tersebut antara lain adalah orang tersebut berwibawa, memiliki karisma, pandai berpidato, mampu menyelesaikan masalah, memiliki banyak harta kekayaan dan beristri banyak, yang dimaksud harta kekayaan adalah banyaknya babi (ekina) yang dimiliki dan mege (kulit bia sebagai alat pembayaran resmi masyarakat tradisional Mee).
  • Di masa kini, sistem kepemimpinan tradisional mulai ditinggalkan orang Mee. Perubahan dari sistem kepemimpinan tradisional menuju kepemimpinan modern yang sedang dan akan terjadi. Dalam kehidupan orang Mee muncul tonowi baru yang masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan tonowi modern. Kehadiran tonowi modern sedikit demi sedikit mengikis dengan kebiasaan masyarakat setempat. Perubahan ini menjadikan masyarakat tradisional harus berfikir untuk menerima kenyataan ini. Tonowi modern adalah semua kepemimpinan dalam pemerintahan yakni dari bupati hingga kepala-kepala kampung yang menjadi kaki tangan pemerintahan. Kehadiran tonowi modern terkesan meruntuhkan sistem kepemimpinan pria berwibawa atau bigman. Sistem kepemimpinan tradisional tersebut mengalami peralihan menuju sistem kepemimpinan ondoafi dan kerajaan dan sebagaimana seperti yang dijelaskan di atas. Sebab merebut pemimpin dalam kepemimpinan sedang dan telah melahirkan sistem politik tidak sehat sehingga persaingan tidak sehat pun lahir ditenggah orang Mee.

  • 7.         Sistem Pengetahuan
  • Orang Mee dahulu kala tidak mengenal namanya tulisan. Informasi pengetahuan ataupun wejangan dari para leluhur nenek moyang orang Mee selalu diwariskan kepada anak cucunya dalam bentuk lisan, mengapa? karena orang Mee mengenal sastra lisan. Bahasa lisan berperan sebagai sarana pemersatu melalui penutur cerita dari generasi ke generasi. Selain itu, sastra lisan juga menjadi sarana komunikasi sesuai kebiasaan dalam pergaulan hidup sehari-hari, dengan tujuan mempertahankan kisa-kisa atau peristiwa-peristiwa dan pengalaman hidup leluhur dari masa ke masa.
  • Orang Mee memiliki metode tersendiri dalam membina dan mendidik. Pada saat memberikan pendidikan pria dan wanita dipisakan, kaun pria di ajari oleh pria yang lebih tua (bapak), begitu pula kaum wanita diajari oleh wanita yang lebih tua (mama). Setiap orang tua akan menyesuaikan dengan perkembangan usia anak. Mereka mendidik dan menggembleng anak-anak untuk mengetahui sesuatu dalam aktivitas sehari-hari. Anak pun akan mengikuti, memperhatikan hingga mencoba yang dilakukan oleh orang tuanya atau orang lain berdasarkan apa yang ia lihat sendiri mendengar sendri. Oleh karena itu, orang Mee akan mengerti dan paham jika mereka melihat dan memperhatikan dari pada belajar teori.
  • Pendidikan secara lisan disampaikan dalam banyak bentuk yakni  melalui cerita, dongen, mitos, hikayat, pantun, atau dalam bentuk lagu, dalam bentuk nasehat, wasihat dan dalam bentuk perumpamaan, perbandingan, pepata dan teka teki. Dengan pendidikan seperti demikian, anak akan terbentuk dan dapat di latih untuk menganalis apa makna dan manfaatnya di balik pendidikan yang di ajarkan orang tua tersebut. Pendidikan tidak hanya apa yang sudah mencantumkan diatas melainkan ada juga dalam hal menghitung, orang Mee sudah mengembangkan sistem puluhan, hingga dapat menghitung jumlah ribuan.
  • 8.         Kesenian
  • Ada beberapa kesenian yang masyarakat Mee miliki yaitu Seni Tari Atau Gerak, Seni Suara, dan Seni Rupa:

