Yon Bayu kerap merasa kecewa berulang  kali menyaksikan isu-isu pelanggaran HAM dalam konteks politik hanya sebatas buih yang hilang begitu saja. Isu tersebut lenyap senyap manakala kepentingan politik pihak-pihak yang mencuatkannya telah terpenuhi.
Padahal, kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu di Indonesia, semisal peristiwa G 30S-PKI, peristiwa Malari, tragedi Tanjung Priok, Talang Sari, penculikan aktivis pro reformasi sebelum 1998, atau tragedi Semanggi 1 dan 2, sangat melukai batin para korban dan keluarganya.
Dalam pandangan Yon Bayu, idealnya peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu dibuka secara gamblang oleh pemerintah kepada publik, dan pelakunya disidangkan secara hukum.
Sehingga bangsa Indonesia di masa depan tidak dibebani dengan persoalan utang pengungkapan sejarah kelam.Â
Pelaku kejahatan HAM dihukum, agar memberikan efek jera pada pelakunya. Mencegah hal serupa terjadi di masa mendatang.
Penulis novel 'Prasa' mengakui bukan perkara mudah untuk menghukum pelanggar HAM berat. Karena pihak-pihak yang terlibat pasti akan memberikan perlawanan balik yang menakutkan.Â
Melihat situasi yang kusut seperti itu, Yon Bayu sempat berpikir skeptis, apakah sebaiknya peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu dilupakan saja oleh bangsa ini, dan pelakunya dimaafkan?
BAB III
Yon Bayu di depan podium dengan mantap mengatakan, tidak elok bagi penulis fiksi memberikan penjelasan isi dan pesan yang disampaikan dalam karyanya,Â
Hal itu selaras dengan pemahaman dirinya bahwa karya fiksi seperti novel memiliki keragaman tafsir. Karya fiksi bukan berisi berita atau informasi sebuah peristiwa.
Menurut Yon Bayu, adalah wajar ketika karya sastra dibaca oleh 10 orang akan melahirkan 10 dan bahkan 11 tafsir yang berbeda.
Dalam acara peluncuran di PDS HB Jassin, Cikini, novel 'Kelir' dibedah secara khusus oleh Sunu Wasono, doktor ahli sastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia