Perjalanan yang tidak direncanakan membawa saya ke satu tempat ekowisata eksotis di pesisir utara pantai Laut Jawa kawasan provinsi Banten. Tepatnya di desa Ketapang, Mauk, Kabupaten Tangerang.
Niat awal saya ingin bepergian menuju destinasi wisata Tanjung Pasir yang tersohor di kawasan pantai Tangerang. Sembari jalan-jalan melihat situasi seputaran Tangerang jelang Imlek 2023.
Saya warga baru di Tangerang, belum terlalu hapal seluk beluk jalan di sana. Setahun belakangan mengontrak rumah di Kedaung, kota Tangerang. Tak jauh dari lokasi kerja saya di dalam kawasan Bandara Internasional Soekarno-Hatta.Â
Saya pindah berdomisili di sana karena alasan lelah jika setiap hari pergi pulang dari Jakarta ke Tangerang, dan sebaliknya.Â
Di lingkungan tempat tinggal saya sebagian besar adalah warga asli Cina Benteng (ciben) yang masih giat menjalankan tradisi nenek moyang, semisal memutar kencang-kencang musik Gambang Kromong, atau sembahyang menghormati leluhur.
Dari hasil jalan-jalan santai selama beberapa bulan di sana, saya mendapati banyak sekali jembatan besar membelah Tangerang, karena di kawasan itu terdapat Sungai Cisadane yang debit airnya besar.
Air yang berasal dari Sungai Cisadane akan bermuara ke seputaran kawasan pesisir kabupaten Tangerang.
Saat berniat ke Tanjung Pasir, saya melewati jalur jalan dan jembatan Sepatan, yang membelah Sungai Cisadane tapi bablas terus hingga jalan raya utama Mauk.
Saya bablas ke jalur jalan utama Mauk, karena terpana melihat kanan kiri pinggir jalan yang menghampar padi, dan banyak yang menguning siap dipanen.
Hingga pada satu titik lokasi, ada pertigaan jalan yang terdapat tugu persis di depan kantor Koramil.Â
Saya menghentikan sebentar kendaraan saya di dekat tugu. Dan melihat ada penanda arah jalan menuju pantai Tanjung Kait.
Saya lalu memutuskan mencari warung makan di sekitar tugu. Lapar, susah lewat jam 12 belas siang. Saya akhirnya masuk ke salah satu rumah makan Padang.Â
Saya kepada pelayan rumah makan sempat bertanya, itu tugu apa? Dijawab, tugu peringatan Otto Iskandar Dinata (Otista).Â
Saya heran, karena seingat saya Otista adalah pahlawan nasional dari Bandung, tapi mengapa tugu penghormatan kepada pahlawan berjuluk "Si Jalak Harupat" itu ada di Banten?
Kelak saya tahu setelah searching di google, kalau Otto Iskandar Dinata secara tragis meninggal dihabisi oleh kawanan penjahat di sekitar pantai Tanjung Kait, Mauk.
Sehabis makan siang saya melanjutkan perjalanan mengarah ke Tanjung Kait. Infrastruktur jalan di sana cukup mulus sewaktu saya lewati.Â
Sekitar dua kilometer lebih dari tugu Otista, saya melihat plang nama di depan gerbang besar dekat jalan raya desa Ketapang. Terpampang di sana "Taman Mangrove"
Kemudian saya memutuskan masuk ke kawasan Taman Mangrove desa Ketapang setelah membayar tiket masuk dan tiket parkir kendaraan.
Di dekat tempat parkir dipajang satu kapal tradisional. Bangunan gedung utama yang megah berada tak jauh dari sana, dan agak ramai saat itu dengan kehadiran serombongan ibu-ibu muda yang sedang melakukan kegiatan kumpul bersama.
Saya kemudian bergegas menuju ke dalam area rerimbunan mangrove yang terlihat rapi tertata. Di tengah rerimbunan mangrove dipasang jalur jembatan dari kayu.Â
Ternyata di dalam rerimbunan mangrove lumayan banyak pengunjung yang sedang asyik swa foto, atau membuat vlog.
Banyak spot menarik untuk berfoto di tempat ini. Ada menara pandang yang bagus buat tempat memotret. Dari menara pandang tampak di kejauhan beberapa pulau dari Kepulauan Seribu.
Saya lantas berjalan masuk lebih ke dalam melewati paving blok di kawasan taman mangrove Ketapang. Ada beberapa bangku disediakan untuk pengunjung.Â
Di satu titik dekat jembatan kecil, terpasang plang besar yang menawan bertuliskan kata "I love Mangrove".Â
Saya mencoba telusuri kawasan taman lebih ke dalam. Ternyata ada beberapa pekerja sedang menyelesaikan proyek perbaikan fasilitas di tempat itu.
Walau beberapa fasilitas penunjang buat pengunjung masih belum tersedia, saya cukup terkesan dengan misi program pemerintah kabupaten Tangerang memanfaatkan lahan tak terawat di pesisir pantai Ketapang Mauk menjadi taman mangrove yang tertata rapi.
Saya melihat dengan mata sendiri beberapa ikan berukuran cukup besar saling berkejar-kejaran di sela akar mangrove. Terlihat pula ramai ikan glodok berjalan-jalan atau berlompatan di sisi dekat aliran air.
Seperti yang kita ketahui bersama, penanaman mangrove di pesisir bermanfaat besar untuk mencegah abrasi pantai. Juga melindungi ekosistem pantai yang punya banyak biota.
Pembangunan destinasi ekowisata seperti di Taman Mangrove Ketapang Mauk selaras dengan program Kemenparekraf yang sedang menggalakkan CHSE.
CHSE adalah program unggulan Kemenparekraf yang berbasis kepada Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan) untuk dilaksanakan oleh pelaku usaha di industri pariwisata dan ekonomi kreatif. Dengan harapan semakin banyak wisatawan yang bangga berwisata di Indonesia.
Saya melihat perkampungan yang tertata rapi bersisian dengan taman mangrove di Ketapang.
Pemukiman warga dengan taman mangrove dibatasi oleh pagar yang diberi akses melalui jembatan pendek. Beberapa warga membuka lapak dagangan, menjual berbagai makanan dan minuman ringan.
Keberadaan taman mangrove tentunya membantu dongkrak perekonomian warga perkampungan sekitar.Â
Di sana ada beberapa saung rumah makan yang menyediakan ikan bakar, juga ada beberapa penjual minuman es kelapa.Â
Saya juga melihat beberapa pedagang benih ikan dan udang di tempat itu. Untuk diketahui, kawasan ini dulunya adalah bekas lahan pertambakan yang sudah tidak produktif.
Keberadaan taman mangrove Ketapang, selain dijadikan tempat wisata berkelanjutan dari sisi lingkungan, juga memberi manfaat besar terhadap ekonomi masyarakat lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H