  • 9.         Seni Suara
  • Seni suara yang suku Mee miliki yaitu: uga, wani, yuu, gowai, tupe dan komauga. Ugaa adalah nyanyian rakyat yang di nyanyikan dua orang dengan nada yang berbeda dengan pengalaman manis dan pahit yang di lakukan, kemudian di nyanyikan oleh semua orang yang berada dalam ruangan.
  • Wani adalah nyanyian rakyat yang dilakaukan oleh dua orang atau lebih dan bagian reff di nyanyikan bersama oleh semua orang yang hadir. Yuu waita adalah (bersifat sekedar hiburan) sutu pemain suara yang dinyanyikan oleh banyak orang sebagai inspirasi bagi mereka yang mempunyai satu visi dalam melakukan kerja sama atau melakukan kunjungan ke kampung lain dengan tujuan menghadiri pesta adat (pembangkitan semangat agar pekerjaan selesai sesuai target). Gowai adalah seni  berpuisi untuk mengungkapkan perasaan terpendam dan dinyanyikan oleh satu orang. Tupee adalah nyanyian yang mensyairkan kisah-kisah masa lalu dengan kata-kata ratapan sambil menghayati kisah-kisah. Komauga adalah suatu nyanyian ungkapan hati seseorang dalam mengapresikan perasaan dengan nada sesuai perasaannya dan diikuti hati seseorang dalam mengapresiasikan perasaanya dengan nada sesuai perasaannya dan di ikuti nada sesuai perasaan. Saat gembira nada akan melambung tinggi dan sedih nada akan pelan dan tenang.

  • 10.       Seni Tarik atau Seni Gerak
  • Orang Mee mengenal beberapa tarian dalam kehidupannya. Tari-tarian khas tersebut diantara lain begauwa atau kidi (baling-baling) tune (tarian Cenderawasih), amaduwai (tarian susu) dan moge gaidai (tarian cawat).
  • Begauwa atau Kidu (Baling-baling)
  • Tarian unik dan khas yang terdapat dalam suku Mee adalah Kidu, tari dengan baling-baling yang berputar-putar di dada laki-laki.
  • Tune (tarian Cenderawasih)
  • Tunee, tari rotan yang di gerakan kepala laki-laki, dan Amaduwai, tarian susu biasanya di lakukan mama-mama (dilarang untuk gadis-gadis). Begauwa tau Kidu dan Tune tujuan tarian unik yang sama makna, yaitu:
  • Tunee (tarian cenderawasi), moge gaidai (tarian cawat) dan kidu atau begauwa merupakan symbol kegembiraan, sukacita dan damai. Oleh karena itu orang Mee mengatakan "Idegaidai tupe wamima, woha mapega tune begauwama niebukay" artinya: mari kita jemput menerima tamu dengan tari-tarian dan nyanyi, syukur dan puji, kegembiraan dan sukacita, dalam damai kristus", ini merupakan ungkapan keterbukaan dan kesediaan menerima tamu.
  • Amaduwai ( tarian susu)
  • Tarian Amaduwai dapat dilakukan pada saat upacara penting, meredam perselisihan antara pihak yang satunya denngan pihak yang lainnya. Sedangkan tarian Tune dan Kidu di lakukan pada saat momeng penting lainnya.
  • Khusus Amaduwai (Gaidai) menari menurut fungsi dan tujuan dapat di bagi menjadi tiga yaitu:
  • Amaduwai (Tarian Susu):
  • Symbol rasa kemanusiaan dan merupakan tanda menerima dengan hati nurani. Masyarakat Mee melihat sesama merupakan gambaran lain tentang dirinya. Artinya manusia adalah sama dan satu dalam Kristus Yesus, sebab manusia diciptakan oleh Ugatame atau Sang Pencipta yang satu dan sama.
  • Paihai
  • Merupakan symbol solidaritas dan tanda menerima tamu tersebut sebagai saudara. Bagi masyarakat Mee sesama merupakan saudara.
  • Keteegaida (Menari Samping):
  • Merupakan symbol kekeluargaan dan tari sersebut sebagai tanda menerima tamu sebagai keluarga atau salah satu dari mereka. Artinya manusia adalah satu keluarga, (Keluarga Allah) yang tidak pernah dan menjadi satu keluarga melalui pembabtisan. Tamu tersebut merupakan bagian dari mereka.
  • Moge gaidai
  • Moge gaidai adalah tarian yang dilakukan oleh seseorang wanita dengan meggoyangkan cawat yang ia pakai dipnggangnya.
  • Adamaa puga (berperang sebagai orang tua)
  • Ini merupakan symbol orang-orang tua yang tidak hadir dalam acara tersebut yang tak mampu beraktifitas karena sudah  lanjut usianya, dan merupakan tanda kehadiran para orang tua yang lanjut usianya dan merupakan tanda terima dari karangan para tua, agar tamu tersebut merasa bahwa dia di terima oleh seluruh masyarakat setempat.
  • Nyanyian sambil bernyanyi (inti penerimaan)
  • Nyanyian yang diiringi sambil jalan, ini merupakan kata-kata yang mengandung makna atau inti cara tersebut, ini merupakan rasa syukur, kegembiraan, dan sukacita. Selain itu, kadang mengungkapkan unggapan permohonan mereka kepada Tuhan melalui tamu tersebut, agar tujuan kunjungan tersebut menjadi berkat bagi masyarakat setempat demi kelangsungan hidup mereka.

  • 11.       Seni Rupa
  • Kreatifitas membuat busur (Uka) dan panah (Mapega) digolongkan dalam seni rupa. Busur di buat dari kayu Obeige dan panah dibua dari kayu Amo diruncing dan dimasukan dalam jubi (Idaa). Ada bermacam-macam panah yakni Pita, Bukaa, Kago-Kago, Tokopa, Taka dan Tii. Penggunaan dari masig-masing pun sangat berbeda-beda, yakni ada anak panah yang menggunakan saat membunuh babi, ada juga yang berburu, saat berperang, dan pada saat berjalan jauh.

  • 12.       Sistem Religi
  • Indoneisa menganut agama-agama sebagai berikut, Agama Katolik, Agama Protestan, Agama Islam, Agama Hindu, Agama Budha, dan Agama Kong Hu Chu. Keenam agama ini sudah diakui dalam kehidupan beragama di Indonesia. Undang-undang Negara kita telah mengatur kebebasan memeluk agama tersebut. 8E ayat 1 Undang -Undang dasar tahun 1945 secara jelas mencantumkan bahwa "setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara, dan meninggalkanya, serta berhak kembali".

Orang Mee di Meeuwodide menganut beberapa agama yang hadir di daerahnya hingga saat ini yaitu Agama Kristen Katolik, Kristen protestan, dan islam.

Khususnya di Kampung Timeepa mengunut dua agama yaitu agama katolik dan Kristen Protestan. Agama Kristen Katolik adalah yang tertua usianya, dan diikuti dengan kehadiran para misionaris sehingga masuk protestan dengan pekabaran injilnya. Sehingga kedua agama tersebut menjadi mayoritas yang dianut orang Mee di Meeuwodide khususnya di Kampung Timeepa.

            Orang Mee pada massa lampau tidak kaget ketika menerima kehadirang ajaran-ajaran mengenai Tuhan dalam kehidupan melalui pewartaan para misionaris awl. konsep mengenai Tuhan sudah mengenal dalam kehidupan orang Mee sebelum kehadiran para misionaris dan agama, yaitu orang Mee percaya bahwa Ugatamee (Sang pencipta) itu berada dan terus menerus akan ada bersama mereka selamanya, Ugatamee itu bagi orang Mee sudah ada dari dirinya sendiri tanpa diciptakan oleh berada-berada yang lain, Ia adalah Maha berada yang mendahului segalah ciptaan, karena itu Suku Mee menyebut Allah sebagai; Wado Mee ( yang atasatau bapa maha atas), Meenaka-Mee ( Bapa semua manusia), dan Meepoha-Mee ( Bapa yang Maha Kudus). Kontak pertama orang Mee dengan dunia luar terjadi pada abab ke 19. pada pada tahun 1932, Pastor Tillemans, seorang misionaris katolik mengadakan kontak awal dengan tokoh orang Mee bernama Auki Tekege di Pengunungan Mapiha (Douw isaias, 2012, p. hlm 4). Kontak awal ini terjadi karena semangat para misionaris dalam mewartakan Injil. Semboyan extra ecclesia nulla salus( diluar gereja tak ada keselamatan) menjadi dorongan utama para misionaris Eropa hadir membuka daerah misi di dunia (Alua, 2006: 1). Penghayatan iman manusia akan Ugatame ini mulai dipelajari dengan baik lagi oleh orang Mee melalui agama Kristen Katolik sejak 25 Desember 1935 di Modio. Pastor Tillemans MSC hadil dengan pengajaran agama mengenai Tuhan dan orang Mee menyamakan padangan serta pengetahuannya mengenai Tuhan, mereka menyebut Alla Bapa itu dengan sebutan (Ugatame), Roh kudus (Meehiwi) dan Yesus (Meenaka). Tapi sebenarnya, kedatangan Agama Kristen itu hanya memurnikan Alla Tritinggal yang telah lama diimani oleh manusia Mee. Maka, Allah Tritunggal itu telah berada  dalam "segala" (segalah yang telah dijadikan dan belum dijadikan secara nyata, segala yang kelihatan dan tidak kelihatan) dan segalanya berada didalam dia.

            Dalam penghayatan sejarahnya, orang Mee menyebut dan membesarkan nama Ugatamee yang tidak kelihatan berdasarkan keyakinan yang radikal bahwa Ugatamee sebagai penyelenggara hidup, pelaksana dan penghembus atas segala realitas dari dan dalam sejarah kehidupan nenek moyang leluhur orang Mee. Sehubungan itu, terdapat sebutan ilahi atas Ugatamee seperti berikut: Ugata Mee (pribadi pencipta), Ugata Ibo (pencipta yang besar), Epamaki Doutotai Mee (penjaga langit dan bumi), Wadomee (pribadi yang berada di atas), Mee Naka (Bapa segalah bangsa), Meepoya (pribadi yang suci), Gaibokouto (pribadi yang mah tahu dan maha pikir), Toutomee (Pribadi yang ada dari kekal ke kekal) ( Bdk. Pekei, 2008: 127-138).

            Kepercayaan akan roh-roh oleh orang Mee di anggap berada yang baik (biasanya roh yang berasal dari kerabat dekat), dan yang tidak baik bahkan jahat (roh yang bukan merupakan kerabat dekat, roh musuh, roh dari orang yang pernah disakiti hatinya atau roh dari orang meninggal secara tidak wajar) ( Koentjaningrat, 1994: 250). Keberadaan roh-roh itu sebenarnya merupakan bagian integral dari komunitas hidup suku bangsa Mee. Mereka tentunya merasakan kehadirang roh-roh tersebut, karena itu, pada waktu-waktu tertentu orang Mee menyelenggarakan berbagai upacara untuk tetap akan menjaga hubungan baik dengan roh-roh tersebut, bagi mereka, roh-roh tersebut menempati kawan-kawan di puncak gunung. mereka tetap, selalu menjaga dan memperhatikan nasip hidup orang Mee dalam segalah aspek.

            Dalam proses perkawinan adat orang Mee (Onehai Mogehai) selalu saja mereka memasukan sisi penyerahan kedua pasangan kepada Ugatamee dan kepada roh-roh leluhur. Orang Mee menganggap bahwa kehidupan mereka salalu dan senantiasa menjadi perhatian Ugatamee dan roh-roh leluhur. Oleh karena itu, sisi penyerahan keluarga yang baru terbentuk ini menjadi bagian terpenting, tujuan adalah kehidupan keluarganya selalu berada dalam lindungan Ugatame dan perhatian roh-roh leluhur nenek moyang mereka untuk mendapatkan keturunan subur, dalam perkawinan dan mendapatkan berkat disetiap usaha seperti berkat hasil kebun yang melimpah, hasil buruan yang banyak, dan lain-lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun